Kisah Lucu Para Sahabat Yang Mengikuti Sunnah Rasulullah

Table of Contents
Suatu ketika, Sayyidina Umar, saat jadi khalifah tiba-tiba ndodok-ndeprok begitu saja di bawah sebuah pohon. Ditanya sama abdi ndalemnya “Pak Presiden, Njenengan kok di situ ngapain?”

“Nabi dulu pernah di sini, duduk begini. Ya, saya ngikutin Nabi aja,” tegas Umar.

Riwayat yang lain, ketika Umar sedang tawaf dan hendak mencium hajar aswad, ia sempet bilang sama batu hitam itu “Hei Batu Hitam, kamu ini cuma batu, jika Nabi ndak pernah mencium kamu, saya tak sudi melakukannya.” Dan ia luluh mencium batu tersebut.

Anaknya Sayyidina Umar, namanya Abdullah bin Umar. Ya, sahabat yang kalau buka puasa bukan dengan es dawet atau kurma, melainkan dengan bersenggama sama istrinya itu, lho. Pun demikian.

Tiba-tiba, tidak ada angin, tidak ada ingin, ia menuangkan air ke sebuah tempat. Ditanya sama temannya. “Heh, Kang, sampean ngapain kok menuangkan air di situ?.”

“Dulu, pas nabi di sini, beliau menuangkan air di sini. Saya ikut saja.”

Sahabat yang lain, sekaliber Sayyidina Ali juga demikian. Tiba-tiba ia tertawa sampai kelihatan gigi gerahamnya. Ditanya sama sahabat yang lain kenapa ia tertawa, jawabannya “Nabi pernah begini begini begini dan tertawa. Saya sih ikut aja.”

Ada lagi, Anas bin Malik. Santri ndalemnya Nabi yang sukanya ngurusi sandalnya nabi, hingga ia dijuluki sebagai shahibu na’laik/penjaga sandal. Anas bin Malik ini orang miskin, jarang makan daging, sekali makan daging, senengnya ngalah-ngalahi sembarang.

Suatu ketika ia bersama Nabi memakan suguhan, ia melihat Nabi menyingkirkan daging-daging dan memilih memakan waluh, tahu waluh kan? Sejenis labu gitu deh. Melihat hal demikian, Anas bin Malik mengatakan “Sejak saat kejadian itu, saya suka waluh.” Dari sini, ada riwayat yang menyatakan bahwa buah kesukaan nabi itu bukan kurma, tapi Waluh, Semangka, dan Krai atau mentimun.

Hayo? Mau cari-cari alasan kenapa ketiga buah itu? Sahih atau tidak, cari moral ethicnya, asbabul wurudnya, kontekstualisasinya? Hihihihi…

Satu, dua, tiga, empat… cukup ya contohnya, empat sahabat.

Walhasil, kalau kita mau buka-buka kitab hadis yang seabreg dan gedene sak boto-boto itu, buuuanyak sekali riwayat-riwayat yang menceritakan hal-hal “konyol” yang dilakukan para sahabat Nabi. Demi apa? Ya jelas demi mengikuti seseorang yang mereka cintai; Kanjeng Rasul Muhamamad.

Ada tiga hal yang harus dijelaskan di sini; simak baik-baik, jangan simak yang buruk-buruk.

Pertama, kita tahu sayyidina Umar bin Khatab itu sahabat yang paling banyak membuat bid’ah dalam Islam. Misalnya, ia ndak mau dipanggil khalifatu Rasulillah (penggantinya rasul), ia maunya dipanggil Amirul Mukminin (Panglimanya para Mukmin) saja, salat Tarawih 20 raka’at, Kuda wajib dizakati, ghanimah seperlima, jilid 80 kali bagi peminum khamr. Dalam wilayah hukum, itu semua bid’ah yang dilakukan oleh Sayyidina Umar.

Oleh karenanya tak ayal, jika Umar ini didapuk sebagai bapak penggagas maqashid syariah. Siapapun dan buku apapun kalau mau bahas tentang maqashid syariah ini kok tidak ngutip Sayyidina Umar, wah, diragukan argumennya secara historis.

Sekarang sederhananya begini, jika persoalan ijtihad saja, Umar berani melakukan hal sedemikian luar biasa, kenapa persoalan ndodok-ndeprok di bawah pohon yang terkesan konyol dan mencium batu yang hanya begitu itu dilakukan sama Umar?. Apa nilai-nilai moral ethic di dalam kendondokan dan kendeprokan Umar di bawah pohon? Tidak ada. Sekali lagi tidak ada moral itik-itikan, semua itu adalah wujud cintanya kepada Kanjeng Rasul.

Teori muluk-muluk tentang maqashid tak bisa menjawab fenomena ini, sebab ini bukan ranah fikih, ini ranah moral;ekspresi cinta. Cinta itu ukurannya bukan kasat mata, tapi perasaan, Mas. Ada di hati, Mas. Di dalam hati ndak ada yang tahu, Mas.

Kedua, Sahabat-sahabat yang menelan mentah-mentah sunnah nabi itu bukan semata-mata tentang kegiatan ndeprok, ndodok, makan waluh, tertawa dan siram-siram itu, tapi karena kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh Rasul dan mereka tahu, mereka ikuti saja.

Mereka tidak ribet-ribet cari alasan, nilai moral ethic, dan kontekstualisasi dari peristiwa-peristiwa tersebut; cukup dengan lihat baik-baik dan tirukan. Sesederhana itu.

Inilah ekspresi cinta, ingin meniru, meneladani apapun yang berkaitan dengan apa yang ia cintai, salah benar urusan belakang, yang penting niru dulu.

Ironisnya begini saja, jika ada yang ngefans sama klub Real Madrid, bisa dipastikan mulai dari wallpaper hp, laptop, gantungan kunci, stiker-stiker, tas, hingga sesepele gaya rambutnya Mas Ronaldo, pasti diikuti sama penggemarnya itu. Jika tidak demikian, niscaya cintanya sama Real Madrid itu sungguh belum kaffah.

Jika, sekali lagi jika. Jika ngefans sama klub sepak bola itu tanpa memerlukan rasionalisasi, kontekstualisasi, hingga mencari nilai-nilai moral, kenapa meniru gaya hidup Nabi yang disebut hanya kepelikan teknis itu memerlukan kontekstualisasi yang njelimet?

Ketiga, tidak boleh sok-sok an, alias sombong. Jenggot, gamis, celana cingkrang, surban, makan dengan tiga jari dan lain-lain, jika niatnya adalah niru Kanjeng Nabi, ya bagus ada nilai ibadahnya, menambah kecintaan kepada baginda rasul, dan itu berpahala.

Tapi, kalau sudah berjenggot, bergamis, bercingkrang-cingkrang ria, kok merasa, sekali lagi merasa bahwa ia paling islami dan paling cinta rasul, waini alamat ndak berkah dan ndak ada pahalanya, justru dosa.

Sebaliknya, orang yang suka mencemooh para pelaku sunnah, karena merasa pandangannyalah yang paling benar, modern, kontekstual dan kekinian, merasa bahwa orang-orang yang niru kanjeng Nabi itu dikatakan ndak paham konteks budaya, hingga mengatakan “Kalau pake gamis dan brewokan, Abu Jahal juga pakai gamis dan brewokan kok”. Wahinialamat juga, ndak tahu saya.

Mbok ya sudah, namanya orang cinta nabi kok diolok-olok. Bedanya cuma cara mencintainya, ada yang suka baca barjanzi, dziba’an, simthuduror, monggo… bagus. Ada yang memakai atribut-atribut fisik, surban gamis dan lain-lain, monggo bagus juga.

Intinya adalah menambah kecintaan kepada Nabi, bukan yang lainnya.

Jika beragama, kok menimbulkan sikap merasa, sekali lagi merasa paling baik dari yang lainnya, berarti itu cara beragamanya masih belum istikamah, alias labil; saya misalnya.

Njuk? Piye apike?

Yo sing seneng ngopi yo ngopi, sing seneng ngeteh yo ngeteh, sing seneng nyusu yo nyusu. Ra sah padu mana yang lebih susu. Wong Tuhan memang lucu.
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment