Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid untuk Menghindari Kesalahan Membaca

Table of Contents

Hukum mempelajari ilmu tajwid untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur'an. Ilmu tajwid adalah ilmu yang dipelajari hanya untuk membaca al-Qur'an. Selain membaca al-Qur'an seseorang tidak perlu menggunakan tajwid, yang berkaitan dengan panjang-pendek, waqaf, hukum bacaan dan lain-lainnya. 

ilmu tajwid
qowim.net

Tajwid Praktis dan Teoritis

Terkait hukum mempelajari ilmu tajwid, para ulama menggarisbawahi dua sisi dari ilmu tajwid, yaitu secara praktis dan teoritis. Secara praktik, dalam hal ini mempraktikkan membaca al-Quran sesuai dengan hukum bacaan tajwid, hukumnya adalah wajib ain, bisa juga disebut fardhu ain, sama saja untuk istilah kedua itu. 

Sedangkan sisi lain yaitu mempelajari secara teoritis hukum mempelajari ilmu tajwid adalah fardu kifayah, atau wajib yang bisa gugur ketika sudah dilakukan oleh sebagian orang saja. 

BACA JUGA: Haqqu Tilawah Kitab Ilmu Tajwid dengan Perbandingan Qira'ah

Dengan kalimat lain, mempelajari ilmu tajwid adalah fardu kifayah, sedangkan mengamalkan atau mempraktikkan ilmu tajwid hukumnya adalah wajib. 

Kalau kita perhatikan di masyarakat awam, seringkali orang-orang membaca al-Qur'an itu benar secara tajwidnya, namun ketika ditanya tentang hukum-hukum ilmu tajwid, seketika kebingungan. Saya sering menjumpai hal tersebut, tidak perlu orang awam lah. Ketika saya masih di pesantren dan mengajar tajwid juga sering menjumpainya. 

Mereka bisa membaca al-Qur'an tapi tidak mengetahui hukum-hukum tajwidnya. 

Sekali lagi, hukum mempelajari ilmu tajwid itu fardu kifayah, namun mempraktikkan ilmu tajwid ketika sedang membaca al-Qur'an hukumnya adalah wajib

Mengapa Demikian? 

Dalam kitab Ihya karya Imam Ghazali mengkategorikan bahwa ilmu tajwid termasuk ilmu syariat yang bersifat penyempurna (mutammim) saja, bukan hal yang bersifat mendesak. Termasuk ilmu-ilmu seperti rijal hadis, ilmu tafsir yang mencakup teori-teori amm-khas, muthlaq-muqayyad, dll. 

Dua Pembagian Wajib dalam Ilmu Tajwid

Istilah wajib di dalam ilmu tajwid ini mempunya akibat atau implikasi yang berbeda, yaitu bisa berakibat secara syar'i dan ada pula yang berakibat shina'i.

Wajib Syar'i

Istilah wajib syar'i di dalam ilmu tajwid ini menyangkut tentang kesalahan membaca al-Qur'an dalam segi huruf atau bentuk kalimat yang mengakibatkan kerusakan makna dan perubahan makna. Dalam kategori salah baca (lahn) ini nantinya disebut sebagai lahn jali (kesalahan membaca secara jelas). 

Misalnya ketika membaca lafal اَÙ†ْعمتَ (an'amta), dibaca keliru dengan اَلمتَ (alamta). Kesalahan seperti ini disebut sebagai haram syar'i. 

Selain kesalahan membaca huruf atau bentuk kalimatnya, ada pula kesalahan yang bisa mengakibatkan kerusakan makna, bahkan bisa mengubah makna dari al-Qur'an. 

Misal menbaca an'amta dalam contoh di atas dengan mebaca an'amtu. Hal itu bisa mengubah makna dari ayat al-Qur'an. 

صِرَٰØ·َ ٱلَّØ°ِينَ Ø£َÙ†ۡعَÙ…ۡتَ عَÙ„َÙŠۡÙ‡ِÙ…ۡ غَÙŠۡرِ ٱلۡÙ…َغۡضُوبِ عَÙ„َÙŠۡÙ‡ِÙ…ۡ ÙˆَÙ„َا ٱلضَّآÙ„ِّينَ

Ketika dibaca an'amtu, maka yang awalnya diterjemahkan "(yaitu) jalan yang engkau berikan nikmat..." menjadi salah makna "(yaitu) jalan yang telah aku berikan nikmat..." 

Kata ganti dhamir rafa' mukhatab pada huruf ta' tiba-tiba menjadi dhamir rafa' mutakallim. Itulah yang disebut sebagai lahn (kesalahan) jali (jelas) dalam membaca al-Qur'an.

Wajib Shina'i 

Wajib shina'i pembahasannya agak panjang sebenarnya. Saya ringkas saja begini intinya. Pada dasarnya istilah ini dicetuskan oleh ulama-ulama tajwid muta'akhhirin (kontemporer), sebab ulama mutaqaddimin dalam bidang tajwid tidak membagi permasalah wajib ini. 

Permasalahan wajib shina'i dalam konteks ilmu tajwid ini lebih menekankan pada permasalahan perbedaan cara membaca al-Qur'an, dalam hal ini secara spesifik dibahas di dalam ilmu qiraat. Hal ini seharusnya dipelajari oleh para pemerhati al-Quran yang levelnya sudah medium. Hehe. 

Kalau saya belum punya kapasitas hal tersebut. Tapi untuk memberikan pemahaman saja, saya akan memberikan contoh dalam QS. al-Fatihah; 4 

Ù…َٰÙ„ِÙƒِ ÙŠَÙˆۡÙ…ِ ٱلدِّينِ 

Dalam riwayat (seingat saya) Imam Ashim dan Imam Kisa'i membaca kata maliki secara panjang (mad thabi'i) menjadi maaliki yaumiddiin. Sedangkan imam selain keduanya membaca dengan qashr (pendek) menjadi maliki yaumiddiin.

Ketika kita membaca al-Quran mengikuti imam Ashim atau imam Kisa'i, maka membacanya harus mad, tidak boleh tidak. Jika salah membaca berdasarkan cara imam yang diikuti maka itu termasuk haram shina'i.

Jadi, intinya dalam hal wajib shina'i ini adalah kewajiban membaca alquran sesuai dengan prosedur bacaan-bacaan yang disesuaikan dengan guru, imam atau riwayat qiraat yang diikuti. Inilah salah satu pentingnya membacakan (sorogan) al-Qur'an di depan seorang guru, agar terhindar dari kesalahan-kesalahan seperti waqaf, ghunnah, ikhfa, mad, dan lain sebagainya.

Kesimpulan

Dari sekelumit penjelasan di atas, saya simpulkan saja biar lebih ringkas bacanya. Mempraktikkan ilmu tajwid itu hukumnya fardhu ain, yaitu setiap orang wajib hukumnya membaca al-Quran sesuai dengan aturan-aturan dalam ilmu tajwid. Sedangkan mempelajarinya secara mendetail hukumnya adalah fardhu kifayah atau bisa diwakilkan beberapa orang saja dalam setiap kelompok masyarakat.

Sumber Referensi

  • Ahkamu Qiraatil Qur'anil Karim, h. 42
  • Bughyatul Murid min Ahkamit Tajwid, h. 110-112
  • Ghunyatut Thalibin, h. 26
  • Ihya Ulumuddin, juz. 1, h. 17

Beberapa artikel saya tentang Ilmu Tajwid bisa dibaca di tautan bawah ini:

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment