Review Baca Buku Ini Saat Engkau Lelah; Pemaknaan Hidup Untuk Mencintai Diri

Table of Contents
review baca buku ini saat engkau lelah

QOWIM.NET - Review baca buku ini saat engkau lelah. Diri sendiri. Satu istilah yang sering kita abaikan keberadaannya, sebab kita sibuk terlihat bahagia untuk membahagiakan orang lain, lalu lupa tentang "apa sih yang seharusnya aku kejar?" 

Belajar menerima, menyayangi dan mencintai diri kita sendiri dengan anggun, sehingga lelah pun iri melihat romantisnya kita dengan diri kita sendiri.
Jika kita lihat lebih seksama di gambar buku tesebut, di bawah ditulis "Sesungguhnya berpura-pura bahagia itu melelahkan"

Mungkin kita harus berhenti sejenak di situ, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali kita pura-pura bahagia.

Setelah tahun kapan terakhir itu. Coba kita renungkan, apa dan kenapa kita berpura-pura bahagia?

Jawaban dari "apa" mungkin beragam, semua orang punya realitas yang berbeda-beda, namun untuk "kenapa" bisa dilihat secara umum, yakni kita tidak bisa mencintai diri kita sendiri.

Tidak bisa mencintai diri sendiri? Apa maksudnya?

Sederhananya, kita tidak bisa menerima realitas bahwa diri kita ada yang kurang sempurna, bahkan tidak sempurna sama sekali. Tidak hanya itu, kita juga lupa bahwa di dalam diri kita ada potensi kebaikan yang besar, yang luput dari penilaian kita sendiri.

Pendek kata, tidak bisa mencintai diri sendiri adalah tidak bisa bersyukur.

Buku yang berjudul baca buku ini saat engkau lelah ini ditulis oleh Munita Yeni, alumni UNY jurusan pendidikan luar sekolah lulus pada tahun 2015.

Secara lahiriah, diterbitkan oleh psikologi corner Yogyakarta pada tahun 2018. Jumlah halaman kira-kira 220 an halaman.

Dari sisi kaver, bagi saya sangat luar biasa keren, ada gambar meja dan kursi kosong, bingkai foto juga dibiarkan kosong. Secara mudah bisa kita artikan bahwa buku ini bisa kita nikmati sekaligus sebagai bahan koreksi diri di tempat-tempat yang paling nyaman bagi kita.

Dalam kondisi mengoreksi diri sendiri, kita harus bisa berbicara dengan diri sendiri dengan melihat aspek kekurangan dan kelebihan yang kita miliki.

Desain tata letak bagi saya juga keren, gaya-gaya buku milenial dengan kutipan-kutipan yang sesuai dengan kondisi pembaca. Meskipun memakai ilustrasi yang sederhana banget, namun sesuai dengan keadaan psikologis pembaca.

Sistematika pembahasan buku ini sangat runtut, langkah demi langkah seperti kita sedang dituntun untuk berpikir secara sitematis dari akar hingga ujung, hingga kita bisa menyimpukan dengan baik.

Kita seperti sedang dipandu di hutan belantara yang asing dan mungkin belum pernah kita kunjungi selama hidup ini, yaitu hutan belantara realitas kita sendiri, yang kita alami mulai dari kecil hingga dewasa.

Kenapa saya tulis demikian? ada tiga hal bagi saya yang, sekiranya bisa dijadikan alasan.

Pertama, yang mendeskripsikan diri saya seharusnya saya sendiri, bukan orang lain.

Di halaman-halaman pertama, kita akan menemukan sebab-sebab kenapa kita selalu repot dengan penilaian orang lain. Apa yang dibicarakan orang lain tentang kekurangan kita, seolah-olah menjadi kebenaran yang harus kita tepis itu sesegera mungkin hingga, kita rela melakukan apapun untuk ...

Kalau kita tidak bisa menepis hal tersebut, kita akan mengandai-andai dengan kata "Jika dulu aku ... maka ... Seandainya aku dulu pernah ... maka ... Jika saya aku punya ... maka ... Kalau temanku itu ... pasti akau akan ..."

