Ads #1

6 Rahasia Pola Asuh Orang Denmark Review Buku The Danish Way

Pola asuh orang Denmark review buku The Danish Way of Parenting Rahasia Orang Dermark Membesarkan Anak

cara denmark mengasuh anak
qowim.net

Pengantar

Kali pertama melihat buku ini di suplier saya, pertanyaan yang muncul "Ada apa dengan Denmark? Mengapa Denmark? Kenapa bukan Amerika, Inggris, Belanda dan negara-negara yang "menurut saya" maju?

Oleh karena itu, pembahasan ngomongin buku ini akan dimulai dengan pertanyaan mengapa Denmark?

Oiya, buku ini diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2018 bulan April. Ketika saya membaca buku ini pada bulan Desember pada tahun yang sama, buku ini sudah cetak ulang sebanyak 3 kali. 

Kalau di tahun 2021, entah sudah berapa kali cetak. 

The Danish Way ditulis oleh dua orang yaitu Jessica Joelle Alexander dan Iben Dissing Sandahl. 

review buku the danish way
qowim.net

Mengapa Denmark? 

Jessica dan Iben mengawali rencana penulisan dengan fakta yang didapatkan tentang Denmark bahwa, selama lebih dari 40 tahun, orang Denmark terpilih menjadi orang-orang paling bahagia di dunia. 

Bahkan sejak World Happiness Report dibuat oleh PBB, di tahun 2019 pun Denmark masih menempati posisi urutan paling atas setiap tahunnya. 

Mereka berdua menerka-nerka tentang faktor-faktor pendukung seperti sistem sosial, sistem pemerintahan, keamanan, fasilitas umum, pendidikan dan lain-lain. Ternyata bukan itu penyebab yang paling mendominasi. 

Jessica dan Iben melakukan riset bertahun-tahun karena memang keduanya punya latar belakang yang saling melengkapi, Jessica seorang guru dan Iben seorang psikiater anak. 

Dari penelusuran tersebut, ia mempunyai keyakinan bahwa rahasia mengapa orang Denmark hidup bahagia adalah karena pola asuh mereka yang secara turun-temurun diwariskan pada generasi selanjutnya. 

Yuk kita mulai kesuksesan orang Denmark bisa menempati urutan pertama indeks kebahagiaan di dunia. 

Enam Kunci Sukses Parenting

Enam kunci sukses parenting ala Denmark ini diambil dari otak-atik gathuk kata P+A+R+E+N+T

Ternyata tidak hanya orang Jawa yang suka otak-atik gathuk. Denmark juga iya... 

Pertama-tama, kita dibeberkan mengenai pentingnya sebuah kesadaran tentang adanya bawaan-bawaan alami dalam hidup kita, utamanya dalam persoalan lingkungan sosial. 

Lingkungan sosial bisa diwakili oleh pola asuh orang tua, pola pendidikan, hingga sosial yang lebih luas cakupannya. 

Jessica dan Iben agaknya lebih percaya karakteristik anak adalah nature, bukan nurture, bahwa anak mempunyai karakter-karakter bawaan lahir yang kelak akan mempengaruhi hidupnya di kemudian hari, bahkan hingga ia dewasa. 

Kesadaran tersebut jika tidak dideteksi secara dini, maka akan menjadi stereotip dan pelabelan buruk, padahal sebenarnya kita bisa mengelola sifat-sifat yang dianggap "buruk" tersebut menjadi hal yang positif. 

Misalnya ketika anak dilabeli cengeng, lambat laun ia akan mengamini hal tersebut sehingga kecengengannya itu akan dipupuk secara terus-menerus. 

Apa akibatnya? 

Ia akan merasa minder, bahkan frustasi hingga stress karena tidak bisa menangani kecengengan tersebut. 

Lalu apa solusinya? 

Berikan pemahaman bahwa cengeng itu hal yang wajar dimiliki oleh manusia, semua manusia boleh menangis karena sedih, kecewa, marah, dll. 

Bawaan-bawaan lahir sifat manusia tidaklah semuanya buruk, ia ada karena harus dikelola oleh manusia itu sendiri, sehingga ia bisa menanganinya secara mandiri tanpa menggantungkan kepada orang lain. 

Play

Jessica mengutip kalimat Rogers begini

"Kegiatan bermain sering kali dianggap sebagai pelarian atau jeda dari kegiatan belajar yang sesungguhnya. Namun, bagi anak-anak, bermain adalah kegiatan belajar yang sesungguhnya"

Hidup kita pada intinya adalah permainan, tak terkecuali anak-anak hingga kita dewasa. Jika kita sedanga bermain pasti ada konsekuensi menang dan kalah. Nah, itulah kehidupan. Hal-hal yang kita alami semua pada hakikatnya adalah permainan. 

