Mewariskan Kebahagiaan; Kado Ulang Tahun Yahya ke 3
QOWIM.NET - Seribu hari pertama. Itulah kalimat yang terlintas di kepala ketika hari ini, bertepatan dengan usia Yahya yang sudah tiga tahun.
Seribu hari pertama itu, saya pernah baca, tapi entah di buku yang judulnya apa, kalau tidak salah sih judulnya Baby Wishpering. Tak pentinglah soal dari mana sumbernya. Intinya seingat saya 1000 hari pertama adalah masa golden age, atau usia balita yang paling menentukan tentang pola pikir dan emosionalnya.
Masih tentang ingatan baca di buku "itu", konon nilai-nilai yang kita berikan kepada anak paling efektif adalah di usia-usia itu. Misal memberikan pemahaman harus jujur, menahan emosi, dan lain-lain.
Ini penting saya utarakan. (Wah, kayak Gus Baha)
Memang, di usia batita (bawah tiga tahun) itu usia-usia anak yang masih lucu-lucunya, masih suka ngambungi. Di samping bau mulutnya yang belum begitu sheeeeng... bau tubuh batita juga menenangkan. Kulit yang masih mulus, karena belum begitu kenal dolan ke luar rumah terpapar sinar matahari. Masih mau dikasih minyak telon yang khas bayi itu, hingga kelucuannya ketika mengucapkan kata-kata yang belum begitu fasih diucapkan.
"Embut..." kata Yahya ketika ada semut.
"See...." kataku. Dia bisa menirukan. "Mut..." kataku lagi. Dia juga bisa. Etapi ketika disambung "Semut..." Sambungku.
"Emmbut..."
Masih embut.
Tingkah begitu yang, entah kapan saat-saat yang akan saya rindukan kelak.
Di usia yang tepat tiga tahun ini, saya rasa kok cepet sekali Yahya gedenya. sepertinya belum lama menemani istri melahirkannya di rumah sakit tengah malam.
Ah, waktu memang berlalu begitu cepat. atau saya yang tidak sadar bertambah tua juga.
Namun yang jelas saya bersyukur hingga hari ini, ada Yahya yang selalu membuat lelah-lelahku meleleh ketika pulang dari kerja.
Saya baru sadar, ternyata setiap Yahya ulang tahun, saya menuliskannya di blog ini. Jika ada yang tertarik bisa dibaca di judul berikut;
Mewariskan Apa?
Sebenarnya itu adalah pertanyaan yang sering saya renungkan ketika menjadi orang tua. Kekhawatiran demi kekhawatiran yang membuncah ketika dititipi anak kecil yang polos dan lembut itu. Khawatir disebabkan oleh banyak hal; tidak bisa mendidik dengan baik, suka marah-marah, dan mengkambinghitamkan anak demi urusan-urusan yang tak lebih penting daripada keluarga, dan lainnya.
Namun, semakin ke sini, saya semakin menyadari bahwa hal yang paling penting bagi anak, bahkan untuk manusia adalah kebahagiaan.
Sing penting bahagia, seneng...
Pemahaman itu saya ambil dari, buku happy little soul dan the danish way of parenting. Buku pertama sudah pernah saya review di artikel berjudul Happy Little Soul Tentang Bagaimana Berbahagia Bersama Anak, sedangkan buku yang kedua belum sempat saya review.
Intinya adalah tentang kebahagiaan harus dikedepankan, duka-duka harus dihadapi dengan bahagia dan dewasa.
Untuk mewujudkan visi tersebut, saya punya nilai yang saya pegang teguh hingga hari ini; Apapun yang terjadi, tidak boleh marah-marah dan memukul anak. Bisa jadi nilai tersebut diperdepatkan dengan segudang argumentasi. Namun, sependek pemahaman dan pengetahuan saya selama punya anak, anak kecil yang belum balig, kesalahan-kesalahan yang dilakukannya adalah bentuk kewajaran yang seharusnya mudah untuk ditoleransi.
Harus digarisbawahi sebelum ada yang tidak sepakat, tidak marah bukan berarti memanjakan dan berlaku diam saja ketika anak salah, tidak marah bukan berarti membiarkan anak ketika berlakuk tidak baik. oleh karena itu, saya pernah menulis dua artikel tentang marah-marah kepada anak.
Tidak marah itu lebih mempertimbangkan aspek komunikasi yang lebih baik (nanti setelah tidak marah-marah).
Soal marah-marah ini, saya juga pernah menuliskan di blog ini, jika ada yang tertarik bisa dibaca
Kemarahan itu, sering kali menjadikan kita tidak bahagia, baik bagi yang memarahi, sekaligus orang yang dimarahi. Ketika kita marah, sebenarnya logika kita sedang buntu, ditinggalkan, yang membesar adalah emosionalnya. Oleh karena itulah biasanya orang marah itu sering melakukan hal-hal yang tidak rasional, bahkan terkadang lucu.
Ya, karena ia sedang tidak menggunakan rasionalitasnya sebagai manusia.
Misalnya, orang marah bisa jadi banting-banting piring, nggedor pintu keras-keras, atau berteriak tidak karuan. Lucu gak sih? piring nggak salah apa-apa kok dibanting, belum pintu yang sedari dulu di situ dilewati tanpa kita permisi, bukannya terima kasih malah ditendang-tendang. Lalu berteriak, dikira orang lain budek apa?
Benar pula dawuhnya kanjeng nabi mengatakan bahwa "Seorang hakim hendaknya tidak memutuskan perkara selagi masih dalam keadaan marah" (lupa ini riwayat siapa. Dimaklumi karena kurang dhabit dan tsiqah)
Saya punya trik kalau sedang marah kepada Yahya. Biasanya saya menjauh lalu bilang "Bapak sedang marah" lalu bilang juga kepada ibunya untuk minta tolong diurus sebentar menunggu kemarahan saya reda. Dengan begitu saya tidak mencelakakan diri sendiri, Yahya, dan juga ibunya yang tak tahu apa-apa malah kena semprot.
Semua aman, semua senang. Saya juga tenang.
Relasi ketidakmarahan itu, bagi saya punya satu garis lurus menuju kebahagiaan. Sebab dengan bisa mengelola kemarahan agar tidak ada korbannya, kita bisa mewariskan itu kepada lingkungan di sekitar kita untuk mengupayakan hubungan yang saling membahagiakan.
Kekecewaan itu pasti, namanya hidup bersama manusia yang berbeda-beda, namun bukankah kekecewaan itu bagian dari konflik yang harus dikelola dengan baik juga? sama seperti permasalahan-sehari-hari, kita tak mungkin lari dari masalah, kecuali dengan menyelesaikannya.
Di tiga tahun Yahya ini, saya tidak memberikannya hadiah apa-apa kecuali tulisan ini. Semoga, kelak atau kapanpun itu, kebahagiaan ini bisa saya wariskan dengan baik, tanpa embel-embel dan ngrepoti Yahya, kelak.
Akhir-akhir ini saya sering membayangkan mati, tiada hari tanpa kabar duka dari mana-mana. "Nunggu giliran" batinku yang sering saya ucapkan kepada istri.
"Bapak kalau mati, Yahya baik-baik saja sama ibuk ya"
"Iya.." jawabnya.
Post a Comment