Ads #1

Cerita Tentang Perjalanan Jogjakarta - Jakarta: Jangan Sekali-kali Main Perempuan


Tahun 2018 saya lolos penelitian dari Kemenag. Lumayan. Dananya bisa buat tambah-tambah beli kebutuhan keluarga. Ini kedua kalinya saya lolos penelitian.

26 November saya harus laporan ke Jakarta untuk melaporkan hasil penelitian, saya berangkat di hari itu naik pesawat biar cepat dan lumayan bisa buat nota pengeluaran dana yang besar.

Di antara perjalanan pergi hingga pulang, saya bertemu dua orang dan lama untuk ngobrol.

Pertama. Bapak Grab. Dari bandara Sutta menuju hotel yang sudah dijadwalkan lumayan jauh, saya memilih naik Grab saja. Sebut saja Pak Roni. Setelah basa-basi untuk perkenalan, ternyata dia ini adalah asli Jogja, tepatnya Sleman.

22 Tahun sudah Pak Roni ini tinggal di Jakarta. Punya dua anak. Usianya setelah saya tanya ia mengaku 46 tahun. Usia yang bagi saya sudah matang secara mental.

"Wah saya nggak tahu usia segini kok masih meraba-raba dalam hal ekonomi." Akunya setelah saya tanya tentang usia dan keluarga.

Kemudian ia bercerita tentang itung-itungan jawa dan shio, agaknya ia percaya dengan mitologi seperti itu. "Terkadang, setelah mengetahui ramalan-ramalan seperti itu, kita jadi bersikap putus asa dan terbayang-bayang, Pak." Kata saya.

Ia dulu sukses di bidang perikanan, omsetnya hingga ratusan juta, ia menekuni bidang itu kira-kira 15 tahun. Waktu yang cukup lama. Tapi, temannya berkhianat, setelah sukses ia ditinggal dan ditendang begitu saja. "Kalau saya ketemu dan kebetulan bawa pistol, saya tembak kepalanya." Katanya sambil tertawa.

Saya ikut tertawa.

"Mantan bos saya ini tak tahu diri dan tak tahu balas budi. Dia tidak ingat dulu sering saya yang nunggu dia ketika sedang asyik kelon dengan lonthe." Saya diam.

Pak Roni mengaku kalau dia adalah mantan pecandu obat-obatan. "Saya ngepil itu harganya masih 80ribu hingga 250ribu per butir."

"Sekarang masih, Pak?." Tanya saya.

"Sejak anak kedua saya lahir, saya tidak lagi. Minum tidak, ngepil juga tidak." Jawabnya tegas.

Hujan deras mengguyur kota Tangerang. Jarak pandang hanya 10 meter. Mobil melaju sangat lambat.

Kami tetap ngobrol ke sana-sini. Intinya tentang berbagi pengalaman. "Mau jalan-jalan ke mana nanti setelah acara?." Ia bertanya. "Ya langsung pulang lah, Pak." Jawab saya singkat.

"Tidak piknik ke Mangga Besar?."

Saya tak tahu Mangga Besar itu tempat seperti apa, setelah saya tanya ternyata tempat prostisusi. Hahaha. Saya tertawa seketika. "Banyak pejabat-pejabat yang nginepnya di hotel dekat mangga besar. Biar bisa sekalian jajan." Katanya bercerita.

Saya tidak bertanya lebih lanjut, agaknya ia punya banyak pengalaman terkait hal itu, sebab ia menjadi supir Grab sudah 2 tahun. Mobilnya masih dicicil. Belum lunas.

Itu cerita pertama. Cerita kedua adalah ketika saya perjalanan pulang. Acara selesai pukul 11 siang. Jadwal kereta saya jam 9 malam. Ketika selesai acara, tiba-tiba teman saya bilang kalau jam 2 siang ada tiket kereta ekonomi yang masih kosong. Saya tertarik mau refund tiket. Lalu saya berangkat dari Tangerang menuju stasiun Pasar Senen naik KRL.

Ini pengalaman pertama naik KRL. Nyaman dan Murah.

Sampai di Stasiun Senen pukul 1 siang. Saya buru-buru mengubah jadwal tiket, antre panjang. Saya pikir tidak cukup waktu untuk mendapatkan tiket jam 2 siang itu.

Setelah giliran saya mendapatkan pelayanan, benar. tiket sudah habis terjual hanya ada tiket pukul 19.00 WIB. Ya sudah mau apalagi, dari pada jam 9 malam, lebih baik jam 7. Batin saya.

Alhasil, saya menunggu 5 jam di stasiun Senen. Saya tidur sebentar di ruang tunggu. Tiba-tiba petugas datang dan mengingatkan kalau ngecharge gawai jangan ditinggal. Saya ambil gawai saya dan keluar dari ruang tunggu.

Saya merogoh saku mengambil sebatang rokok, korek saya tidak ada, entah hilang atau ketlingsut di mana. Saya menuju orang-orang yang berjejer sedang merokok. "Pinjem koreknya, Pak."

"Nggih monggo."

Wah orang jawa ini, batin saya. Setelah menyulut sebatang rokok saya duduk di sampingnya. Diam sesaat.

Setelah tiga hisapan, Bapak tersebut bertanya "Naik kereta apa, Mas?."
"Senja Utama. Njenengan Pak?." Saya balik bertanya.

Ia menjawab sama. Ia masih duduk di atas pinggiran trotoar. Langit masih cerah, lalu lalang orang dan kendaraan membuat debu-debu terbang terbawa angin.

Kami saling bercerita tentang pengalaman. Ia adalah orang tua yang senang bercerita, tipikalnya periang, dan suka komentar.

Di tengah obrolan, di depan kami ada seorang ibu-ibu menggandeng satu anak perempuan sudah belia. Sang ibu memakai pakaian longgar dan berkerudung, anaknya berpakaian mini di atas lutut, dan memakai kaos dengan bahu terbuka.

"Wah, anak karo ibune bedo." Komentarnya seketika.

Di tengah obrolan kami juga, di samping bapak itu ada seorang pemuda sedang video call bersama istri dan anaknya. Eh tiba-tiba bapak itu nyelethuk. "Mas, itu udele istrimu ketok."

Seketika pemuda tersebut merasa risih lalu pergi ke tempat yang lain. "Mas-mas itu telpunan sama istrinya gak pake baju sambil nggendong anaknya."

Wah, batin saya. kok bapak ini jadi begini ya.

Lepas dari semua itu, bapak yang saya sanding ini sudah berumur 59 tahun. Di tiket kereta api ia menunjukkan termasuk lansia. Karenanya ia mendapatkan diskon 20%.

Tubuhnya masih sehat, namun giginya sudah mulai tanggal, kulitnya sudah berkeriput. Ia menceritakan kesuksesannya di masa muda. Ia pernah hidup berpindah-pindah di Sumatera, mulai dari Batam hingga Lampung. Istrinya ada tiga.

Di sela-sela cerita kesuksesannya itu, ia mengaku pailit karena dua hal: judi dan perempuan.

Dalam waktu satu malam ini bisa menghabiskan uang judi 90 juta. Ia pasang judi nomor, mulai totor hingga hongkong. Ia berhenti pasang nomor ketika tahu bahwa nomor hongkong itu nomor bohong. Ia sudah menghabiskan 75 juta itu beli nomor hongkong tapi tak satu pun pernah ia dapatkan. Ia mengaku sudah membuktikan hal tersebut hingga ke Batam.

Selain cerita judi, ia juga cerita soal perempuan. Bahwa kesuksesannya selama ini habis untuk perempuan. Sekarang ia tinggal seorang diri di sebuah rumah, anak dan istrinya sudah ia sediakan rumah sendiri-sendiri.

Lebih baik ia hidup sendiri, dari pada hidup bersama istri yang bisanya hanya minta uang tanpa mau melayani kebutuhan rumah tangga. Katanya.

Waktu menunjukkan pukul 17.45 WIB azan sudah berkumandang dari mushala stasiun, hujan turun rintik-rintik. Saya menuju ke mushala untuk salat maghrib dan jamak qashar isya. setelah selesai saya cari-cari bapak tadi tapi tak menemukannya.

Kereta berangkat pukul 19.00 tepat. Gerbong sepi.

Ketika nulis ini, kemarin saya baca status fesbuknya Kiai Edi Mulyono, saya kutipkan di sini 

Mbokyo eling-elingo, Cah Bagus sek mulai moncer bisnise, yen kowe maksiat kepada Allah, PASTI tiba waktune kowe hancur. Embuh lima tahun neh, empat tahun neh, atau kapan wae.
Wes uookeeehh buktine, hamoshok ra gek ngakal; mosok akale kalah ma thythyde. 😁😁😁
Gek leren, nggeh. Mumpung urung bubrah.
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Cerita Tentang Perjalanan Jogjakarta - Jakarta: Jangan Sekali-kali Main Perempuan"