Film Genius Jatuh Cinta di Umur 40 Tahun

Table of Contents










"Kau masih belum siap untuk jatuh cinta, Nduk." Kata Maxwell Perkins kepada anak perempuannya yang baru umur 18th

"Kira-kira umur berapa seseorang bisa dianggap pantas dan siap jatuh cinta" Gadis itu bertanya balik.


"40th" katanya singkat sambil tersenyum.

Maxwell Perkins adalah seorang editor di sebuah percetakan ternama di Amerika, termasuk ia mengedit karya-karya Ernest Hemingway dan F. Scott Fitzgerald. Ia rela menaruh hampir seluruh hidupnya demi buku. 
"Tugas editor bukan menyulap karya menjadi bagus, ia hanya membuat karya menjadi berbeda" 
Tegasnya ketika mengedit karya Thomas Wolf yang kedua berjudul Of Time and The River (1929) yang berjumlah lebih dari 5000 halaman itu.

Kembali ke percakapan awal di atas. Saya benar benar menggaris bawahi, membold sekaligus mengitalickan kata Perkins soal kesiapan jatuh cinta itu di umur 40th. Ini jatuh cinta lho ya, bukan menikah. Harus dibedakan secara tegas. Sebab tidak semua yg saling cinta itu menikah, dan sebaliknya tidak semua yang menikah itu saling mencintai.

Ada apa dengan umur 40 tahun dengan kesiapan jatuh cinta?. Dari pada sibuk mengurusi Ahok, Nusron, demo, taman rusak, dll. Lebih baik menjawab pertanyaan yang reflektif.

Jatuh cinta/menikah bukan hanya persoalan macak dan beranak, sebab banyak yang macak dan beranak tanpa saling cinta atau menikah. Ia juga bukan persoalan kebahagian berbagi, sebab kebahagiaan tak harus diraih dengan berbagi kepada pacar/[calon]suami/istri. 

Cukup berbagi dengan teman yg membutuhkan insyallah hati kita sudah bahagia.

Jatuh cinta/menikah juga bukan cuma persoalan sunnah Nabi, sebab ribuan tahun sebelum ada Nabi, manusia manusia juga sudah mengenal jatuh cinta/menikah dalam tanda kutip. sebab itu adalah peradaban paling purba.

Jaminan sakinah mawaddah rahmah sesuai iming-iming Qoran? Pasti begitu?. Ya jelas nggak lah. Coba tanya berapa kasus perceraian yang tercatat di masing-masing KUA sana, eh pengadilan agama ya?. Itu yang tercatat, yg belum masih banyak lagi. 

Pertanyaannya, apakah semua orang yang telah menikah itu mampu memenuhi syarat-syarat mewujudkan samawa di keluarga? Dan, apakah orang yang tidak/belum menikah itu menutup kemungkinan untuk samara?.

Sampai sini jangan tuduh saya nggak percaya Qoran, apalagi menghina Qoran ya. Samawa itu butuh syarat, bukan simsalabim.

Secara kemapanan dan kematangan usia, 40th memang cukup representatif. Sebab di usia tersebut, mayoritas orang akan menuai apa yg telah ia tanam di usia 20-30. Itu nasehat paling masyhur yang sering saya dengarkan.

Ini bukan soal Qoran, justru persoalannya adalah para pelakunya, ya sekali lagi pelakunya. Jatuh cinta/menikah itu persoalan orangnya, yakni kesadaran diri yang secara psikologis sangat berpengaruh pada hubungan relasional antara laki-laki dan perempuan, yakni sejauh mana keyakinan untuk mencapai kebahagiaan dalam hubungan yang disebut "keluarga", entah dengan menerima, memberi atau meninggalkan, termasuk meninggalkan kenangan sama mantan.

Pola hubungan tersebut akan membentuk sekaligus menciptakan sesuatu yang unik dan mencerahkan lalu menyadari, bahwa segala aspek faktual yang terjadi di dalam keluarga ada(hanya)lah benar-benar manusiawiyah-duniawiyah-bendawiyah. Jika sadar demikian, saya rasa dijauhkan dari hal yg bernama perceraian (baca; putus/gagal cinta).

Lalu,

Sejak kapan kita disuruh untuk ribut-ribut masalah duniawiyah dan bendawiyah?

Rumi pernah bilang "Mbiyen aku pinter-cerdas, njuk aku pengen mengubah dunia. Saiki aku bijaksana, njuk aku pengen mengubah awakku dewe."
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment