Ads #1

Diberi atau Tidak Diberi adalah Sama: Wujud dari Kasih Sayang-Nya (Hikam 85)

Sewaktu kecil, ketika saya melihat saudara saya diberi uang oleh orang tua, saya cemburu dan punya kesimpulan bahwa orang tua pilih kasih. Sayang sama adik saya, tapi tidak sama saya, hanya persoalan uang yang tidak seberapa dan, hanya pada saat itu saja. Satu kejadian kecil, tapi saya jadikan sebagai kesimpulan yang sepihak, lalu melupakan kebaikan-kebaikan orang tua saya selama itu.

Sebuah kisah, seorang atlit renang dari Amerika (saya lupa namanya), sewaktu kecil ia diejek teman-temannya lantaran punya telapak tangan yang lebarnya tidak pada umumnya, sekaligus kedua tangannya jika direntangkan ternyata lebih panjang dari tinggi badannya. (pada umumnya, kedua tangan jika direntangkan akan sama dengan tinggi badan) Ia diejek sebagai manusia ikan.

Kemudian orang tuanya menyuruh untuk kursus renang, dengan kegigihannya, ia berhasil. Bertahun-tahun ia menjadi atlit renang yang tak tertandingi kecepatannya.

Sering kali, kita memahami pemberian adalah satu-satunya tanda bentuk kasih sayang. Jika tidak diberi, maka tanda tidak sayang. Itulah logika kita pada umumnya.

Padahal, tidak jarang juga bahwa sebenarnya tidak diberi adalah salah satu bentuk kasih sayang.


Sebagaimana yang dikatakan oleh Syikh Ibnu Athaillah dalam Kitab Al Hikam, maqalah ke 85.

Jika Dia membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang alasan, mengapa engkau tidak diberi, maka sesungguhnya hal itu sudah merupakan bentuk dari pemberian Allah. Hikam ke 85

Sering kali, dalam pemahaman kita, Allah terkesan tidak mengabulkan doa-doa kita, ia tidak memberikan sesuatu yang kita inginkan dan dambakan, namun ternyata ada kebaikan di sana, sebagaimana yang sering kita dengarkan dalam surat Albaqarah "Barangkali yang kamu benci dalam pemahaman kalian itu baik untukmu, yang kamu sukai dalam pemahamanmu itu buruk bagimu."

Ayat di atas, persoalan utamanya adalah pada pemahaman. Ada sebuah kisah fiktif dalam Kitab Ihya Ulumuddin yang dicerikan oleh Guru Saya Gus Rumaizijat ketika menjelaskan tentang nikmat Allah.

Seseorang sedang mengidap penyakit menahun yang tidak sembuh-sembuh, konon belum menemukan obatnya, ia mengeluh setiap hari karena rasa sakit yang dideritanya tersebut.

Sebenarnya obat dari sakitnya selama ini ada di depan rumahnya yaitu tumbuhan yang tidak pernah ia perhatikan. Karena ketidaktahuannya itu, tumbuhan tersebut tidak dilirik sama sekali. Hingga suatu ketika ada seorang tabib mengatakan bahwa tumbuhan yang ada di depan rumahnya itu adalah obat untuk sakitnya.

Orang tersebut lalu berterima kasih dan memakan tumbuhan itu, sebagai lantaran untuk kesembuhannya. Nikmat Allah itu tidak terbatas. Sering kali kita tak mengetahui bahwa itu adalah sebuah nikmat.

Oleh karenanya, Syaikh Ibnu Athaillah mengatakan hal di atas bahwa pemahaman kita tentang alasan-alasan kenapa tidak diberi oleh-Nya itu adalah sebuah nikmat itu sendiri.

Sampai di sini kita tahu bahwa pemahaman dan pengetahuan begitu sangat penting, bahkan sangat menentukan cara pandang kita terhadap Allah.

Jadi, yang paling penting untuk kita perhatikan adalah pemahaman kita. Lalu, kapan kita tahu bahwa sesuatu yang kita anggap buruk adalah sebuah kebaikan bagi kita?

Biasanya adalah persoalan waktu. Ada seseorang yang hendak pergi ke luar provinsi naik pesawat terbang, di perjalanan ia dihalang macet, sampai di Bandara pesawat sudah take off. Ia marah-marah dan tentunya menyesal.

Beberapa jam kemudian, ada berita tentang pesawat yang jatuh di laut. Tak ada satupun yang selamat, pesawatnya hancur berserakan di laut.

Lalu orang tersebut baru mengatakan alhamdulillah karena telah macet di jalanan yang berakibat ia terlambat boarding.

Ini bukan cerita fiktif, ini terjadi pada kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP yang jatuh di laut Karawang dari ketinggian 3000 m pada Oktober 2018.

Dari kisah tersebut, tepat dengan apa yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu Athaillah di aforisma selanjutnya. bahwa

Ketika Dia memberimu, Dia sedang memperlihatkan kebaikan-Nya. Ketika Dia tidak memberimu, Dia sedang memperlihatkan keperkasaan-Nya. Semua itu, pada dasarnya Dia sedang memperlihatkan kepadamu dan mendatangimu lewat kelembutan-Nya. Hikam ke 94

Lalu, apakah kita sudah yakin bahwa segala yang terjadi kepada kita, baik yang sudah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi, adalah bagian dari cara Allah menyapa kita?

Jika kita merasa tidak diberi oleh Allah, mari kita cari tahu alasannya kenapa, ketika kita sudah mendapatkannya maka pada hakikatnya itulah pemberiaan Allah juga.

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Diberi atau Tidak Diberi adalah Sama: Wujud dari Kasih Sayang-Nya (Hikam 85)"