Embun; Kemurnian dan Ketulusan
Table of Contents
Ada satu aktifitas yang akhir-akhir
ini saya lakukan ketika di pagi hari; memperhatikan embun jatuh dari daun, ah
lebay ya… nunggu embun jatuh kan ya lumayan lama kira-kira sak udutan,
kok kurang kerjaan banget nungguin embun jatuh. Tapi pernah pada akhirnya saya
minum dan rasakan betul tetesan embun yang masih menempel di dedaunan.
Pohon daun sirih yang dibawakan
mertua saya sekitar tiga bulan yang lalu memang menjadi hiasan tersendiri yang
terpajang di depan rumah guru saya, yang sekarang saya tempati ini. Entah saya
ndak berani nanya kok daun sirih itu buat apa… seingat saya ketika kecil dulu,
daun sirih bermanfaat untuk menyembuhkan mata yang belekan, selebihnya untuk nginang.
Tahu nginang ya?.
Itu lho sejenis tahu susur yang dikunyah-kunyah lalu keluar
ludah merah merona yang khas.
Oke kembali ke topik, embun. Bagi
saya embun adalah simbol kemurnian dan ketulusan. Kemurniannya terletak pada
kesabaran dalam mengumpulkan titik demi titik embun menjadi sebuah kumpulan
yang menempel di ujung daun, indah sekali.
Sedangkan, ketulusannya adalah
bagaimana ia berproses lalu menjadi
sebuah tetesan yang pada akhirnya jatuh kembali ke tanah, lalu basah.
Walaubagaimanapun embun adalah fakta bahwa pada hakikatnya kita harus rela dan
tulus untuk bisa berguna bagi orang lain.
Bicara soal embun, saya jadi ingat
ketika ngaji bahwa salah satu air yang suci adalah air embun, ia bisa dipakai
untuk wudlu dan mandi (junub), pikiran saya dari kecil dulu dan sampai hari
ini, masa iya ada orang yang ngumpulin air embun di sebuah ember gitu setelah
itu dipakai untuk wudlu. Ada ndak kira-kira?. Saya kira kok itu kerjaan orang
yang nganggurnya naudzubillah.
Kalau saya dalam kondisi seperti
sulit air dan kering, saya lebih memilih tayamum dari pada harus mengumpulkan
tetes demi tetes air embuh yang jatuh dari daun.
Post a Comment