Ketika kita memahami hidup sebagai sebuah permainan, maka perjalanan kita selama hidup tentu akan bahagia dan selow-selow saja. 

Bermain juga, termasuk aktivitas yang paling efektif untuk belajar. Bermain sambil belajar, ini sering dikampanyekan. Tapi persoalannya adalah sejauh mana anak-anak itu bisa merasa sedang bermain, padahal ia sedang belajar? 

Banyak orang tua yang, menganggap bahwa belajar itu ya baca buku, menggambar, mewarnai, dll. Sedangkan, mengelola emosi, berhubungan dengan lingkaran sosialnya, hingga mengeksplorasi alam bukan termasuk permainan. 

Padahal, tidak. 

Bermain pada intinya adalah mengetahui kapan mulai dan kapan harus stop. Ia serangkaian aktivitas yang, hampir menggunakan seluruh kemampuan anak, mulai dari kognitif, sosial, imajinasi, emosional, bahkan fisik. 

Lebih lanjut, sebaiknya kita hanya mengawasi saja jika anak-anak bermain yang "berbahaya" walaubagaimanapun anak-anak harus memahami risiko yang ia dapatkan ketika melakukan sesuatu. Menghentikan permainan karena takut terluka hanya akan menghambat kreatifitasnya yang seharusnya berkembang lebih baik.

Untuk permainan ini, Iben menuliskan secara khusus di buku terbarunya berjudul Play The Danish Way, ya kapan-kapan lah insyallah akan direview di blog ini. 

Autentisitas

Otentik. William Shakespeare pernah mengatakan:

"Tidak ada warisan yang lebih berharga daripada kejujuran"

Lebih lanjut, saya ingat dawuhnya Kanjeng Nabi "Katakanlah yang sejujurnya meskipun itu pahit"

Dalam hal ini, otentisitas dikaitkan dengan memandang sesuatu secara apa adanya, jangan dilebih-lebihkan, alih-alih diremehkan.

Jika anak salah, jangan diperburuk dengan memarahinya dengan keras, mungkin ia sedang belajar. Jika ada berhasil meraih sesuatu, jangan dipuji secara berlebihan. Misalnya begini; 

Jika anak selesai menyelesaikan menggambar, kita jangan terburu-buru mengatakan "Wah, bagus sekali, kamu bakat menggambar, kamu seniman heeeebat sekali" 

Sebaiknya kita menghargai prosesnya, bukan hasilnya yaitu dengan mengubah pertanyaan menjadi "Wah, ini gambar apa?" misalnya lagi "Ini diwarnai merah kenapa?" atau yang lain "Imajinasi kamu apa ketika gambar ini?" dll. 

Usia pra sekolah atau sekolah, sebagus apa sih gambar mereka? tentu tidak bisa menyebutkan dengan seniman hebat kan? 

Maka dari itu kita diminta bersikap jujur dengan penilaian tersebut. Ini bukan maksud untuk mengentikan kreatifitas, justru dengan bersikap jujur itulah anak akan memahami bahwa yang penting bukanlah hasil dari gambar, melainkan proses detil-detil yang dilakukan ketika menggambar. 

Fokus pada prosesnya, bukan hasilnya.

Reframing

Reframing artinya memaknai ulang. Banyak sekali hal-hal yang membuat kita takut karena penilaian pertama yang tertanam di pikiran kita. Misalnya; kita terbiasa tidur siang karena dari kecil kita diberi tahu jika tidak tidur siang, maka di malam hari tidak bisa konsentrasi untuk belajar. 

Oke, ada benarnya. Namun, tidak setiap hari tentunya kita bisa tidur siang, ada kondisi dan fakta-fakta tertentu yang kelak akan terjadi bahwa kita tidak bisa tidur siang. Akibatnya, ketika kita menemukan kondisi tidak bisa tidur siang, framing yang bekerja adalah tidak bisa konsentrasi ketika belajar. 

Anehnya, framing yang kita buat sendiri itu akan bekerja. Ketika malam hari, kita tidak konsen belajar maka menyalahkan siang tadi yang tidak tidur siang. 

Itulah framing. 

Menurut orang Denmark, ini berbahaya bagi perkembangan anak ketika dewasa. Hal itu harus dimaknai ulang (reframing), caranya bagaimana? 

