Tiga Alasan Kenapa Kita Harus Berprasangka Baik Kepada Allah.
Sebelum ini saya pernah menulis tentang berprasangka baik kepada Allah dengan merujuk padaungkapan Mbah ‘Athaillah yang tidak tuntas, melainkan masih ada pertanyaan yang sengaja digantung, yakni kenapa kita harus berprasangka baik kepada Allah, sedangkan Allah sendiri tidak membutuhkan sangkaan kita terhadap-Nya. Kali pertama yang harus diyakini di sini adalah, di dalam kamus Allah tidak terdapat kata baper atau kebawa perasaan. Kalau kita sih sering sekali baper. Dicuekin sekali saja sama temen sendiri, curiganya sudah sampe kemana-mana. Mulai dari yang sulit terjadi sampai yang tidak mungkin terjadi.
Kesempatan kali ini, setidaknya ada tiga alasan kenapa kita harus berprasangka baik kepada Allah. Ini penting menjadi sumber kita untuk berperilaku, apa sih susahnya berprasangka baik, kan tidak perlu modal apa-apa, cukup dengan pikiran yang sedikit jernih untuk melihat setiap peristiwa yang terjadi di dalam diri kita sendiri.
Pertama, Tuhan Bekerja sesuai porsi prasangka Hamba-Nya.
Berbicara soal prasangka, tidak afdhal bila tidak mengutip hadis qudsi yang mengatakan “aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku” ini hadis sangat masyhur di kalangan para sufi dan sering kali dibahas untuk menjelaskan bahwa Allah itu sesuai dengan apa yang disangkakan oleh hamba-Nya.
Ada cerita menarik yang diungkapkan oleh Imam al-Ghazali di bab terakhir dalam buku Ihya’ Ulumuddin, bahwa ketika seorang hamba hendak dijebloskan ke neraka, ia sempat berkata “Ya Allah, sebenarnya saya itu tidak pernah mempunyai prasangka bahwa engkau sekejam ini dengan hamba-Nya sendiri dengan menjebloskan ke neraka.” Tiba-tiba Tuhan berubah pikiran dan memasukkan hamba itu ke surga.
Terlepas dari kebenaran cerita itu, dan tentu kita boleh percaya dan boleh tidak, namun kapasitas Imam al-Ghazali sekiranya mustahil kalau berkata bohong. Jangan curiga terlebih dulu, iya kan. positive thinking kaya begini aja kita sudah susahnya minta ampun kok, apalagi dengan yang lain. Ingat, berprasangka baik.
Kedua, Berprasangka Baik adalah untuk diri Kita sendiri.
Melalui cerita di atas, sebenarnya aktifitas prasangka baik pada hakekatnya adalah kembali kepada diri kita sendiri. Sesuai dengan apa yang disangkakan oleh kita. Coba kalau seorang yang diceritakan oleh Imam al-Ghazali tersebut punya prasangka buruk kepada Allah, ya sudah pasti malaikat Malik langsung main lempar aja ke neraka.
Kita memang sudah sulit untuk percaya dengan hal-hal yang demikian, kenapa? Ya semata-mata manfaatnya (baca: pahalanya) tidak langsung berada di depan mata. Sebagaimana kasus sedekah, seringkali kita merasa eman-eman dengan apa yang hendak kita sedekahkan kepada orang lain, karena takut hartanya berkurang, padahal Allah sudah menjanjikan akan diganti sampai 700 kali lipat sebagaimana yang tertuang dalam QS. al-baqarah 261. Oleh sebab itu Allah sempet marah-marah bahwa orang yang bakhil, pelit, kikir sejatinya adalah ia kikir terhadap dirinya sendiri. Coba lihat di akhir surat Muhammad juz 26.
Lagi-lagi cara beragama kita masih matrealistis, kalau manfaatnya tidak di depan mata, kita males melakukannya. Coba sekarang acara-acara yang berhadiah itu dialihkan di masjid-masjid dan diperuntukkan bagi mereka yang berjamaah di masjid. Ehm, haqqul yaqin pasti masjid akan selalu ramai berlomba untuk shalat berjamaah. Kalau tidak percaya inih potong kuku saya.
Saya tidak bicara soal imbalan sebenarnya, nanti malah seperti ustadz yang di tipi-tipi itu yang menganjurkan sedekah secara brutal, saya takut nanti ndak terjebak ke lubang matrealistis, dengan kata lain Allah wajib melipat-gandakan apa yang sudah kita sedekahkan.
Ketiga, menunjukkan bahwa kita tidak bodoh-bodoh amat.
Ini yang paling penting untuk dijadikan alasan pentingnya berprasangka baik dengan Allah. Meskipun kita ini sudah dipakemkan sama Allah kalau kita semua ini dhalim dan bodoh (dhaluman jahulan –kalau dalam term al-Qur’an), ya kita berusahalah untuk tidak bodoh-bodoh banget dalam hal ini.
Sekarang begini sajalah enaknya. Ketika kita berprasangka baik, pasti ada motif yang kita harapkan, kalau ada motif akan masuk ke jurang harapan-harapan yang ingin didapatkan. Seperti kalau kita berprasangka baik kepada orang tua soal jatah kiriman bulanan, kita tidak mungkin punya prasangka baik “dikirim” kalau kita tidak yakin bahwa orang tua kita akan mengirim kita uang. Munculnya prasangka baik “dikirim” itu didasari atas adanya kemungkinan bahwa orang tua kita akan mengirim kita jatah uang, tapi kalau tidak ada kemungkinan, pastilah kita tidak mengharapkan itu, dan secara otomatis prasangka dan harapan tidak didasarkan kepada orang tua.
Allah sudah “susah-susah” menciptakan semesta ini, semata-mata Allah hendak menciptakan makhluk favorit-Nya (fi ahsani taqwim), yakni kita; manusia. Kalau tidak percaya buka surat ar-rahman ayat 10. Tapi herannya, Allah itu tidak membutuhkan segala yang diciptakan-Nya agar manfaatnya kembali kepada-Nya, melainkan kita ini yang butuh sama Allah. Berkali-kali saya heran dengan Allah, bagaimana tidak, dia itu punya segalanya yang ada di dunia ini, tapi dia tidak butuh, sebab itu siapapun dan apapun bentuk makhluk-Nya yang meliputi berbagai ras, suku, budaya, adat, bahkan agama, bahkan yang tidak menyembah Dia pun, tetap dipenuhi segala kebutuhannya di dunia ini. Jadi jangan heran kalau orang-orang yang kita anggap kafir itu tidak mati-mati saja kenapa, ya karena Allah menghendaki itu dan Allah juga sayang sama mereka meskipun tidak menyembah-Nya, kalau tidak sayang kenapa masih hidup?
Kalau sudah demikian, kita harus bareng-bareng membenahi niat kita dengan baik, bahwa sebesar apapun dosa yang pernah kita perbuat, berprasangka baiklah kepada Allah pasti diampuni, semiskin apapun kehidupan kita berprasangka baiklah kepada Allah, pasti akan dipenuhi dan tidak mungkin sampai mati, sebesar dan serumit apapun masalah kita di dunia ini, berprasangka baiklah kepada Allah, pasti suatu hari akan selesai dengan sendirinya, kalau tidak selesai di dunia ini, ya minimal selesai setelah di akhirat nanti.
Hati saya berkata “Kamu sudah terlalu bodoh, jangan ditambahi dengan melakukan hal-hal yang bodoh pula.”
Tulisan ini semata-mata untuk menertawakan diri saya sendiri. Saya tidak sedang berkhotbah untuk sesuatu yang di luar diri saya.
Post a Comment