Pramoedya Ananta Toer: Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian
Table of Contents
“Dunia audio, memberi kesan yang lebih lama sekaligus bisa memengaruhi orang secara lebih dalam. Misalnya dunia musik. Orang rela mengulang-ulang lagu yang ia sukai hingga bertahun-tahun.” Katanya sambil menghisap rokok.
“Tapi, Wim.” Katanya ingin menambahkan. Meyakinkan. “Ada seseuatu yang lebih abadi dari dua hal tersebut, yaitu tulisan.” Kemudian dia diam. Saya juga diam. Dan setuju.
Teman saya ini bukan penulis, tapi ingin bisa menulis. Sebenarnya yang mengatakan itu bukan teman saya, tapi gus saya. Putra dari kiai saya. Hehehe.
Nonton video di youtube, saya kira cuma sekali dan lewat begitu saja. Mendengar musik mungkin bisa sepanjang satu abad, setelah itu sirna ditelan masa selanjutnya.
Namun, soal tulisan, saya sepakat dengan gus saya, ia abadi. Manusia selalu belajar sejarahnya untuk menentukan sejarah masa depan. Sejarah tidak akan bisa ditemukan kecuali dengan tulisan.
Dalam konteks, ilmu-ilmu sosial dan agama, orang harus bersabar membuka lembaran-lembaran yang penuh dengan barisan tulisan, tak hanya sekali dua kali, harus berkali-kali untuk menentukan “apa sesungguhnya yang dimaksud oleh penulis.”
Dan itu butuh tenaga yang ekstra melelahkan.
Sebut saja kitab-kitab tafsir, fikih, hadis dan lainnya yang ditulis abad 8 Masehi. Hari ini masih dikaji terus-menerus, dijadikan sebagai referensi, menguatkan argumentasi, mengambil data, bahkan mengkritisi. Tulisan lebih abadi daripada yang menulis.
Kini sudah abad 21. Artinya 13 abad sudah berlalu tapi masih saja dibaca dan dikaji.
Saya ingat kalimat Pram di Bumi Manusia
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadianMenulis adalah bekerja untuk keabadian.
Post a Comment