Bu Dendy dan Cara Beragama Kita
Table of Contents
Tiba-tiba salah satu grup Wasap saya penuh dengan pesan singkat, tumben
dalam hati saya, pasti ada yang menarik luar biasa. Ternyata benar, ada video
4.53 menit yang mempertontonkan seorang perempuan dilempari uang ratusan dan
limapuluhan ribu sambil mengumpat dengan napas tak beraturan “Terus sebutan apa
yang pantas sama sematkan kepada Mbak … teman baik saya ini. Lonthe? Hah…”
Lalu saya buka fesbuk, twitter dan badala segala isi di beranda dan
timlin bertumpah ruah orang membagikan video tersebut. Hayo ada yang kepo nyekrol-nyekrol
fesbuknya Bu Dhendi?
Jujur saja, saya juga melihat video tersebut sampai detik terakhir. Dan ada
satu hal yang paling membuat saya merasa sesak napas, Mbak-mbak berkerudung
merah tersebut sama sekali tidak mengangkat kepala, ya sedikit pun tidak. Saya
tidak bisa membayangkan betapa hancur dadanya, dilecehkan sedemikian rupa.
Betapa lemahnya dirinya hingga tak mampu mengangkat pandangannya.
Bayangkan saja, kita selama hampir 5 menit, dipisuhi, dionek-onekke,
dibajingan-bajinganke, tanpa sedikitpun kita tak bisa membalasnya.
Sambil divideo, lalu disebarkan di media sosial. Betapa malunya ia nanti di
masyarakat yang dicap sebagai pelakor (perebut laki-laki orang), jika ia punya
anak, suatu hari anaknya akan melihat ibunya dipisuhi perempuan lain dan ia di
sekolah akan dicemooh oleh teman sebayanya lalu dicap sebagai anak pelakor. Hari
ini jejak digital tak bisa dihapus begitu saja.
Oke saya tidak akan membela atau menyalahkan satu dengan yang lain. Sebab
saya kira itu adalah murni persoalan pribadi keluarganya Bu Dhendi dan saya
sebagai orang yang tak tahu apa-apa tidak berhak komentar apapun. Namun, titik
persoalannya adalah ketika wilayah pribadi seperti keluarga itu dipertontonkan
kepada khalayak maka yang terjadi adalah memperkeruh keadaan, menimbulkan
masalah lain yang lebih beragam.
Demikian dalam persoalan agama. Agama merupakan ruang privat
masing-masing individu. Teman saya pernah menganalogikan bahwa orang yang
bertanya “Agamamu apa?.” Itu sama artinya dengan bertanya “Sempakmu merk apa?,
atau sedang pakai sempak tidak?.”
Astaghfirullah. Saya tidak sekuler. Saya percaya bahwa agama membawa
kedamaian bagi pemeluknya, namun cara orang beragama itulah yang menjadi sumber
persoalan sehari-hari. Karena merasa bahwa apa yang diyakini dan dilakukan itu
harus diketahui sekaligus diikuti oleh banyak orang. Bukankah kata Gus Dur
“Jika kau berbuat baik, orang lain tidak akan bertanya agamamu apa.”?
Fenomena mempertontonkan kesalahan orang lain di media sosial sudah menjadi
camilan setiap hari. Tak perlu saya sebutkan contoh-contohnya. Banyak silahkan
cari sendiri. Biasanya berkutat pada masalah perbedaan politik, kebudayaan,
tradisi dan kearifan lokal dan dianggap hal tersebut berkaitan erat dengan
nilai-nilai akidah bahkan mengancam akidah seseorang alias murtad.
Misalnya, terpaksa saya sebut ya. Sudah tak tahan saya. Penolakan menshalatkan
jenazah yang memilih orang “kafir” sebagai Gubernur. Atau tidak ikut aksi Bela
Islam di Monas lalu dianggap sebagai muslim yang belum tercerahkan, belum dapat
hidayah, dan lain-lain. Atau perdebatan rutin tahunan soal mengucapkan selamat
Natal dan tahun baru Imlek.
Dan contoh terakhir, air hujan harus dimasukkan ke dalam tanah bukan ke
laut, karena menyalahi sunnatullah. Hal-hal demikian adalah contoh mencampuradukkan
masalah sosial-politik dengan (menggunakan istilah) agama.
Era media sosial ini kita jadi tidak bisa/sulit membeda-bedakan
persoalan agama dan sosial. Yang terjadi adalah sebuah kesimpulan cethek
bahwa agama Islam itu membahas secara praktis segala hal yang berkaitan dengan
manusia, semuanya. Ya semuanya. Itulah yang disebut sebagai Islam kaffah.
Saya ingat kalimat Syaikh Ibn ‘Athaillah bahwa “Orang yang punya jiwa
cinta (Ahlus Sa’adah) adalah mereka yang menasehati orang lain di
ruang-ruang privat. Orang yang mempunyai watak dengki (Ahlus Saqawah)
adalah mereka yang menasehati orang lain di ruang-ruang publik.”
Kira-kira mustahil tidak, kalau kita disuruh oleh Tuhan untuk mengajak
dalam kebaikan namun dengan cara yang keji dan buruk.
Post a Comment