Ads #1

Hidup Untuk Siapa? (Aforisme Hikam 37)


لاتتعد نية همتك إلى غيره فالكريم لاتتخطاه الأمال
Janganlah cita-citamu menuju selain Allah, karena cita-citamu itu tidak akan pernah melampaui dzat yang Maha Pemurah (al-Karim)

Secara sederhana, maksud Ibn ‘Athaillah menurut saya begini; harapan yang paling tinggi seharusnya adalah kepada Allah, dengan menyandarkan segala-galanya kepada Allah, apapun itu, sebab pada dasarnya tidak ada yang lebih dapat memberikan segalanya kecuali Allah. 

Jika tidak ada yang bisa memberikan apapun kepada kita selain Allah, kenapa kita mengharapkan selain Allah?. Sungguh, retorika ini sangat menampar saya berkali-kali.

Aforisme di atas sangat kental dengan nuansa tasawuf yang, jika dipikir-pikir masih ada hubungannya dengan aforisme sebelumnya bahwa Allah selalu sendiri dari dahulusampai sekarang

Kenapa?, karena ini menguatkan bahwa tidak ada yang dapat wujud kecuali atas kehendak penciptaan-Nya. Ya apapun di dunia dan di alam semesta ini.

Pada dasarnya Allah pun memberikan apapun yang kita butuhkan secara cuma-cuma. Seperti oksigen yang kita hirup berkali yang tidak pernah terhitung, oleh sebab itulah dalam aforisme ini Allah disebut dengan sifatnya, yakni al-Karim.

Sulit rasanya mencari kata yang sepadan dalam bahasa Indonesia untuk menerjemahkan kata al-Karim, karena bagi saya al-Karim tidak sekedar hanya dermawan atau mulia. Sementara ini saya belum mendapatkan kata yang cocok untuk bahasa Indonesianya.

Lepas dari itu, penjelasan al-‘Abbadi pun terkesan menjelaskan dengan sebuah tindakan-tindakan (evaluative) yang menunjukkan sifat al-Karim, bukan secara deskriptif. Ia menjelaskan bahwa al-Karim itu sebuah tindakan dan sikap ketika ia mampu membalas karena dianiaya, ia mampu memaafkannya, ketika ia berjanji ditepati, ketika ia dimintai, ia memberikan lebih dari yang diminta dan tidak peduli kepada siapa ia memberi, bahkan ketika terdapat seseorang yang minta kepada selain dirinya, justru ia malah tidak rela. 

Sifat dan tindakan seperti demikian tidak pernah dimiliki oleh manusia, yang punya sifat dan tindakan seperti demikian hanyalah Allah satu-satunya. 

Allah memberikan segala kenikmatan di dunia ini kepada siapapun, entah mukmin atau kafir, dan tidak pernah peduli manusia membuat kerusakan seperti apapun. Inilah hakekat sifat al-Karim. Merujuk pendapat al-‘abbadi di atas, wajar saja Allah memberikan semuanya secara gratisan tanpa pamrih, sebab Allah tidak butuh itu. 

Masa sih kita eman-eman sama sesuatu yang tidak kita butuhkan?, misalnya kotoran tahi yang kita buang setiap hari, jika ada yang eman-eman untuk dibuang, saya rasa kebangetan banget, ibarat ban sepeda pentilnya ada sepuluh.

Tapi kita, seringkali tidak percaya dengan hal-hal yang secara umum diberikan kepada semua orang, misalnya tentang kekayaan, Allah memberikannya tidak hanya kepada orang mukmin saja, namun juga kepada orang kafir, bahkan kepada yang tidak percaya tuhan sekalipun. 

Kita juga abai dengan hal-hal yang secara khusus diberikan oleh Allah hanya kepada hamba-hamba yang dikasihi-Nya, misalnya tentang ilmu, lebih khusus lagi ilmu yang mengantarkan kita kepada ma’rifatullah (mengenal Allah), allah tidak sembarangan memberikan ilmu itu kepada hamba-Nya yang sembarangan.

Oleh sebab itu jumlah wali di muka bumi ini selalu terbatas (limited), orang kaya belum tentu ma’rifat kepada Allah, tetapi orang yang ma’rifatullah tidak lagi butuh kekayaan yang bersifat duniawi.

Jika sudah mencapai derajat seperti demikian, kata guru saya Rumaizijat, orang tersebut tidak akan lagi membutuhkan washilah kepada Allah, sebab ia telah mengenal Allah, bukankah kita harus melewati ajudan Kang Jokowi terlebih dahulu bila kita tidak kenal dengan dia dan ingin menyampaikan sesuatu?

Lantas, jika demikian hidup kita untuk apa dan siapa, sih?

Menjadi saksi di dunia ini atas keberadaan Allah sekaligus semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana yang tertuang dalam QS. adz-dzariyat: 56, QS. al-baqarah: 143 dan QS. al-hajj: 78.

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Hidup Untuk Siapa? (Aforisme Hikam 37)"