Ads #1

Ngaji Syawalan bersama Gus Baha (bag. 1)

Tradisi syawalan adalah tradisi umat Muslim Indonesia pada bulan syawal berkunjung ke rumah sanak-saudara dan keluarga untuk saling memafkan dan meminta maaf, biasanya bagi yang lebih muda untuk berkunjung kepada yang lebih tua. Namun, biasanya tidak utuh selama bulan syawal, melainkan pada hari pertama sampai hari ke tujuh bulan syawal untuk berkunjung dan saling memaafkan itu, setelah di hari itu karena sudah kembali pada kesibukan masing-masing, maka seolah-olah lebaran dan saling memaafkan hanya berlaku di hari pertama sampai ke tujuh bulan syawal saja.

Para ulama, termasuk Gus Baha mempunyai tradisi sendiri di bulan syawal, yakni tetap mengaji. Jika kita perhatikan, seorang ulama-ulama dan guru-guru di pesantren, selalu menjaga istikamah dalam hal mengajar dan mengaji, salah satu guru saya misalnya di pesantren An Nur komplek Nurul Huda, tidak ada kata libur dalam mengaji, meskipun di hari lebaran. Setelah menunaikan shalat Ied, para santri yang masih menetap di pondok tetap disuruh untuk mengaji meskipun sebentar. Tradisi mengaji memang harus diperhatikan sekaligus dipertahankan agar secuil keilmuan yang kita miliki ini tidak membuat kita jadi sombong dan merasa paling benar sendiri, karena pada hakikatnya kesombongan ilmu yang dimiliki seseorang hanya karena ia lupa bahwa semua ilmu yang dimiliki adalah pemberian dari Allah.

Pada hari Minggu, 23 Juli 2017 bertepatan dengan 28 Syawal 1438 H. Gus Baha, sebagaimana biasanya beliau tindak ke Jogja untuk mengisi rutinan pengajian. Di hari itu agak berbeda, karena biasanya ngaji kitab Nashaihul Ibad, mendadak diganti dengan Hadis Arbain Nawawi. Menurut pengakuan Gus Baha, beliau mendapatkan alamat dari Allah untuk mengajarkan Kitab Arbain Nawawi pada pengajian rutinan di Jogja tersebut. Pada pengajian kilat Kitab Arbain tidak dibaca seluruh hadis yang berjumlah 42 Hadis tersebut, karena mungkin waktu dan kesempatan yang tidak memungkinkan, sehingga beliau hanya memilih tujuh hadis saja. Waktu ngaji pun diperpanjang, biasanya pukul 04.30 – 05.30, pada kesempatan tersebut setelah istirahat makan dan shalat maghrib, beliau melanjutkan pengajiannya.

Sependek pengatahuan saya, kitab tipis arbain nawawi tersebut dibagikan secara gratis, atau entah saya ndak tahu barangkali bayar tapi saya ndak tahu atau bagaimana.

Alasan kenapa Gus Baha hanya memilih tujuh hadis saja adalah hanya sebagai pengingat saja bahwa Allah seringkali memilih angka tujuh dalam memberikan perumpamaan dan pelajaran bagi manusia yang seringkali disebut di dalam al-Qur’an, misalnya langit berlapis tujuh, qira’ah tujuh, tujuh ayat al-Fatihah yang diulang-ulang, dan lain sebagainya. Hal ini bukan untuk semacam keajaiban atau kekeramatan angka tujuh, namun tidak lebih dari pengingat saja bahwa di dalam al-Qur’an, Allah seringkali menggunakan angka tujuh.

Adapun hadis-hadis tujuh yang dipilih oleh Gus Baha dalam pengajia ini adalah sebagai berikut.
Hadis pertama, yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab alias Abu Hafs “saya mendengar rasul bersaba; ‘segala amal perbuatan tergantung pada niat, setiap individu juga bergantung pada sesuatu yang diniatkan olehnya. Barang siapa yang hijrah kepada (demi) allah dan rasulnya, maka sesungguhnya ia telah berhijrah menuju allah dan rasulnya. Barang siapa yang hijrah menginginkan dunia maka ia akan mendapatkannya, atau kepada perempuan maka ia akan menikahinya.’
Pada kitab-kitab musthalah hadis jika membahas tentang hadis mutawatir, maka hadis di atas pasti sudah familiar. Karena di setiap thabaqatnya selalu lebih dari tiga orang, hingga hadis tersebut status secara kuantitasnya disebut sebagai hadis mutawatir.

Gus baha memulai pembahasan dengan menjelaskan bahwa terdapat perbedaan dalam persoalan niat antara Imam Syafi’i dan imam Hanafi. Imam Syafi’i berpendapat bahwa niat adalah kunci segala amal perbuatan manusia disebut sah atau tidak. Jika niatnya salah atau tidak niat sama sekali dalam menjalankan ibadah, maka ibadah tersebut dihukumi tidak sah menurut Imam Syafi’i. sedangkan imam Hanafi tidak seekstrim itu, karena ia berpendapat bahwa niat hanyalah sebagai penyempurna ibadah saja, bukan sebagai satu-satunya otoritas penilaian sah/tidaknya suatu ibadah. Sampai di sini Gus Baha mengikuti pendapat Imam Syafi’i dengan mengatakan bahwa niat adalah kuncu sah atau tidaknya sebuah ibadah, karena niat salah satu fungsinya adalah sebagai pembeda antara adat dan ibadah.

Selanjutnya, Gus Baha menjelaskan bahwa seharusnya segala sesuatu yang kita perbuat adalah untuk Allah dan Rasulnya, bukan kepada sesuatu yang lain seperti hal-hal duniawiyah belaka dan untuk kepentingan sesaat saja.

Di sini kita harus hati-hati, dan inilah yang ditekankan pada pengajian kali ini, bahwa pemahaman demikian rentan akan terjebak pada pemahaman tentang dunia ini, sebagian orang membenci dunia karena di dalamnnya terdapat fitnah dan segala macam hal yang buruk, sehingga ia memilih mengucilkan diri, hidup miskin, tak mau punya harta banyak dan semacamnya. Namun ia lupa bahwa dunia ini adalah ladang amal kita yang akan kita tuai nanti di akhirat, sehingga senista dan seburuk apapun dunia ini, jangan sampai melupakan kebaikan-kebaikan dan rahmat allah yang diberikan kepada kita sebagai ladang amal. Sebagaimana nasehat “dunia adalah ladang untuk kehidupan kita di akhirat kelak.”

Pemahaman ini mungkin sangat berat bagi orang awam seperti saya, sebab amal dan perbuatan yang dilakukan selalu bertumpu pada kepentingan dunia dengan menanyakan “apa untungnya bagi saya kelak?, setelah saya melakukan ini timbal balik apa yang kita dapatkan?, dan lain seterusnya.”
Pemahaman seperti demikian apabila diteruskan pada pemahaman tentang akhirat, maka kita akan malas-malasan dalam beribadah, mendirikan shalat rasanya sangat susah dan berat, melakukan puasa selalu diiringi mengeluh haus dan lapar hingga syahwat kelamin, menunaikan zakat dan sedekah selalu memikirkan istri dan anak-anak dan seterusnya. Jika kita begini, maka di surga kelak kita akan merasa bahwa “sukurlah semua ibadah yang kita lakukan di dunia tak akan lagi kita lakukan di sini.” Inilah kesesatan yang menurut Gus Baha juga fatal.

Gus Baha menyarankan bahwa kepentingan kita di akhirat haruslah tetap menjadi hamba Allah yang selalu beribadah dan mengucap tahlil, tahmid, dan tasbih. Apabila kita menikmati kenikmatan surga, maka nikmatilah secara wajar-wajar saja dan jangan lupa bahwa kita masih tetap sebagai hamba Allah yang selalu butuh untuk menyembah dan menauhidkan-Nya.

Pada pertemuan kali ini, yang sangat istimewa adalah niat Gus Baha untuk tetap mengajarkan kita tentang pentingnya hidup di dunia, sehingga dalam waktu yang lama itu, Gus Baha tetap istikamah dan tanpa pamrih dalam mengajarkan kita sedikit demi sedikit.


Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Ngaji Syawalan bersama Gus Baha (bag. 1)"