Widget HTML #1

Bagaimana Merayakan Tahun Baru yang Sebenarnya Tak Baru-baru Amat?

Saya menulis ini di akhir penghujung tahun 2019. Tepat pukul 23.00 Semoga tulisan ini selesai di tahun 2020 lalu saya publikasikan di blog ini.

Dua bulan terakhir ini, saya membaca dua buku, pertama The Art of The Good Life karya Rolf Dobelli dan yang kedua Menaiki Tangga yang Salah karya, hmmm... Siapa namanya ya kok saya lupa. Oiya Eric Barker. (saya harus tolah-toleh di sekeliling untuk menemukan buku berwarna oranye itu, untungnya mata saya menemukannya)

Sudah dua hari terakhir ini pula, seabreg resolusi-resolusi diunggah, mau ini mau itu, akan melakukan ini akan melakukan itu, harus mencapai ini dan harus mencapai itu. Pokoknya semua orang, hampir semua orang lah punya resolusi sendiri-sendiri.
Di dalam buku Seni Hidup Tenteram ada satu bab yang berjudul "Mengelola Harapan - Semakin Sedikit Anda Berharap Semakin Anda Bahagia" ia menjelaskan tentang bagaimana mengelolah keharusan (have to) keinginan (want to), dan harapan (expect).

Sekilas, kita akan memahami bahwa berharap itu sebenarnya membuat kita merasa sakit. Ya, sakit betul, ketika harapan itu tak sesuai dengan faktanya, utamanya adalah berharap kepada manusia dan realitas faktual.

Saya pernah berharap kepada seorang perempuan yang sekarang bukan istri saya, bertahun-tahun saya berharap, tapi kemudian ada hal-hal yang di luar keadaan saya, menghalanginya atau lebih tepatnya meledakkan harapan tersebut menjadi puing-puing yang jatuh dari langit.

Harapan saya pada waktu itu tinggi, tinggi sekali, jadilah puing-puing itu turunnya juga lama untuk sampai ke bumi. Hehehe.

Hari demi hari saya lalui sambil menunggu puing-puing itu jatuh untuk kemudian saya susun kembali. Menyedihkan? Tentu.

Tapi satu hal yang paling berarti bahwa ternyata, dalam kejadian itu menyadarkan saya bahwa banyak sekali hal-hal yang tidak bisa saya kendalikan di dunia ini.

Satu-satunya yang bisa saya kendalikan adalah diri saya sendiri, sejak saat itu ketika saya berharap kepada orang lain, maka harapan itu akan segera saya rem agar ia tidak melambung tinggi dan kemudian meledak.
Kebanyakan momen paling tidak bahagia terjadi karena harapan dikelola secara sembrono, terutama harapan terhadap orang lain tulis Rolf Dobelli.
Hati-hati saja, siap-siap ketika kita menjatuhkan harapan kepada orang lain, maka kita harus siap kecewa. Saya sering merasa bodoh soal ini, karena menjatuhkan harapan kepada orang lain itu seperti kita merelakan diri sendiri untuk terjebak dan jatuh, dan tentunya sakit. Kita ini seakan-akan rela dan mau aja disakiti - oleh harapan.

Makanya, betul kalimatnya Syaikh Ibnu Athaillah, lebih kurang begini intinya,
Hanya orang bodoh yang menyandarkan dirinya kepada hal yang rapuh (dunia; manusia, realitas, keinginan, harta benda), padahal hanya Allah lah yang menjadi sandaran paling kuat.
Tepat sekali kan? Hanya Allah sebenarnya paling hebat dan pantas kita jadikan sandaran, sebab Ia tak pernah PHP kepada hambanya. Hihihi.

(Sudah dar dor dar dor nih... Tiba-tiba kok saya kepikiran "Wah itu mercon totalnya berapa juta ya :D)

Satu lagi soal harapan dan mimpi. Eric Barker menceritakan di bab-bab terakhir bukunya Mendaki Tangga Yang Salah. Namanya Martin Pistorius.

Pada usia 12 tahun ia mempunyai penyakit yang berkaitan dengan kemapuan motorik otak dan itu memengaruhi sedikit demi sedikit kontrol anggota tubuhnya. Ia tidak bisa bergerak sama sekali, yah sama sekali. Ia seperti mayat hidup di atas tempat tidur.

Ayah dan ibunya harus saling jaga bergantian untuk merawatnya bertahun-tahun hingga ibunya berharap agar anaknya mati saja, daripada melihat penderitaan yang dialami oleh anaknya itu.

Apa yang dilakukan Martin?

Tidak. Sama sekali ia tidak putus asa, meski sama sekali tidak bergerak, ia masih bisa mendengar dan ternyata otaknya masih berfungsi dengan baik. Ia membuat imajinasi-imajinasi yang tidak bisa ia lakukan lagi pada saat itu, apapun itu. Ia mengkhayal sesuka hatinya. Bertahun-tahun.

Hingga pada suatu hari, di usianya yang ke 20 tahun, sedikit demi sedikit ia bisa menggerakkan anggota tubuhnya, mula-mulanya menggenggam sesuatu di sekitarnya, hingga ia bisa duduk di kursi roda.

Apakah cukup? Tidak. Ia lanjut sekolah di bidang pemrograman, dan di usia 33 tahun ia menikah dengan kekasihnya. Ia bekerja secara lepas di bidang perancang web. Ia berhasil menulis memoirnya tentang pengalaman tersebut di buku Ghost Boy. Kini ia punya anak, teman, dan keluarga.

Jika tertarik dengan ceritanya bisa lihat di presentasinya yang berjudul How My Mind Came Back To Life TEDTalk, ia duduk di atas kursi roda, diam dan Macbooknya yang berbicara.

Cerita Martin adalah sebagai penyeimbang dari Mengelola Harapan yang dijelaskan oleh Rolf Dobelli.
Martin bersama istri Joane dan buah hati mereka
Ini seperti mengelola khauf dan raja' dalam terminologi tasawuf. Kecemasan dan Percaya Diri dalam terma Psikologi. Keduanya adalah baik ketika bisa diposisikan tepat di tempatnya. Lalu di mana tempat yang pas?

Kita sendiri yang tahu porsi tersebut. Orang lain hanya membantu, sejatinya yang paling mengerti tentang diri kita adalah kita sendiri.

Alhasil, kembali kepada pertanyaan judul celoteh ini, bagaimana merayakan tahub baru yang sebenarnya tidak baru-baru amat?

Kalau saya biasa aja, setiap hari atau minimal setiap sepekan sekali, kita pasti punya keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tidak perlu menunggu resolusi-resolusi tahun baru. Hanya saya, kita harus bisa membedakan, keharusan, keinginan dan harapan.

Ketiga hal itu adalah penentu kita menjadi bahagia atau tidak. Terakhir ada kutipan sayyidina Ali yang sering saya ingat tentang harapan kepada orang lain "Saya pernah mengalami kekecewaan banyak sekali, tapi yang paling menyakitkan adalah berharap kepada manusia"

Selamat tahun baru 2020. Tak terasa sudah pukul 00.56 WIB.
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

1 comment for "Bagaimana Merayakan Tahun Baru yang Sebenarnya Tak Baru-baru Amat?"

Comment Author Avatar
Suka kalimat ini "Satu-satunya yang bisa saya kendalikan adalah diri saya sendiri, sejak saat itu ketika saya berharap kepada orang lain, maka harapan itu akan segera saya rem agar ia tidak melambung tinggi dan kemudian meledak."