Ads #1

Bicara itu Ada Seninya; Adab Berbicara Menurut Habib Alawi Al Haddad

QOWIM.NET - Memang itu judul buku, karyanya Oh Su Hyang, yang terkenal dan jadi best seller internasional. Saya baru setengah membacanya, belum selesai. Untuk sementara yang saya tangkap dari buku itu adalah, pahamilah semuanya, baru anda boleh bicara.

Tapi tulisan ini bukan tentang Oh Su dan bukunya itu. Melainkan tentang adab berbicara, tata krama berbicara yang diajarkan oleh Habib Abdullah bin Alawi al Haddad dalam kitabnya berjudul Risalatul Muawanah wal Mudhaharah wal Muazarah.

Bicara memang hal yang penting, sependek ingatan saya dalam ilmu psikologi, berbicara adalah tahap kedua manusia dalam merespon lingkungannya. Sebelumnya diawali dengan mendengar.

Di dalam kitab tersebut, saya hanya mengambil satu paragraf saja tentang adab berbicara.

Pertama, bicaralah yang baik-baik saja. Baik buruk memang hal yang sulit dinilai dalam kasus-kasus tertentu, namun secara umum bisa saja kita mengatakan kebaikan adalah hal yang dipandang baik oleh sebagian besar manusia.

Sederhana saja, lakukan saja survey ambil sampel 10 orang, kalau sedang kecewa lalu mengatakan "bangsat" atau "Astaghfirullah..." mana yang baik dan mana yang buruk. Nah itu kira-kira.

Kata Habib Alawi al Haddad "Setiap kata yang dilarang (haram) untuk diucapkan, maka haram pula hukumnya didengarkan."

Jika adu domba, fitnah, menyebarkan hoaks itu hukumnya haram, maka haram pula kita mendengarkannya.

Acara gosip murahan di televisi itu bisa jadi haram hukumnya untuk ditonton. Hehe ...

Kedua, bicaralah dengan pelan dan runtut sistematis. Redaksinya ...farattil kalamaka wa rattibhu... jika dalam ilmu tajwid kata tartil diartikan dengan membaca dengan jelas sesuai makhrajnya dan mengetahui tempat-tempat berhenti (waqaf), maka dalam konteks berbicara saya rasa hampir-hampir sama, yakni mengatakan kata demi kata secara jelas dan mengetahui tanda baca.

Penting untuk diketahui bahwa kesalahan tanda baca bisa berakibat fatal dalam maknanya.

Ketiga, Jadilah pendengar yang baik. Jika ada seseorang yang berbicara dengan kita, kita harus menghargainya dengan cara mendengarkan dengan baik apa yang sedang ia bicarakan.

Keempat, Jangan memotong pembicaraan. Hal ini sering kita temukan di sekitar kita, atau justru kita sendiri yang melakukannya. Biasanya terjadi ketika kita mendengar hal-hal yang sudah kita ketahui, kita sesegera menimpali untuk menunjukkan bahwa kita sudah tahu.

Ini bukanlah adab yang baik dalam berbicara.

Justru, kata Habib Alawi al Haddad, kita harus berpura-pura tidak tahu atau minimal tidak memperlihatkan bahwa kita sudah tahu. Bahkan, sangking menjaganya, ketika lawan seseorang menceritakan fakta dengan salah informasi, maka kita jangan serta merta mengatakan bahwa apa yang disampaikan itu salah, keliru.

Lalu apa yang harus kita katakan untuk mengklarifikasinya?

Kita cukup mengatakan "Apa yang saya ketahui berbeda, bahwa ini itu dan lainnya bla bla bla..." Intinya adalah jangan sampai kita mengatakan secara jelas bahwa kamu salah.

Terdapat tiga hadis rasulullah yang sangat berhubungan dengan hal di atas:

1. Semua kalimat yang diucapkan manusia itu tidak bermanfaat, kecuali mengingat Allah (dzikrullah) dan amar makruf nahi munkar.

2. Allah menyayangi orang yang hanya bicara hal yang baik, dan memilih diam dengan pembicaraan yang buruk.

3. Sungguh (suatu saat) orang akan berbicara dengan kalimat yang tanpa disadari bisa menjatuhkan dirinya sendiri.

Semoga kita bisa menjaga lisan kita dari berbicara hal-hal yang buruk.
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Bicara itu Ada Seninya; Adab Berbicara Menurut Habib Alawi Al Haddad"