Sisi Gelap Sebagai Hakikat Mendasar Manusia a la Arthur Schopenhauer

Table of Contents

ditulis oleh Minanullah

Beberapa hari yang lalu saya terlibat diskusi panjang dengan seorang teman mengenai hakikat diri manusia. Diskusi semacam ini sebenarnya tidak akan selesai kalau hanya dilewati satu atau dua malam. Sebab keterbatasan ruang dan waktu tentu tidak akan kuasa menjawab segala pertanyaan tentang apa itu hakikat manusia,bagaimana posisinya, secara keseluruhan. 

Walhasil, sehabis bangun tidur, mandi, dan makan pun masih saja teringat. Tak berapa lama kemudian secara sengaja saya membuka-buka buku Filsafat Manusia karyanya pak Zainal Abidin. Nah sampai pada pembahasan seorang filosof bernama Arthur Schopenhauer dengan ide yang kalau boleh, saya menyebutnya “kehendak buta sebagai hakikat yang paling mendasar dalam diri manusia”.Kehendak buta ini nampaknya terletak pada sisi paling gelap manusia. Ia merupakan penentu dari tindakan-tindakan si pemiliknya. 

Perlu digarisbawahi, sisi gelap di sini lebih terarah pada dimensi alam bawah sadar manusia yang irasional bukan dalam pengertian sisi jahatnya. Meskipun terkadang bisa jadi bermakna demikian jika kehendak butanya itu terus menerus dituruti.Siapa sangka ternyata dalam pembahasan tersebut ada sedikit jawaban atas pertanyaandi atas. Saya coba kaitkan ide ini dengan dialog yang terjadi kemarin hari. Meskipun dengan perspektif yang berbeda. Toh pemahaman saya yang tebatas ini cuma sekedar pelengkap untuk memahami kompleksitas manusia yang gak bakalan ketemu titik finalnya. Bahkan cuma sekedar refleksi sederhana terhadap sebuah bacaan. 

Schopenhauer sendiri kalau menurut penulisnya adalah seorang pesimistik. Berbeda dengan beberapa filosof terdahulu seperti Kant, Hegel, Marx, dll yang visinya lebih optimistik. Namun -masih menurut si penulis- dengan sisi pesimistik filsafatnya itu ia malah lebih jujur, berani mengungkapkan sisi manusia dalam menghadapi kenyataan hidup yang memang cenderung keras tanpa belas asih. Kan kadang kita juga menghadapi kenyataan dengan cara membohongi diri, lengkap dengan ledakan-ledakan optimistik. Berdiri sebagai manusia yang angkuh dan suci, kadang juga lupa diri. Untung ada Schopenhauer yang mengingatkanagar tidak terlalu jauh memandang keluar sampai-sampai gak tahu kalau jalan di depan ternyata berlubang. Perlu diketahui juga, bahwa Schopenhauer ini menginspirasi beberapa filosof sesudahnya seperti si pesakitan Nietzsche yang soliter itu juga Sigmund Freud, empunya teori Psikoanalisis tentang Id, Ego, Super Ego. 

Untuk dapat memahami teori Schopenhauer tentang “kehendak buta” pertama-tama kita harus menjelajah terlebih dahulu beberapa pemikiran filosof sebelum masanya. Mengapa? Sebab hasil intelektual itu tak jarang merupakan respon atas para pendahulunya. Kurang lebih semacam dialektikanya Hegel. 

Sebagaimana kita ketahui, ada perdebatan metafisik yang sampai sekarang belum terselesaikan. Perdebatan dalam menentukan hakikat manusia, apakah manusia itu hakikatnya jiwa, raganya, atau keduanya? Dari Aristoteles dan Plato, antara Hume dengan Kant, lalu aliran-aliran semacam Dualisme, Eksistensialisme, Strukturalisme, Postmodernisme. Sedemikian hebat perdebatan tersebut sampai-sampai benangnya kusut dan ruwet. Kalau diusut poros besarnya ya cuma dua, idealisme yang mengatakan bahwa hakikat manusia itu jiwa dan lawannya yaitu materialisme. Kubu yang mewakili tubuh, badan, dan materi sebagai hakikat manusia. Jangan anggap remeh, perdebatan ini nanti dibawa-bawa oleh manusia untuk menentukan pandangannya terhadap dunia. Mana yang benar mana yang salah, mana yang nyata mana yang ilusi, mana bungkus mana isi. 

