Ads #1

Zuhud dalam Bingkai Islam Sufistik

Kemarin saya diminta oleh Pak Shofi untuk mengisi materi tentang Zuhud di dalam al-Qur'an, katanya untuk kepentingan materi kuliah mahasiswa UKDW di pesantren Lintang Songo Piyungan. Saya agak ragu-ragu untuk mengiyakannya, lantaran jarak dan waktunya. Jarak dari rumah ke Piyungan lumayan menghabiskan waktu 30 menit, apalagi Bantul sedang panas-panasnya. 

Selain itu, saya tak punya alasan lain. Sebab jam kuliah saya agak siang pada pukul 12.30 WIB. 

"Gimana? mau, ya?" kata Pak Shofi. Saya jawab "Oke, bismillah"

Nah, untuk mengisi materi tersebut, tentunya saya harus menulis catatan dulu. Daripada catatannya hilang, lebih baik saya tulis saja di blog ini. Lagi pula sudah lama sekali tidak menulis hal-hal begini. Malah terlalu sering nulis tentang tutorial blog, tutorial ojs dan yang aneh lagi adalah soal microsoft word. Mungkin saking gabutnya 😅😅

foto oleh Ugur Keskin dari Pixabay

Islam dan Tiga Hal Penting di dalamnya

Di dalam agama Islam terdapat dua dimensi penting, yakni eksoteris dan esoteris. Mudahnya dimensi dalam dan luar. Saya pernah menulis agak lengkap soal tersebut pada artikel berjudul Tasawuf sebagai Dimensi Esoteris Islam.

Ringkasnya, pada dimensi esoteris tersebut melingkupi tiga aspek penting dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah yang disebut sebagai hadis Jibril. 

Suatu saat, Jibril datang menyerupai manusia lalu mengajarkan tentang agama Allah, yakni Islam, Iman dan Ihsan. Itulah yang disebut dengan tiga hal penting yang menjadi subjudul pada pembahasan ini. 

Tiga aspek tersebut, Iman merepresentasikan ilmu akidah atau memiliki nama lain seperti ilmu kalam; teologi; bahkan di era awal Islam disebut dengan fiqh al-akbar tokohnya adalah Imam Abu Hanifah.

Dimensi kedua adalah Islam yang memuat tentang aspek-aspek eksoteris Islam seperti syahadat, salat, zakat, puasa dan haji yang di kemudian hari disebut dengan rukun Islam. Poin-poin tersebut dilakukan dengan melakukan gerak lahiriah.

Terakhir adalah aspek Ihsan, yang banyak disebut oleh para ulama sebagai dimensi sufistik, tasawuf dan batiniah. Dalam hal ini, ketika Nabi ditanya oleh Jibril apa itu Ihsan, jawab nabi adalah;

Menyembah Allah seperti melihat-Nya, jika tak mampu maka (sadarilah) Allah melihat engkau

Diksi melihat-Nya jelas tidak mungkin, sebab indera manusia terbatas sedangkan Allah tak terbatas, oleh sebab itu menggunakan alternatif kedua yakni menyadari bahwa Allah melihat gerak-gerik dan tingkah laku kita. 

Jika, manusia menyadari bahwa ada yang mengawasi, niscaya otomatis tingkah laku manusia tidak ada yang buruk. Namun pertanyaannya sejauh mana manusia bisa menyadari hal tersebut? 

Orang Jawa menyebut dengan istilah eling, dalam bahasa Inggris disebut awareness dan dalam bahasa Indonesia disebut dengan kata sadar. 

Sadar bukan sekadar tidak tidur, namun memahami atas apa yang dilakukan. Dalam beberapa tradisi dalam beragama ada yang menyebut dengan istilah meditasi, tapa, uzlah, bahkan khusyu'. 

Dimensi ihsan itulah yang, kelak akan berkembang diskusinya menjadi lebih rumit dan penuh kesimpang-siuran, ketidakjelasan, ketakbendawian, bahkan ketidakmungkinan. 

Apa sebabnya?

Karena tak ada tolok ukur yang pasti dan jelas dalam dimensi ihsan. Ada sufi yang mengatakan "Tak ada siapa-siapa di dalam diriku kecuali Allah" - ma fii jubbati illa allah. Tiba-tiba dituduh kafir dan penuh kebidahan dan sesat. Tokoh sufi tersebut bernama Abu Yazid al-Busthami.

Tema-tema seperti itulah yang ada di dalam tasawuf, zuhud adalah di antara tema di dalam tasawuf atau ihsan.

Memastikan Istilah Zuhud

Zuhud merupakan salah satu tema untuk memperbaiki diri (tazkiyatun nafs). Zuhud menjadi kelas/tingkatan sebelum tawakkal (pasrah urusan hanya kepada Allah). 

Di dalam Al-Qur'an istilah zuhud terdapat pada kisah nabi Yusuf yang dijual dengan harga murah sebab mereka tidak ada yang tertarik kepadanya. Tidak tertarik menggunakan redaksi wa kanu fihi minaz zahidin - Mereka tidak tertarik kepadanya (Yusuf). QS. Yusuf; 20.

Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya'nya (juz 4: 216) menyebutkan bahwa zuhud merupakan istilah yang memiliki arti berpaling dari hal-hal yang disukai menuju hal yang lebih baik bagi dirinya. Ada kata suka dan baik pada definisi tersebut. 

Suka belum pasti yang baik untuk kita, sedangkan hal yang baik untuk kita, tidak semuanya kita sukai. Allah telah mewanti-wanti dalam QS. al-Baqarah 216.

كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٌ لَّكُمْۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـًٔا وَهُوَ خَيۡرٌ لَّكُمْۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Saya tidak mengambil contoh perang sebagaimana ayat di atas. Kita akan mengambil contoh hal-hal yang kecil setiap hari kita lihat saja. 

Jika kita sudah memiliki gawai smartphone merk Iphone 14 misalnya, lalu sekarang sudah keluar Iphone 15. Membeli Iphone 15 adalah hal yang disukai, sebab itu adalah hal yang baru, sebagai manusia ingin mencoba impresinya seperti apa. 

Lalu, dengan lapang dada. Kita memilih tidak membeli Iphone terbaru, sebab itu yang terbaik untuk kita. 

Jika membeli Iphone terbaru, nantinya bisa dikhawatirkan ada muncul sikap sombong. Daripada muncul sikap sombong, lebih baik bertahan dengan apa yang dimiliki. 

Selain Imam Ghazali, banyak para sufi yang memberikan penjelasan soal zuhud. Sufyan ats-Tsauri mengatakan bahwa Zuhud itu meminimalisir angan-angan. Sufi terkenal Imam Junaid al-Baghdadi mengatakan seperti ini

Allah itu menjauhkan dunia dari para kekasih-Nya, membakarnya bahkan memusnahkannya, sebab Allah tidak rela para kekasih-Nya terjerumus ke dunia

Terakhir, mungkin yang bisa merepresentasikan makna dari semua istilah zuhud adalah apa yang dikatakan oleh Ibn al-Jala'. Ia mengatakan bahwa Zuhud adalah memandang "dunia" (dunia ini saya artikan sebagai kemelekatan di dalam diri; ego) dengan remeh, dan bagi para pelaku zuhud menghindari dunia sangat begitu mudah. 

Penjelasan di atas, dapat dikonfirmasi pada kitab Risalah al-Qusyairiyah halaman 147-148) karya Imam al-Qusyairi salah satu guru dari Imam al-Ghazali. Kitab Ihya sering kali mengutip kitab ini. 

Alhasil, subjudul ini sepertinya kurang tepat, sebab zuhud memiliki makna yang berbeda bergantung pada pengalaman masing-masing para sufi. Namun, dari sekian banyak definisi soal zuhud, hemat saya adalah satu benang merah yang bisa kita cermati. 

Bahwa zuhud adalah meremehkan dunia, bahkan membencinya. Namun, jangan salah paham. Membenci bukan berarti tidak boleh memiliki, kepemilikan dan kemelakatan yang ada pada diri adalah hal yang tidak penting, jika merujuk pada definisi zuhud. 

Tolok ukurnya bukan lahiriah, melainkan batiniah. Seseorang boleh kaya raya namun dia bisa zuhud, karena hati dan pikirannya tidak melekatkan dunia itu kepada dirinya. Sebaliknya, orang miskin bisa jadi tidak zuhud, kalau ia masih memikirkan, berangan-angan bahkan ingin memiliki hal-hal yang belum sempat ia miliki.

Semua Nabi Punya Sikap Zuhud

Jika kita telisik kisah-kisah para Nabi dipastikan memiliki sifat zuhud. Mulai dari nabi Adam yang tidak peduli dengan kekayaan Qabil, Nabi Nuh yang rela menunggu ratusan tahun dalam berdakwah, Nabi Ibrahim yang tak mementingkan dirinya sendiri hingga dibakar. 

Nabi Musa yang berjalan menjadi pembebas kaum Israel, Yesus yang tak memiliki rumah dan tak menikah, hingga Nabi Muhammad ﷺ yang tak pernah sekalipun menyimpan harta benda di dalam rumahnya meski hanya semalam. 

Tradisi zuhud merupakan tradisi kenabian dan kewalian. Kesalihan seseorang biasanya juga dilihat dari seberapa zuhud ia dengan dunia. Seberapa berani ia menceraikan dunia. 

Ayat-ayat yang Bicara Soal Zuhud

Jika kita periksa, sangat banyak sekali ayat-ayat di dalam Al-Qur'an yang bicara soal zuhud. Baik secara eksplisit maupun implisit. 

Saya tidak akan mengutip banyak-banyak ayat. Ada tiga ayat yang bagi saya penting dalam hal membahas soal zuhud. 

QS. Al-Hadid; 22 dan 23

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.

Ayat selanjutnya yakni 23 adalah sebagai berikut;

لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٍ فَخُورٍ

Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri

Kedua ayat tersebut memiliki aspek penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, segala macam kejadian yang sudah terjadi telah ada ketentuannya di "buku catatannya Allah" oleh sebab itu tak perlu ada yang dikhawatirkan. 

Kedua, kesedihan dan kesenangan adalah kesementaraan, jadi sebagai manusia jangan sampai terlena dalam kebahagiaan, dan merasa terpuruk dalam kesedihan.

QS. An-Nisa; 77

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ قِيلَ لَهُمۡ كُفُّوٓاْ أَيۡدِيَكُمۡ وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِّنۡهُمۡ يَخۡشَوۡنَ ٱلنَّاسَ كَخَشۡيَةِ ٱللَّهِ أَوۡ أَشَدَّ خَشۡيَةًۚ وَقَالُواْ رَبَّنَا لِمَ كَتَبۡتَ عَلَيۡنَا ٱلۡقِتَالَ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٍ قَرِيبٍۗ قُلۡ مَتَٰعُ ٱلدُّنۡيَا قَلِيلٌ وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٌ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ وَلَا تُظۡلَمُونَ فَتِيلًا

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ”Tahanlah tanganmu (dari berperang), laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat!” Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba-tiba sebagian mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut (dari itu). Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tunda (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala turut berperang) dan kamu tidak akan dizhalimi sedikit pun.”

Ayat ini bagi saya juga menunjukkan dan menganjurkan kezuhudan yang luar biasa. Di dalam peperangan memang tak ada yang menyukainya. Namun jika hal tersebut adalah perintah, tak ada alasan untuk menolaknya. Penolakan ini biasanya adalah pertimbangan dunia, sebab perang taruhannya adalah mati, jika mati tidak bisa menikmati kehidupan.

Ayat di atas jangan diartikan secara tekstual, sebab dalam kaidah ulumul quran yang mengadopsi kaidah ushul fiqh menjelaskan ada kaidah manthuq dan mafhum. Ada aspek tekstual dan aspek kontekstual. Tekstualnya memang membahas soal perang, namun era sekarang peperangan adalah konteks yang rumit. Jadi kita mengambil konteksnya, yakni ketika pertimbangan-pertimbangan dunia itu diabaikan, maka sebagai umat muslim diberi jaminan yang lebih baik, yakni aspek akhirat. Dunia pascadunia. 

Zuhud dalam konteks ayat ini adalah "meremehkan" dunia. 

QS. Al-Kahfi: 7

إِنَّا جَعَلۡنَا مَا عَلَى ٱلۡأَرۡضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبۡلُوَهُمۡ أَيُّهُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًا

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.

Imam al-Ghazali dalam menafisrkan ayat tersebut bahwa Allah menguji para hamba-Nya, siapa yang paling zuhud di antara mereka. (Ihya juz 4: 219). Oleh sebab demikian, masih menurut Imam Ghazali bahwa Zuhud itu bukan berarti meninggalkan dunia, namun seberapa mampu manusia menghilangkan kemelekatan dunia di dalam dirinya. 

Lagi-lagi ini adalah persoalan pikiran dan hati. Zuhud adalah persoalan itu, bukan persoalan lahiriah seberapa miskin dan seberapa terhinanya dia. 

Penutup

Untuk menutup tulisan ringkas ini, saya tertarik kalimatnya Fudhail bin Iyadh, salah seorang tokoh sufi besar di zamannya. Ia mengatakan begini di dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah: 150

Allah menciptakan semua keburukan mulai dari di dalam rumah, dan menjadikan "cinta dunia" sebagai pintu masuknya. Allah pula menciptakan semua kebaikan di dalam sebuah rumah, dan menjadikan zuhud sebagai pintu masuknya.

Kalimat itu cukup menjadi pentup, kita telah diberi kunci bahagia dan kesengsaraan. Jika menginginkan kebaikan masuklah dari pintu zuhud, jika menginginkan keburukan... nauzubillah...  

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

1 comment for "Zuhud dalam Bingkai Islam Sufistik"

Comment Author Avatar
Luar biasa kisah saya Sabtu pagi ini. Diawali dengan membaca artikel yang berat ini, tapi mencerahkan. Membuat saya batal mendewakan dunia. 😁