Saya gambarkan dengan dialog saja, begini. 

"Malam ini saya tidak bisa konsentrasi belajar karena siang tadi tidak tidur, gara-gara si Anu main ke rumah" 

"Tidak apa-apa, tapi malam ini kita dapat makanan banyak lho dari si Anu"

Mengasosiasikan tidak konsentrasi belajar dengan tidak siang adalah framing, lalu membelokkan framing tersebut dengan makanan yang banyak. 

Sehingga, kita bisa menyadari bahwa selain tidak bisa tidur, kita juga punya hal-hal lain yang membuat kita bahagia di malam tersebut. 

Saya kira, ini tidak hanya ditekankan pada anak-anak, kita juga butuh reframing seperti demikian. Agar kesehatan mental dan kerapuhan diri kita bisa segera diatasi dengan baik. Kesedihan-kesedihan yang sering datang, jika kita bisa membelokkan pada hal-hal yang bisa membuat kita bersyukur, kenapa tidak?

Hari ini hujan deras, ah tidak apa-apa masih untung tidak mati listrik. 

Hari ini tidak ada ayam goreng, ah tidak apa-apa besok bisa beli. 

Hari ini tidak bisa jalan-jalan, ah tidak apa-apa bisa bercengkerama dengan keluarga di rumah. 

Dan lain-lain...

Empathy

Empati, sederhananya adalah perasaan peduli kepada orang lain. Peduli tidak hanya ketika dalam keadaan sedih, tetapi juga pada saat ketika seseorang benar-benar membutuhkan orang lain. Manusia membutuhkan yang lain tidak hanya dalam keadaan "butuh", tetapi memang kebutuhan itu sendiri adalah hal yang tidak bisa dihindari oleh manusia. 

Orang Denmark punya kepercayaan fundamental yang menarik bahwa "Peduli pada kebahagiaan orang lain selalu penting untuk menciptakan kebahagiaan mereka sendiri" (h. 80)

Kepuasan diri ketika bisa bersikap empati kepada orang lain adalah kebahagiaan itu sendiri. Jadi, tak benar juga jika ada ungkapan "Bahagiakanlah dirimu sendiri terlebih dahulu, baru orang lain" 

Lah, jika kita bisa membahagiakan diri dengan membahagiakan orang lain? kenapa tidak, kan?

Soal E dalam Parent Denmark ini memang unik. Di sistem sekolah Denmark ada program nasional wajib yang diterapkan sejak prasekolah yang dinamakan step-by-step

Permainannya cukup sederhana, anak-anak diperlihatkan gambar anak dengan emosi yang berbeda-beda; sedih, takut, marah, frustasi, bahagia dan seterusnya. Anak-anak berbicara tentang kartu-kartu tersebut dan mengatakan apa yang mereka rasakan, belajar untuk mengungkapkan perasaan dirinya sendiri dan perasaan orang lain.

Mereka belajar berempati, memecahkan masalah, mengendalikan diri, dan membaca ekspresi wajah. Mungkin terkesan berlebihan anak seusia prasekolah bisa mengenali hal semacam itu. Tapi buktinya?

Kita sering kali melihat anak sebagai manusia yang belum sempurna, baik secara kognitif, emosi dan fisiknya. Tapi kita harus percaya bahwa anak juga manusia, mereka punya perasaan sebagaimana orang dewasa.

Kalimat dari Helen Keller dikutip pada bab ini

"Hal terbaik dan tercantik di dunia tidak bisa dilihat ataupun disentuh, tetapi harus dirasakan dengan hati" - Helen Keller

No Ultimatum

Pada bab ini, Iben mengutip kalimat Buddha yang sangat intim sekali dalam dunia batin.

"Lebih baik menaklukkan diri sendiri, daripada memenangi seribut pertarungan" 

review buku the danish way
qowim.net

Saya jadi ingat dawuhnya Rasulullah ketika ditanya pasca Perang Badar "Kita berangkat dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar" Ketika sahabat bertanya apa itu? Nabi menjawab "Jihad memerangi diri sendiri"

Tokoh-tokoh agama dunia, meski tidak sama dalam sisi ritualnya, agaknya mempunyai kesamaan dalam sisi-sisi spiritualitasnya.

No ultimatum adalah mendidik tanpa ulitimatum. Kita sering melihat para orang tua yang membentak-bentak anaknya hanya disuruh mandi terlampau sulit? Ya, bahkan kita sendiri dulu mengalaminya. Bentakan dan teriakan itu seringkali diiringi dengan ancaman-ancama; kalau tidak mandi tidak saya beri uang jajan, kalau tidak mandi tidak boleh main, dan lain-lain. 

Bahkan, masih ada lho orang tua yang... ah udahlah STOP di sini aja. Fokus ke no ultimate nya Dernmark aja. 

Poin saya adalah tentang mengasuh dengan penuh hormat. Orang Denmark ingin anak-anak mempunyai respek, tapi anak tidak mungkin paham jika tidak dari dua arah. Kita sebagai orang tua harus terlebih dulu bisa menerimanya. Jadi hubungan anak dan orang tua bukan didasari ketakutan, tapi ketegasan. 

Ketakutan dan ketegasan mempunyai perbedaan yang jauh. Rasa takut tidak tidak selalu diketahui alasan-alasannya mengapa ia tidak boleh melakukan sesuatu, lalu ia hanya akan menghindari disakiti atau dibentak. 

Ketegasan merupakan langkah untuk memfasilitasi kesadaran kuat akan diri sendiri, bahwa semua aturan terdapat alasan-alasan tertentu. Misalnya; ketika anak menyakiti orang lain dengan memukul -dalam kondisi ini kita memahami anak belum memahami tentang "menyakiti"- alih-alih membentak atau mencubitnya. 

Kita hendaknya menanyakan terlebih dahulu "kenapa memukul?" - "Kamu tahu gak kalau dipukul itu sakit?" - "Kalau kamu memukul nanti kamu bisa dipukul kembali" - dll. 

Dengan begitu, anak merasa dihargai sebagai seorang diri, ia berhak untuk belajar mengelola masalah yang seperti itu. Ketika suasana sudah tenang, baru kita mulai untuk negoisasi dengan membuat aturan-aturan tertentu agar hal tersebut tidak terulang kembali. 

Jika perlu, berikan konsekuensi-konsekuensi jika aturan yang sudah disepakati tersebut tiba-tiba dilanggar.

Togetherness

Kebersamaan dan kenyamanan. Orang Denmark mempunyai waktu-waktu khusus untuk hal ini; togotherness and hygge.

Pada bab awal dikutip kalimat Phil Jackson

"Tim yang bagus akan menjadi terhebat ketika anggotanya cukup percaya satu sama lain untuk mengubah saya menjadi kami"

Sejujurnya saya agak kesulitan untuk menuliskannya pada bab ini, sebab banyak sekali variabel-variabel yang terlibat dalam konsep kebersamaan dan hygge.

Saya mulai saja dari kutipan di halaman 132.

"... Jika kita tahu bahwa kita mempunyai orang yang bisa diajak bicara atau dimintai pertolongan pada waktu sulit, kita lebih siap untuk menghadapi tantangan hidup tanpa tumbang."

Kita pasti membutuhkan orang lain, begitu pula anak. Menceritakan masalah-masalah yang dihadapi ketika di luar rumah, akan membantu perkembangan kemampuan komunikasi anak untuk mendefinisikan emosinya sendiri. 

Hal ini dibutuhkan waktu-waktu khusus, jika orang tua tidak bisa sepenuhnya menjadi teman bicara setiap waktu. Setidaknya ada waktu-waktu seperti menjelang tidur, ketika makan malam, atau hari-hari tertentu. 

Sesederhana makan bersama bisa menciptakan kelekatan emosional anggota keluarga sehingga semua peran bisa dibicarakan di sana secara lebih santai dan tanpa tekanan.

Banyak orang berusaha untuk tabah dan menyimpan sesuatu sendirian, tetapi riset menunjukkan bahwa orang yang mencoba untuk kuat dalam tragedi akan menderita dalam jangka waktu yang lebih lama daripada mereka yang membagikan emosi mereka bersama orang lain. 

Penutup

Akhirnya selesai juga setelah menggos-menggos nulis ini. Sebenarnya ingin sekali menulis tips-tips yang ada di semua 6 pola di atas. Insyaallah lain kali di postingan berikutnya. Sebenarnya ini buku tidak hanya untuk orang tua, tetapi juga para pendidik dan praktisi anak-remaja.  

Semoga review buku ini bisa menjadi referensi yang baik untuk pola parenting yang sehat di dalam keluarga, untuk orang tua dan tentunya anak-anak.  

Jika ada yang tertarik dan ingin membeli buku ini bisa chat Whatsapp harga 59.000 saja.

Pesan via WhatsApp
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "6 Rahasia Pola Asuh Orang Denmark Review Buku The Danish Way"