Krisis Multidimensional; Bela Islam 4 November 2016
Table of Contents
Simbah Nawawi. Dalam syair jawanya mengatakan "agomo telu rukune iman islam lan ihsane, lakonono supayane becik lahir lan batine." [Ada tiga rukun agama; iman, islam, dan ihsan. Amalkan semuanya agar baik secara lahir maupun batin.] Syair yg ditulis lebih dari lima dasawarsa yg lalu, hari ini masih terasa sekali di tiap inci darahku.
Syair tersebut, kemungkinan besar dan saya pastikan terinspirasi dari hadis
Nabi yang sedang main tebak-tebakan dengan jibril. Hingga hadis tersebut
tersohor dg sebutan hadis Jibril.
Ada kitab kecil yg sangat represntatif sekaligus relatif mudah dipahami utk
dijadikan bacaan, lebih tepat buku daras mengenai hadis tersebut yg ditulis
oleh seorang Habib kelahiran Jakarta, ya Jakarta yg sedang di ujung jurang itu,
beliau adalah Habib Zen bin Smith, kitabnya berjudul Syarh Hadis
Jibril-hidayatut thalibin fi bayani muhimmati din.
Iman, Islam dan Ihsan ibarat segitiga sama sisi yang, apabila kita
hilangkan salah satu sisi maka ia tak bisa disebut sebagai segitiga sama sisi,
begitulah agama.
Hari ini, kita sedang berada di zaman krisis di segala lini kehidupan,
mulai sosial masyarakat, komoditas yg dibungkus pendidikan, budaya
konsumerisme, hingga politik yg disepuh dengan semangat heroisme agama. Ya,
saya rasa agamalah yg tak pernah habis untuk diperbincangkan, hanya karena ia
bersatupadu dg keyakinan tertentu yang tak hanya masih perlu untuk dipahami
berkali-kali lagi, tetapi juga dihayati, diresapi, direnungi ke dalam diri
sendiri, bukan keluar dari diri lalu menjustifikasi orang lain.
Apa sudah tak ada lagi yg ditertawakan di dalam diri kita, sehingga kita
sibuk menertawakan orang lain?.
Aksi 4 November mendatang, misalnya. Sudah terlampau banyak yg akan ikut
serta, tak hanya orang jakarta, dari bergagai daerah pun rela untuk datang,
demi apa? Ya, membela agama Islam yang konon sedang/telah/hendak dinistakan
oleh seseorang.
Banyak para analisis yg memprediksikan bahwa aksi tersebut hanyalah gerbang
awal saja untuk menghancurkan keutuhan NKRI. Tujuan mereka bukan perorangan,
melainkan menggulingkan indonesia dg pemerintahan yg sesuai dengan versi
mereka. Jika benar, maka nasibnya sama dengan syuriah. (Baca status fesbuk
Muhammad A S Hikam, juga di situs muslimmoderat.)
Saya tidak akan kesusu menilai mana
yang benar dan mana yang salah, sebab benar-salah hanyalah persoalan
keberbedaan persepsi dan cara pandang yang, tak pernah bisa diseragamkan dengan
cara apapun, sebab masing-masing metode yang dipakai adalah jidal, yaitu debat.
Jika demikian, tak pernah akan ketemu secara akur dari berbagai macam persepsi
tersebut.
Namun, sikap demikian juga bukan
sebuah solusi dari fakta tersebut. Alih-alih akan menjadi sikap yang apatis
dari tanggung jawab sosial sebagai manusia yang menjadi penghuni bumi
Indonesia.
Saya hanya akan menggaris-bawahi
tentang keterkaitan antara aksi bela Islam 4 November mendatang dengan syair
Simbah Nawawi yang saya kutip di atas, yang bagi saya adalah terdapat krisis
multi-dimensi yang mewabah di negeri ini.
Pertama, sisi Iman merupakan aspek penting di dalam
Islam sebagai agama, yakni keyakinan yang meliputi percaya pada Allah,
malaikat, kitab suci, nabi, hari kiamat dan takdir. Sisi ini adalah kebal
kritik, mapan sebagai status quo dan rentan akan perselisihan jika ada agama
lain yang “menistakannya”. Jika benar, Ahok menistakan kitab suci (al-Qur’an)
dengan mengatakan “jangan mau dibohongi maidah lima satu” maka orang
islam manapun akan tidak terima akan hal itu.
Tapi, apakah benar bahwa Ahok
menistakannya?, apa yang dimaksud oleh perkataan Ahok?, dan yang lebih penting
kenapa Ahok berkata demikian?. Orang-orang yang ikut bela Islam jumat
mendatang, saya yakin tak semuanya mau untuk melakukan klarifikasi, entah
dengan cara menonton videonya secara lengkap, atau dengan menggali tafsir
ayat-ayat tersebut secara lebih komprehensif dan penuh dengan kejelian. Maka,
yang terjadi adalah umat Islam yang berada di barisan bela Islam akhirnya
termakan oleh isu-isu yang menjadi viral di media sosial.
Bukankah Ahok telah meminta maaf
secara terbuka?.
Sampai di sini, hepotesa saya adalah
masyarakat kita krisis akan klarifikasi yang mengakibatkan memunculkan wajah
Islam yang ganas, beringas, serta ngawur. Hal ini bisa dibuktikan waktu demo 14
Oktober 2016 yang lalu, banyak yang anarkhis, mulai dari spanduk yang menyerang
Ahok secara personal, terutama china-nya, sampai pada orasi dengan nada
marah-marah, kafir-kafiran, hingga seolah Islam yang mereka pakai hanya sekedar
baju putih dan sorban belaka.
Saya bukan berarti tidak sepakat
dengan demo, walaubagaimanapun ia adalah menyampaikan aspirasi, hanya saja,
betapa secara praktiknya tidak mencerminkan Islam yang sarat akan pesan
perdamaian.
Saya ingat perintah Allah kepada Nabi
Musa yang diutus pada Fir’aun dengan cara Qaulan Salaman (kalimat yang
lembut dan penuh kedamaian). Kita tahu Musa adalah Nabi yang mulia, dan Fir’aun
adalah manusia paling tak tahu diri di dunia ini, itu saja harus dengan kalimat
yang sejuk. Lah ini, mereka para pendemo derajat kemuliaannya tidak sebanding
dengan Musa, serta yang didemo tidak seburuk Fir’aun[?].
Kedua. Sisi Islam adalah akar dari keberagamaan
muslim, sebab di sana kita tahu bagaimana cara shalat, zakat, puasa, dan haji. Saya
rasa harus dibedakan antara islam sebagai agama dan islam yang “sebagaimana
ia”. Maksud dari islam “sebagaimana ia” adalah islam yang mempunyai ajaran dan
nilai-nilai universal yang cenderung tidak ada pertentangan di dalamnya dari
berbagai sekte, sedangkan islam sebagai agama adalah islam yang sudah
terinterpretasi, sudah dimanifestasikan, sudah penuh dengan praduga,
sebagaimana islam islam yang lahir di tengah-tengah kita ini yang telah mewujud
menjadi organisasi, kelompok, dan institusi. Islam jenis ini sudah masuk ranah
ideologis, kekuasaan, bahkan politis yang cenderung banyak perselisihan.
Meskipun Qur’an menyebutkan “inna
ddina ‘inda allahil islam” [sesungguhnya agama (yang benar) menurut Allah
adalah islam”], lalu pertanyaannya adalah sejauh mana kita tahu “menurut
Allah”? Islam yang seperti apa yang sesuai dengan “menurut Allah”?. Qur’an
surat Ali Imran tersebut sedang berbicara Islam sebagai mana ia, bukan islam
secara institusional, legalistik, dan organisatoris.
Kemudian, aksi 4 November mendatang
apakah Islam “sebagaimana ia”, atau Islam yang telah mewujud menjadi Islam
organisasi-legalistik-institusionalistis?. Jawabannya sudah jelas; ia adalah
islam secara organisatoris. Jadi bohong, apabila aksi 4 November adalah aksi
mengatasnamakan umat Islam. Alih-alih akan mengubah wajah islam yang damai dan
toleran menjadi islam yang penuh dendam amarah, dan yang paling parah adalah naluri
untuk berkuasa.
Penjelasan ini bisa dilacak lebih jauh
dalam bukunya Bassam Tibi berjudul islam dan Islamisme.
Ketiga, Ihsan. Secara normatif Nabi Muhammad
menjelaskan dengan “Beribadah ibarat kita melihat tuhan, jika tidak bisa maka
berusahalah sedang diperhatikan Tuhan.” Pada level Ihsan ini, tak ada batas
konsep yang jelas mengenai itu, sebab ihsan bukan persoalan formal seperti
shalat, melainkan persolanan kondisi jiwa batin seseorang yang, tak bisa
dilihat secara kasat mata, namun bisa dirasakan di masing-masing hati.
Sisi ihsan ini merupakan sisi yang
kurang mendapatkan perhatian secara proposional dibandingkan dengan sisi iman
dan islam, hanya karena Ihsan merupakan aspek tasawuf yang cenderung
mengedepankan sisi kebaikan secara batiniah dan rohaniahnya. Pun tasawuf tidak
mempunyai konsep yang mapan dan universal, kecuali tasawuf dipahami sebagai
aspek etika dan sarat akan spiritualitas.
Pada titik ini, islam sebagai agama
dilihat dari segi spiritualitasnya, bukan aspek yang mengedepankan praktik-praktik
agama secara formalitas belaka, misalnya seperti gamis dan jenggot panjang.
Adab lebih utama dari pada ilmu. Begitu
kata guru saya. Banyak orang yang cerdas, tapi penuh dengan kesombongan sebab
tak punya adab, yang terjadi adalah menganggap orang lain bodoh, tanpa ia
sadari bahwa setiap kecerdasan pasti ada kecerdasan di atas itu, dan kecerdasan
hanyalah sebagian kecil saja dari ilmu yang tidak ia ketahui, hingga ia lupa
bahwa sebenarnya kecerdasan adalah semata-mata pemberian. Lalu bagaimana bisa
dianggap pintar jika bodoh saja tidak punya?.
Ketiga hal di atas merupakan krisis
yang sedang mewabah di negeri ini, orang beriman sudah lupa untuk apa ia
beriman, jika masih saja sibuk mengkafirkan orang lain yang karena tidak
seiman. Orang berislam sudah kebingungan membedakan mana islam dan mana politik
dan mana kepentingan atau jual beli, sehingga ia lupa bahwa agama yang dianut
hanyalah milih sekelompok orang yang sedang menjadikan agamanya sebagai
komoditas kepentingan politik. Mereka terlalu sibuk dengan ayat-ayat kitab suci
yang, sebenarnya juga masih perlu dipelajari lebih dalam, bukan sekedar kata
orang atau terjemahan.
Sehingga demi kebenaran yang
diyakininya, berubah menjadi sebilah pedang untuk menghunuskan kepada orang
lain yang mempunyai kebenaran yang berbeda. Kemudian, seolah agama menjadi alat
untuk menyerang orang lain, bukan untuk membenahi diri sendiri, mengoreksi diri
sendiri, dan memperbaiki diri sendiri.