Kepuasan Itu Berbahaya

Table of Contents

Ben Anderson (Ben) telah menghadap kepada Allah subhanahu wa ta'ala kemarin 13 Desember 2015 di Batu, Malang setelah hari kamis mengisi kuliah di Universitas Indonesia (UI). Selama 24 tahun saya hidup di dunia ini, baru tadi ini saya tahu ada nama seorang sejarahwan terkemuka, kritikus sastra, antropolog, sekaligus seorang filosof, kata Kakanda Fayyadl yang ditulis di lsfcogito.org itu dia masalahnya (gas…), betapa sempitnya hidup saya selama ini yang tidak tahu nama besar Ben Anderson, padahal jelas sekali ya saya terang-terangan suka sama yang namanya sastra, masuk kuliah di jurusan filsafat, suka sejarah pula. Ini kayak orang yang mengaku cinta sama cewek dan hendak menikahinya, tapi tak pernah mengenal siapa orang tuanya, walinya. Akhirnya cuma bisa dipacari tanpa bisa dinikahi, Sakittt… *uhuk perkenalan saya dengan Ben ini lebih kurang seperti itu, semoga saya masih menemukan walinya agar tetap bisa dan punya alasan untuk suka sama sastra, filsafat, dan sejarah.
 Setelah berselancar ke samudera gugel, saya baru tahu bahwa Ben ini disebut sebagai Indonesiais dari Amerika, ia pernah dilarang mendarat ke Indonesia karena pernah menulis tentang PKI di tahun 1965 yang disebut “cornell paper”, siapa lagi yang melarang kalau bukan si itu tu yang di poster dengan senyum jahatnya “pie bro, penak jamanku, to?” hhhh… geli rasanya. Tapi alhamdulillahnya, setelah peristiwa lengsernya “orang itu” Ben bisa berkunjung ke Indonesia. Itu yang saya tahu dan ingat setelah ngacak-ngacak lemari mbah gugel. Oh, iya adalagi, karyanya yang berjudul Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination telah diterjemahkan oleh Ronny ke dalam bahasa Indonesia berjudul Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial. Semoga bisa membeli buku itu.

Dua paragraf di atas belum menyinggung tentang judul tulisan ini. Perkenalan setelah kematian yang terjadi antara saya dengan Ben adalah pelajaran bagi saya sendiri, karena, ternyata, saya ini masih kurang sekali dalam banyak hal, mulai dari bacaan buku, isu-isu, nalar pikir, wacana, de el el. Ini bukan soal rendah diri yang secara historis saya dilahirkan dari rahim pesantren yang bacaannya melulu soal kitab kuning (meskipun sekarang sudah putih), ini juga bukan klaim bahwa saya tidak bangga lahir dari pesantren, saya berbangga atas apa yang kudapatkan selama ini, bukan bangga ding, bersukur lebih tepatnya. Saya beruntung sekali dilahirkan dididik dan dibesarkan dalam institusi yang bernama pesantren, terminologi seperti keberkahan, kepatuhan, kepasrahan, tidak akan pernah saya dapatkan secara utuh teoritis dan praktis tanpa institusi ini.

Semata-mata, ini hanyalah subjektifitas pribadi saya yang merasa puas dengan apa yang saya dapatkan di pesantren, sehingga sedikit banyak, terkadang mengesampingkan tokoh-tokoh seperti Ben itu, yang ternyata mempunyai peranan yang agak besar di Indonesia terutama, apalagi soal teori-teorinya tentang sejarah, yang oleh Fayyadl dibahasakan dengan membebaskan sejarah dari sejarah (freeing history from history), kepuasan saya itulah yang terkadang menjadi penghambat saya untuk berkembang dan belajar lebih jauh lagi.

Kepuasan itu ternyata, berbahaya sekali. Sungguh, sangat berbahaya. Ketika kita merasa puas, kita tidak mau lagi belajar, tidak mau berusaha lebih baik lagi, mencari yang lebih baik lagi. Kepuasan ini bisa beraneka ragam. Misalnya, kepuasan dalam beragama. Ini yang paling berbahaya bagi saya. Kepuasan itu persis seperti sombong. Tahu sendiri kan kalau sombong itu sifat yang hanya dimiliki oleh Tuhan, dan setan. Kita tak mungkin jadi Tuhan kan dengan sombong?. Nah, berarti kalau sombong kita jadi setan. Hahaha… ingat cerita fir’aun dong yang dengan kesombongannya mau memanah Tuhan dari menara tertingginya.

Sombong itu, kalau dijelaskan secara sederhananya, akibatnya fatal, kita udah males mengaji lagi dengan orang lain, karena menganggap kita lebih pinter, atau minimal samalah keilmuannya dengan orang tersebut, apalagi jika yang dijelaskan itu udah akrab di telinga kita, kita juga akan gampang meremehkan orang lain karena kita menganggap diri kita lebih baik, dan yang lebih fatal bin parahnya lagi, kita tidak akan bisa menerima kebenaran-kebenaran yang datang dari luar diri kita, dan menganggap diri kita telah mencapai puncak kebenaran yang mapan bersanding dengan Tuhan. Duhdek… pehlis, ngopi yukkk…  

Kalau sudah begini, susah obatnya. Tidak tersedia di apotek-apotek, adanya harus diterapi dengan kopi yang lebih kenthel, lebih pahit, diajakin piknik yang jauh-jauh, dan yang paling penting diajakin bergadang nemuin banyak orang, kalau perlu orang gila, biar sadar di atas orang gila masih ada orang gila.

Kembali ke Ben, semoga saya masih bisa diberikan kesempatan untuk bisa membaca karya-karya Ben, dengan nungguin karya-karyanya diterjemah ke bahasa endonesa. Apa lacur, kemampuan berbahasa saya ternyata tidak berbanding lurus dengan dahaga intelektual di tubuh ini *halahhh… jika saya suka sastra, sejarah dan filsafat, dan kebetulan Ben itu alim dalam hal tersebut, dan saya tidak kenal sebelumnya dengannya, toh saya sudah kenal sama Pramoedya, HB. Jassin, Saussure, Derrida, Descartes, Hegel, Marx, Nietsczhe, dari kalangan Muslim juga udah kenal sama Nasr Hamid, Sahrur, Hasan Hanafi, dan Martin Lings. Yesss… hahaha…
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment