Meneladani Cara Nabi Berhubungan dengan Non-Muslim
![]() |
sumber gambar |
Ini
merupakan publikasi kesimpulan yang mencerahkan bagi pemaknaan kafir yang tidak
melulu didakwakan kepada selain orang yang beragama Islam saja.
Oleh
sebab demikian, catatan kecil ini hanya ingin membahas tentang pola hubungan
Nabi kepada Non-Muslim, terutama pasca fathul Makah. Dengan tujuan agar kita
dapat meneladaninya secara lebih kontekstual.
Terdapat
dua hal yang dilakukan oleh Nabi kepada non-Muslim dengan menjunjung tinggi
martabatnya, sebab pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk paling mulia, jadi
tidak heran Allah sendirilah yang mengatakan:
“Sungguh
telah kami muliakan Anak cucu Adam, baik di daratan maupun di lautan dengan
memberikan mereka rejeki yang baik…” (QS. al-Isra’; 70).
Secara
universal ayat di atas merupakan kemuliaan yang dimiliki oleh semua jenis
manusia di bumi ini, tanpa peduli agama, ras, suku, dan kebangsaannya. Jadi
tidak heran jika ayat ini yang sering disebut-sebut sebagai dasar nilai
Humanisme dalam islam. Nah, berikut adalah pola hubungan Nabi dengan
non-Muslim.
Menjunjung Tinggi Martabat Kemanusiaan
Suatu
hari Nabi berada di Baitul Maqdis bersama kedua sahabatnya yaitu Qays bin Sa’ad
dan Sahl bin Hunaif, lalu lewatlah jenazah kemudian Nabi berdiri (untuk
menghormati jenazah), kemudian mereka mengatakan “Sungguh jenazah itu adalah
orang Yahudi.” Lalu Nabi menjawab “Bukankah dia juga seorang manusia?.” (alaisat
nafsan?) – Bukhari hadis ke 1250, Muslim hadis ke 961.
Betapa
Nabi menghormati non-Muslim, meskipun ia sudah meninggal dunia. Kita bisa
menyimpulkan sendiri ala mafhum mukhalafah yang sah secara absolut dalam
ushul fiqh dengan menyatakan “orang Yahudi yang mati saja dihormati oleh Nabi,
bagaimana jika ia masih hidup, atau Nabi saja menghormati Yahudi yang meninggal
dunia dengan cara bediri, apalagi dengan seorang Muslim(?)”
Kita
tahu beberapa hari ini di jagad medsos dipenuhi dengan postingan kebencian di
Masjid-masjid yang menolak jenazah pendukung Ahok, dengan alasan bahwa memilih
Ahok adalah orang munafik, dan jenazah orang munafik tidak perlu dishalatkan.
QS.
at-Taubah 84 yang dijadikan sebagai dalil pelarangan menshalati kematian orang munafik
harus dengan penafsiran yang hati-hati. Ayat tersebut turun ketika Abdullah bin
Salul (provokator dan ketua orang munafik) meninggal dunia dan Nabi telah
menshalatinya, bahkan sebelumnya ketika ia sakit, nabi sempat menjenguknya, dan
Nabi memberikan gamisnya untuk dijadikan sebagai kafan.
Meskipun
shalat jenazah Abdullah bin Salul ini ditentang oleh Umar, tapi Nabi merasa
berhak untuk tetap mendoakannya, sebab Nabi tahu bahwa label kafir dan munafik
adalah murni pengetahuan Allah. bukan wilayah manusia. Bahkan, Nabi mengatakan
“Saya akan memintakan ampunan 70kali ditambah 70kali lalu ditambah 70kali
lagi.”
Jadi,
menurut saya aksi penolakan jenazah yang (hanya karena) memilih Ahok merupakan
aksi yang keterlaluan sekaligus menunjukkan ketidak-tahuan (baca; kebodohan) diri
sendiri dengan cara mengambil alih pekerjaan Allah untuk melabeli status
kafir-munafik orang lain.
Lebih
dari itu, bahwa agama dipaksakan untuk menjadi tunggangan politik demi
tujuan-tujuan yang didasari kedengkian sekaligus kesombongan, dengan merasa
bahwa merekalah yang lebih baik dari yang lain.
Kita
tentu masih ingat cerita seorang Yahudi buta yang tinggal di pojok Masjidil
Haram dengan mulutnya yang setiap hari selalu menjelek-jelekkan Nabi. Tapi sama
Nabi tidak disuruh untuk mengusir atau malah dibunuh, alih-alih Nabi sendirilah
yang setiap hari membawakan makanan dan menyuapi orang tersebut dengan cara
yang paling lembut sambil mendengarkan umpatan-umpatan yang ditujukan
kepadanya. Nabi tak menjelaskan kepada si buta itu dengan mengatakan “Akulah
Muhammad yang setiap hari kau caci-maki.”
Bersikap Adil kepada Non-Muslim
Keadilan
adalah prinsrip dasar agama Islam, bahkan di dalam al-Qur’an sering kali kata
adil dalam bentuk kalimat perintah (fi’il amar), lebih kurang 25 kali
kata adil disebut di dalam al-Qur’an. oleh sebab itu, adil merupakan prinsip
syariat Islam yang sesungguhnya.
“Adillah
sejak dalam pikiran.” Begitu almarhum Pram mengatakannya.
Lawan
kata dari adil adalah dhalim/lalim, yakni melakukan sesuatu tidak sesuai dengan
porsi dan kapasitasnya. Suatu hari Nabi Muhammad menyuruh Muadz bin Jabal pergi
ke Yaman untuk dakwah Islamiyah dengan memberikan nasehat terlebih dahulu bahwa
jangan sampai bertindak lalim meskipun dengan non-Muslim.
“Berhati-hatilah
dengan orang yang terdhalimi, meskipun ia orang yang ingkar terhadap kebenaran
Islam (kafir), karena sesungguhnya antara ia dan allah tidak ada penghalang
sama sekali” Bukhari hadis ke1425, Muslim hadis ke 4090. Menurut riwayat Anas
bin Malik hadis ke-12571 “Doa orang yang terdhalimi itu mustajab (manjur),
meskipun ia adalah orang yang buruk (fajir)”.
Hadis
di atas memberikan kita pandangan bahwa Islam adalah membela kebenaran, tapi
bukan kebenaran politis, sebab kebenaran politis bisa saja dimanipulasi
sedemikian rupa. Terlebih lagi, bahwa nanti di akhirat sana, saya yakin Nabi
bersama orang-orang yang terdhalimi, meskipun yang didhalimi itu adalah seorang
kafir. Sebab pada hakikatnya Nabi adalah manusia yang diutus untuk membebaskan
orang-orang yang didhalimi.
Saya
lebih sepakat dengan orang-orang yang mengkritik, untuk tidak mengatakan
menjelek-jelekkan kebijakan Ahok dengan penggusuran pemukiman warga yang
dianggap tidak sesuai prosedur atau kebijakan reklamasi, dari pada mengatakan
bahwa Ahok menista agama Islam dan haram dipilih sebagai Gubernur karena
Non-Muslim dengan menggunakan ayat-ayat yang sebenarnya masih
interpretable-debatable, bahkan orang muslim yang memilihnya juga terkena
getahnya dengan memberi label kafir-munafik-fasik hingga haram dishalatkan.
Demikian
adalah perilaku Nabi yang bisa mungkin untuk diteladi dalam hal berhubungan
dengan non-Muslim. Silahkan dilanjutkan catatan ini bagi yang masih punya
pandangan tentang hubungan nabi dengan non-muslim.
Bagus pak... lanjutkan....
BalasHapus