Yeni menyebutnya dengan Planet Mars, yakni realitas yang ideal di dalam kepala kita yang tidak bisa kita jangkau, bahkan mustahil. Jika kita sedang merasa terpuruk, racun yang kita anggap obat yaitu masuk ke planet Mars, untuk memuaskan diri kita sendiri lalu menyalahkan orang lain dan apapun pokoknya yang salah bukan kita sendiri.

Jika demikian yang terjadi, artinya kita bergantung dengan orang lain melabeli diri kita sehingga kita tidak bisa mengartikan diri kita sendiri.

Kedua, kita sedang dibantu memahami 16 bentuk sikap yang menunjukkan kalau kita tidak bisa mencintai diri sendiri, bahkan membenci diri sendiri.

Kembali lagi adalah sikap, fakta itu objektif, pemahaman kita adalah relatif, kita hanya mencari cara bagaimana pemahaman relatif kita tentang fakta adalah objektif, bukan manipulatif.

Mungkin itu inti dari ke 16 sikap tersebut.

Tidak hanya menjelaskan tentang 16 sikap tersebut, kita juga diberitahu bagaimana sikap itu bisa hadir, dan bagaimana cara mengatasinya.

Jika dirangkum, saya lebih sepakat, semua adalah bentuk dari pemikiran kita. Kita tidak bisa mengubah fakta, tapi kita bisa membentuk perspektif kita.

Misalnya, fakta bahwa hidung saya besar; semua orang tahu dan saya juga tahu itu. Tapi di balik besarnya hidung saya ini, saya masiih bisa bernapas, dan itu adalah fungsi utamanya hidung. Saya juga masih bisa mencium aroma-aroma.

review buku baca buku ini saat engkau lelah

Ketiga, Tips-tips sederhana agar kita bisa meluangkan waktu untuk diri kita sendiri

Rasanya aneh, mungkin. Tapi betul. Sering kali kita lupa meluangkan waktu untuk diri sendiri. Bukan, bukan lupa, tapi tidak tahu kalau sesuatu yang sedang kita lakukan itu sebenarnya untuk diri kita sendiri.

Nah itu yang tepat. Misalnya begini ya ...

Kita membersihkan lantai karena takut dibilang koproh alias jorok, kita olah raga karena tidak ingin dibilang gendut, kita kuliah karea khawatir dibilang orang lain kuper, dan lain sebagainya.

Hal ini tentu beda jika kita ubah perspektifnya.

Saya membersihkan lantai agar saya nyaman melakukan aktifitas
Saya olah raga karena tubuh saya butuh dijaga dan dirawat
Saya kuliah karena saya butuh ilmu.
...

Pemikiran yang awalnya karena sesuatu yang lain selain kita sendiri, kita ubah menjadi semua adalah untuk kita.

Inilah yang disebut sebagai mencintai diri sendiri. Ini salah satu konsep yang saya sukai pemaknaannya di dalam buku baca buku ini saat engkau lelah.

Satu hal yang menarik bagi saya, di dalam buku ini, kita tidak sedang membaca buku agama yang sarat akan nasihat-nasihat berlandaskan kitab suci dan petuah-petuah orang suci. Jika demikian, saya kira akan menjadi membosankan, bukan karena kitab sucinya dan petuah-petuah itu.

Tapi karena akan memberikan kesan bahwa kita sedang dihakimi, dan itu tidak enak rasanya.

Kita sedang diajak tamasya memahami realitas yang berbeda dengan cara pandang yang aman bagi ketahanan jiwa kita sebagai manusia yang, lemah, bodoh, dan zalim.

Di balik titah Allah diciptakan manusia yang demikan, kita harus tahu bagaimana cara memahami dan menyikapi hal tersebut.

Demikian adalah review buku baca buku ini saat engkau lelah sebuah pemaknaan hidup untuk mencintai diri sendiri. Semoga bermanfaat ya...

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment