Kenapa Sekolah Muha Lebih baik dari pada Sekolah NU?

Table of Contents

Kenapa? Hayo Kenapa? Ayo jawab kenapa? Kenapaaaaaaaa…. 

Sebenernya saya lelah. Semua orang mempertanyakan hal demikian, ndak di kampus, ndak di pesantren, ndak guru-guru sekolahan,  ndak curhatan wali santri dan murid, bahkan sampai istri saya, ya istri saya bapaknya NU mentog-ndodog itu, ndengerin pertanyaan seperti itu rasanya otak saya kaya kertas koran diuwel-uwel. Alias bikin lemes. Hatiku terasa ngalor-ngidul molor-modot.

Jujur ya. Saya mulai sekolah di MI, Mts, MA dan Kuliah itu di lembaga yang NU-nya naudzubillah. Hanya kemarin saja tersesat di jalan yang benar masuk ke PTN UIN sukijo (sunan kalijogo) yang kebetulin sekarang Rektonya NU biyanget, tuh buktinya seribu banser apel di sana beberapa hari yang lalu, sambil nyanyi

ya lal wathon, ya lal wathon, ya lal wathooooooon.
Hubbul wadon minal iman. Ehh… 

Etapi, kalian tahu ndak sih istrinya rektor UIN itu ternyata Muhammadiyah sejak dalam kandungan, lho. teman saya yang Muha pernah mengungkapkan hal itu; 

“Meski saya Muha, tapi syukur Alhamdulillah di sekitar 20 tahun yang lalu NU berhasil memasuki Muhammadiyah secara massif-kondusif-terstruktur.” 

“Lho, iya?. Dalam hal politik apa gerakannya?” Saya penisirin.

“Bukan dua-duanya, tapi gegara Rekor UIN itu menikah sama aktifis Muha garis keras, karena itulah NU bisa masuk ke dalam Muha. Yaa tapi masuknya itu ndak dalem sih. Yaaah paling cuma sekitar 10-15 cm.” 

“Whoooladalah ndiyasma, jilak. Kuwalat kowe, udelmu bodong kuwalik. Tegmu bocor…” otak teman saya ini memang ngeres masyaallah naudzubilah; sama kaya saya.

Atau jangan-jangan karena bliyo berhasil memasuki lorong muhammadiyah itu yang bisa menjadikan bliyo jadi orang pertama kyai indonesa sekaligus professor lulusan harpad ameriko. Kalo iya, bisa ditiru buat ancang-ancang bagi yang tuna asmara. Menikahlah dengan lintas ormas barangkali bisa jadi jalan sukses, yang penting jangan HTI/wahabi aja. Nanti antum kebrangas dan ngamukan.

Sudah ah. Ngomongin identitas NU Muha di UIN Sukijo akhir-akhir ini rawan sekali.
Jadi begini ya soal pertanyaan sekolah Muha dan NU yang tumpang sekaligus tindih itu. Alasannya sudah jelas. Karena dari dulu NU itu pesantren yang, kebetulan baru memulai merintis membuat lembaga formal seperti sekolah dan kampus, makanya wajar jika sekolah atau kampus itu dikelola mirip-mirip pesantren (untuk tidak mengatakan sama pleg-cipleg), misalnya nih misalnya, kuliah pake pecis, masuk kelas lepas sepatu, hubungan dosen-mahasiswa seperti kyai dan santri, tapi yang jelas rektornya tidak monarkhi-oligarkhi-feodal, yaa.  

Saya ngajar di pesantren dan kebetulan juga di kampus, seringkali tidak bisa/sulit membedakan mana ngajar diniyah di pesantren dan mana ngajar di kampus, baik dalam hal materinya atau manusianya, lah ngajar di pesantren orangnya itu, dan di kampus juga itu-itu lagi. 

Lagian, pesantren NU sekarang kalau tidak mendirikan sekolah ya kebanyakan kukut kok, santrinnya ndak ada. Seballiknya, kalau pesantren yang ada sekolahnya pasti sampai nolak-nolak siswa. Sekarang lagi ngetrend santri pelajar/santri mahasiswa. 

Kalau Muhi itu start awal di lembaga sekolah, Rumah sakit, perguruan tinggi yang kemudian membuat pesantren, makanya mereka ndak mau nyebut pesantren, maunya asrama. Kalau nyebut pesantren nanti dikira punyae NU. Ndak percaya?, coba itung kampus-kampus atau sekolah-sekolah yang Muhi, dipastikan sekarang ada asramanya, atau kalau ndak asrama, namanya keminggris kaya Islamic boarding school,  gitu.

Oleh karenanya, sistem di sekolah juga dipake oleh sistem asrama. Atau bahasa kerennya integrasi kurikulum. Misalnya nih misalnya lagi, ustadz digaji secara professional sebagaimana guru di sekolah. Kalau NU ndak gitu, guru ngaji NU itu percaya gajinya kelak di akhirat, di dunia dikit ndak papa yang penting berkah dan ikhlas. Tapi ya sama aja. 

Apa coba? Yak. Betul. Laper… 

Setelah ini, kita harus saling menyadari kekurangan masing-masing antara dua ormas itu, ndak perlu dibanding-bandingkan sebab yang dibandingkan itu tidak sebanding, ndak apple to apple, tapi apple to rambutan.

Yang paling penting adalah merapatkan barisan dan bersatu. Bahwa masalah kita yang harus dipecahkan bersama-sama bukanlah tetekmbengek furu’iyah ubudiyah-ijtima’iyah itu, melainkan kenapa sedari saya kecil hingga segede gini, cara makan oreo itu selalu diputar dijilat dan dicelupin?. Kok ndak enak kalo langsung diuntal atau dikremus gitu?. Jika demikian, betapa berdosanya kita yang makan oreo tidak sesuai hukum syariat-fikih oreo yang berlaku. 

Kok ndak ada yang berani menjadi mujtahid baru cara makan oreo. Kenapa?.
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment