Sebuah Kamuflase; Waktu
Kita sadari
atau pun tidak, sebenarnya di setiap detik dari waktu yang berjalan begitu
cepat adalah kita yang sedang/telah memutuskan segalanya, sehingga dalam
kesimpulan saya tanpa analisis yang njelimet, setiap detik adalah
keputusan. Coba perhatikan di setiap hari apa yang telah kita lalui dan
lakukan; keputusan.
Kita rajin
atau malas, bangun atau tetap tidur, belajar atau jagongan, diam atau pergi,
bahkan makan atau tidak dan mandi atau tidak. Semua itu adalah pilihan yang
harus kita putuskan, pada saat itu juga. Meskipun, di sisi-sisi tertentu kita
dipaksa dengan keadaan yang mendesak.
Dari sini,
kita akan melihat bahwa segala keputusan terdapat konsekwensi yang harus
dipertanggung-jawabkan, minimal terhadap diri kita sendiri.
Sebenarnya
saya ingin sekali menjelaskan bagaimana kerja akal kita pada saat melakukan
keputusan (judgment) dalam perspektif Emmanuel Kant dengan istilah akal
budi dan akal praktisnya. Tapi sudahlah, rasanya terlalu panjang dan njelimet
jika hanya untuk filsafat.
Tentang
waktu dan keputusan, saya ingat petikan puisi Sapardi Djoko Damono, penyair
kebanggaan saya enam atau tujuh tahun terakhir kali ini. Ia mengatakan “yang
fana adalah waktu, kita abadi; memungut detik demi detik merangkainya seperti
bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa”
Menurut
tafsir subjektif saya, waktu hanyalah konsep kekosongan yang, sebenarnya tidak
ada. Kenapa?. Sebab ada relativitas di sana. Lalu apakah relativitas
menunjukkan ketiadaan sesuatu?. Bukan, maksud saya adalah kita jangan terlalu
kaku dengan hal-hal terdapat sebuah relativitas atau mungkin terdapat paradoks.
Saya
sepakat dengan Hasan al-Bashri yang menjelaskan bahwa “waktu adalah hari ini,
sedangkan kemarin dan esok hanyalah ilusi.” Artinya, apa yang terjadi di waktu
kemarin –jika kesedihan– maka sikap kita sekarang-lah yang menentukannya;
terpuruk dengan masa lalu, atau berprasangka baik bahwa ada kebaikan di setiap
kejadian. Hari esok masih misteri, tak perlu kita khawatirkan atau ditakuti,
kita cukup yakin bahwa jika hari ini kita berbuat baik maka esok kita akan
menuainya, orang tua kita bilang “sopo nandhur bakal ngunduh.” Begitu
seterusnya, jika kita tidak mau terjebak pada sampai kita lupa untuk apa.
Mungkin hal
di atas juga termasuk yang dikehendaki oleh Einstein dengan konsep relativitas
waktu yang menggemparkan dunia itu. Objek tak mengalami perubahan yang
signifikan, kecuali dengan intervensi subjek sekaligus keadaan tertentu yang “berlebihan”,
sebagaimana pemahaman yang tak pernah sama, meski objek yang selalu sama. Kita?
Sama; abadi.
Kesedihan dan kebahagiaan hanyalah konsep yang harus kita sikapi
dengan dewasa, bukan hanya dinikmati.
Tiba-tiba,
saya ingat kalimat sayyidina Ali “jangan membuat keputusan pada saaat marah,
dan jangan membuat janji di saat sedang berbahagia.” Bagaimanapun, emosi tak
harus kita turuti.
Posting Komentar untuk "Sebuah Kamuflase; Waktu "