Budaya dan Syari'at
Table of Contents
Sebagian orang mengira bahwa budaya dan syariat itu satu tidak perlu dibedakan semata-mata agar budaya bisa disyariatkan, atau sebaliknya. Saya rasa ini kesimpulan yang tersusu-susu.
Budaya dan syariat itu jelas berbeda, jauh berbeda, namun perbedaan tersebut bukan berarti tidak bisa berjalan beriringan. Satu misal, menutup aurat adalah syariat Islam. ini tidak peduli islam yang paling NU atau Muhammadiyah atau bahkan yang paling Liberal sekalipun. Asalkan Islamnya masih waras, dengan tidak belajar lewat internet dan yutub, saya rasa percaya akan hal itu, bahwa menutup aurat adalah syariat Islam.
Sedangkan, cara untuk menutup aurat itu adalah budaya, tergantung di negara mana Islam itu berada, atau diinterpretasikan. Muslimah di timur tengah mungkin memakai gamis, khimar, atau bahkan burqa untuk menutupi auratnya, sedangkan Muslimah di Indonesia memakai rok panjang, baju/kaos panjang, dan kerudung yang tidak begitu lebar-lebar. Baju-baju itu adalah ekspresi budaya yang, intinya adalah menjalankan syariat, yakni menutup aurat.
Begitu pula dengan muslim, ada yang pake celana, sarung, surban, peci, imamah/udeng-udeng, dlsb. itu semua adalah baju kebudayaan. Sebab sebelum Islam datang pun, orang arab sudah pakai pakaian gamis kok, mulai seabubakar-bakarnya orang bahkan sampai seabujahal-jahal nya orang. Mereka juga pake bahasa bahasa arab lho ya. manggil ayah ibu mereka dengan abi dan ummi.
Satu misal lagi, membaca al-Qur'an adalah Syariat Islam, bahkan Kanjeng Nabi pernah dawuh "sebaik-baik amal perbuatan umatku adalah membaca al-Qur'an" saya ulangi ya, membaca al-Qur'an adalah syariat Islam. Sedangkan, cara membacanya adalah ekspresi budaya, kita boleh saja pakai langgam Nahawan, Bayati, atau jawab jawabul jawab dan yang lainnya. begitu pula dengan langgam jawa yang kemaren-kemaren sempet kontroversi membahas halal haram. Bagi saya, jika itu sudah seseuai dengan ilmu qira'at dan ilmu tajwid, silahken saja.
"Lho tapi ini sudah keterlaluan dengan mencampur adukkan budaya dan agama. Lama-lama bakalan ada langgam-langgam yang merusak dan menginjak-injak martabat kemuliaan al-Qur'an" kata tetangga sebelah.
"Lha rumangsamu lagu-lagu seperti Nahawan bayati dan lain sebagainya yang dipake untuk lomba-lomba tilawah nasional-internasional itu dari Arab?. Itu tradisinya Persia, bro. yang dulu dipake untuk melagukan syair-syair, lalu diadopsi untuk membaca al-Qur'an."
Misal lagi ya, biar ganjil tiga. Katanya allah suka hal-hal yang ganjil. allahul witr yuhibbul witr. Hehehe... (ini bisa ditafsirkan jangan pilih nomor dua. atau boleh dijadikan sebagai dalil kampanye) #ehhh
Dakwah islam adalah syariat. Di manapun kita diwajibkan untuk dakwah islamiyah. Tapi caranya beragam. ada yang pake pentungan, ada juga yang pake debat, ada pula yang pake ngata-ngatain orang "kutil babi-guwoblok-teriak kopar-kapir, dan lain sejenisnya". Ada pula yang pake kalimat-kalimat menentramkan hati dan jiwa, mengayomi, tidak menjelek-jelekkan, juga tak pernah membuka aib orang lain.
"Hari ini islam sudah diinjak-injak oleh antek-antek asing aseng. Harus ada orang yang berani dengan keras untuk amar ma'ruf nahi mungkar. agama dan kitab suci anda dihinakan lalu anda diam saja. anda waras?" kata dia orang.
"Samean pernah denger nabi ngata-ngatain orang abu jahal dengan cieee kapir, cie kutilbabi, cieee guwoblok gak mau masuk islam. Lah, samean dakwah ikut caranya siapa?."
Nah cara-cara dakwah Islam itu adalah budaya. Masing-masing daerah punya caranya sendiri. Salah satu walisongo adalah Sunan Kudus yang aslinya bernama Syaikh Ja'far shadiq, beliau ahli bidang syariat, bahkan pada zamannya terkenal kealimannya dibanding sunan-sunan yang lain, tapi beliau mengharamkan menyembelih sapi di Kudus karena akan menyakiti umat Hindhu yang mayoritas di sana, lalu mereka akan membenci muslim.
Hasilnya, tak perlu ditanyakan, Hari ini mayoritas Penduduk kudus adalah muslim, bahkan satu-satunya kota di Indonesia yang menahbiskan nama masjidnya sama dengan nama Masjid di Jerussalem. Masjidil aqsha...