Di masa sebelum Schopenhauer paling tidak pemikiran Hegel kuat mendominasi filsafat barat dengan idenya tentang Roh Absolut, Jiwa Rasional yang intellect. Berbeda dengan makhluk lain, kemampuan manusia berpikir tersebut menjadikan hakikat dirinya adalah sang pemikir. Sejatinya manusia itu ya jiwa, yang rasional dan selalu berpikir. Schopenhauer pun merespon ide Hegel. Ia tidak setuju, menurutnya idealisme Hegel itu terlalu optimis, selalu rasional melulu yang dikedepankan bahkan menafikan peranan kekuatan irasional yang dimiliki manusia.Sisi gelap itulah yang kemudian dibangkitkan dan oleh Schopenhauer diberi nama “kehendak buta”. 

Apa itu kehendak buta? Contoh sederhananya begini, kita sering temui entah itu hal besar dalam sejarah atau sekedar hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya, banyak putusan-putusan dari hal tersebut ternyata tidak ditentukan oleh dasar rasional melainkan lebih kepada hal-hal yang cenderung bersifat non-rasional. Dalam bahasa yang lain Schopenhauer menyebutnya naluri, insting, juga “kehendak buta” itu sendiri. Asumsinya ini didasarkan atas peristiwa semacam perang. Menurutnya dalam perang antar bangsa tidak semua keputusan yang diambil bersifat rasional. Apa coba alasan rasional dalam terjadinya peperangan? Bahkan Schopenhauer bilang toh kalau seumpama landasan rasional itu ada, paling jauh hanya sebuah alat legitimasi dan apology belaka untuk membenarkan. Selebihnya insting, naluri manusia untuk bertahan hiduplah yang memberikan putusan.

Memang benar, Schopenhauer telah mendegradasikan hakikat manusia setara dengan makhluk lain selayak hewan dan tumbuhan. Katanya lagi, ya memang itu hakikat manusia insting, naluri, dan kehendak buta yang pertama kali muncul. Dorongan tak tersadarkan agar manusia tetap hidup, menolak kematian, melanggengkan jenisnya. Cuma bedanya kalau hewan tidak sampai mengembangkan kemampuan intellect-nya nah manusia sampai pada kawasan ini. Meskipun manusia dapat mengembangkan kemampuan itu tapi tetap saja dibalik kesadaran ada ketidaksadaran. 

Ia tidak setuju dengan anggapan para filosof sebelumnya yang mengatakan bahwasanya kesadaran, intellect, dan rasio sebagai hakikat jiwa. Itu semua baru dipermukaan, jauh di dalam sana ada ketidaksadaran yang irasional,tertidur namun mengatur dan menjadi hakim bagi tindakan manusia. Hubungan kehendak buta dengan yang rasional itu layaknya orang buta sedang menggendong kacungnya yang cacat namun dapat melihat. 

Lantas ia menjelaskan bahwa pengetahuan manusia punya relasi yang signifikan terhadap kehendak buta-nya. Kita pasti mengetahui bagaimanapun juga kehendak itu selalu lebih banyak daripada pemenuhannya. Ia tak terhingga sedangkan pemenuhnya selalu terdesak dan terbatas. Kata Schopenhauer kalau orang masih terjebak dalam keinginan-keinginan maka hidup hendaknya terasasakit, gila. Tepat sekali, pengetahuan yang banyak itu katanya malah justru menimbulkan pesakitan. 

Mengingatkan kembali terhadap salah satuomongan teman saya, katanya:“too much know will kill you”. Dalam hal inilah pengetahuan menawarkan diri sebagai petunjuk untuk selalu menuruti kehendak yang tidak pernah merasa puas. Dugaan saya sempat tertuju pada filosof Perancis yang belakangan masyhur dengan teori relasi kuasa dan pengetahuan. Hampir-hampir mirip. Nampak mencemaskan bilamana manusia dibiarkan dengan hakikatnya yang demikian. Rasionalitas, pengetahuan hanya menjadi alatdan budak bagi kehendaknya yang buta. 

Kata Schopenhauer, dunia bagi organisme bertaraf tinggi tak kurang tak lebih sebagai pusat derita yang tak kunjung selesai. Betapapun manusia telah mengubah rasa sakit dan penderitaan menjadi konsepsi neraka maka tidak ada yang tersisa untuk surga selain kebosanan. Segera ia akan merasa menderita lagi. Manusia adalah organisme tertinggi yang memiliki tingkat sensibilitas paling banyak. Itulah mengapa ia merasa lebih sakit daripada hewan atau tumbuhan manapun. Semakin banyak kesadaran terkumpul, gejala kehendak semakin tampak. Dan ke-tahu-an manusia menjadi gerbang pertama yang menyambut. Dengan tegas ia menyatakan bahwa usaha manusia untuk meningkatkan pengetahuannya sama saja dengan usaha untuk meningkatkan penderitaannya. Bahkan ingatan dan wawasan ke depan juga menambah penderitaan karena sebagian besar derita disebabkan oleh retrospeksi atau antisipasi. Sungguh pikiran tentang kematian di masa depan itu lebih menderitakan dibanding dengan kematian itu sendiri. 

Pesimistisnya bukan tanpa solusi. Kehendak seperti ini dianggap Schopenhauer sebagai kejahatan dan penyakit yang harus diobati segera. Ia kemudian sampai pada asumsi bahwa kesadaran atau intellect-lah yang harus menjadi penawar racun. Kehendak yang demikian harus ditekan, dikurung, dikekang. Menjadi jenius menurutnya merupakan manifestasi dari sedikit berkehendak. Jika kesadaran dan rasionalitasitu mau menolak kehendak maka kelak ia akan seperti sinar mentari yang menerobos kabut.Ia pun bakal mampu melihat benda yang ada di dunia secara obyektif sebagaimana adanya. Sampai di sini saya kira ia sedang membalikkan kedudukan kesadaran dan rasionalitas untuk tidak menurut kepada kehendak buta, justru membebaskannya.Belakangan idenya ini dibungkus oleh Freud dengan konsep Id yang mewakili kehendak irasional, ketidaksadaran dan Super Ego yang mewakili rasionalitas, kesadaran. Perselisihan untuk menentukan sikap pun terjadi antara si kehendak dengan budaknya. 

Betapa pun pesimistik Schopenhauer dalam berfilsafat, betapa ia merendahkan manusia pada hakikat yang asal, setidaknya ia telah berusaha merefleksikan dan menjatuhkan diri jauh ke dalam jurang alam bawah sadar. Dunia yang tidak disadari dan dipinggirkan oleh para filosof lain dalam menemukan hakikat manusia. Dunia abu-abu yang penuh dengan letupan-letupan kehendak buta tanpa petunjuk, tanpa kontrol. Akhirnya, mengakui ataupun tidak orang kemudian menyadari bahwa di balik materi terdapat energi, di balik pemikiran terdapat keinginan, di balik kesadaran ada ketidaksadaran. Ia berhasil mengungkapkan rahasia sang hati kepada kita, menunjukkan bahwa dibalik aksioma-aksioma filsafat yang melandasi tindakan kita bukanlah perhitung abstrak semata namun ada suatu dorongan irasional yang impersonal. Bahwasanya pemikiran dan kesadaran merupakan alat yang fleksibel. Ketika orang lain mengatakan bahwa gerak laju sejarah manusia ditentukan oleh lingkungan bahkan materi di sekitarnya, ia justru menunjuk bagian tergelap manusia sebagai penentunya. 

Berkat Schopenhauer ini saya kemudian bisa menaruh curiga yang tidak berlebihan kepadaorang-orangberpengaruh di sekitar kita.Jangan-jangan kebijakan demi kebijakan mapan dalam sistem kitaini juga didorong oleh kehendak buta dari individu yang bahkan dia sendiri tidak menyadarinya. Jangan-jangan alasan logis yang mengapung pada permukaan pengelihatan kita itu hanya sebuah alat pembenaran bagi tindakan mereka. Dengan teori Schopenhauer ini pun seorang terdakwa dalam pengadilan tidak bisa lepas dari tuntutannya. Bahwa serasional apapun pembelaannya di depan hakim, tetap ada bagian tergelap dalam hidup yang bersifat naluriah dan mendorongnya untuk berbuat demikian. Bisakah ini terjadi pada asas hukum yang bersifat empirik?

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment