Salah Kaprah tentang Kaya dan Miskin

Table of Contents

Kita ini hidup di dunia, dunia yang sebenarnya yang sebagaimana kita lihat, bukan dunia lain. Jadi jelas, patokan secara pakem yang digunakan oleh kita dan masyarakat pada umumnya adalah realitas di depan kita ini. 

Ini penting dipahami terlebih dahulu, jadi hal-hal yang bersifat dunia lain tidak akan ikut campur sekaligus tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata dan kalimat secara pasti.

Berbicara soal salah dan kesalahan merupakan persoalan yang sangat fundamental, artinya salah dan benar atau baik buruk itu tidak cukup dibahas secara ringan-ringan saja. Tapi berat sangat, lebih berat bahkan lebih sulit dari move on dengan mantan. (halah…) Namun, pada kesempatan ini saya ingin bahas soal salah kaprah. 

Apa itu salah kaprah?

Ya salah kaprah merupakan kesalahan yang sudah lazim dilakukan sehingga tidak lagi dianggap sebagai kesalahan. Misalnya, kita mau beli air mineral, pada umumnya kita akan bilang sama penjaga toko “Ada aqua?.” 

Padahal yang kita maksud adalah air mineral, dan aqua menjadi representasi utama, sedangkan sekarang ini merk air mineral sudah bejibun banyaknya. Malah ada yang bilang “Beli aqua merk fresh.” 

Ini salah kaprah namanya.

Ada lagi, pada saat kita beli deterjen. Di benak kita, yang namanya deterjen itu ya rinso, yang ternyata menjadi salah satu merk deterjen. sehingga segala jenis dan merk deterjen itu diasumsikan dengan kata rinso. 

Istilah ini menjadi rinso attack, rinso daia, dst. Ini belum istilah motor di daerah Kedu, mereka menyebut segala motor dengan istilah “Honda” yang ternyata adalah salah satu merk sepeda motor. 

Jadi jangan heran kalau ditanya orang Kedu, “Hondamu opo, Mas?.” Hondaku Yamaha Jupiter. Belum persoalan sanyo yang diartikan sebagai pompa air, padahal kan tahu sendiri, sanyo itu hanya merk.

Numpang mandi, ya soalnya sanyo di rumah rusak.

Walhasil, itulah contoh-contoh salah kaprah yang terjadi secara masal dan disepakati oleh masyarakat, yang berkembang menjadi kosakata bahkan bahasa. 

Selain itu, ada kesalahan yang paling fatal bagi saya yang, hal ini akan mempunyai pengaruh yang luar biasa liar dalam memaknai hidup di dunia ini, yang tentunya serba matrealistis, pragmatis, spekulatif dan berujung hedonis. (istilah opooooo kui.)

Adalah kata Kaya, kaya dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kata benda atau nomina, yang berarti mempunyai banyak harta, uang banyak. Kebalikannya adalah miskin. Kata kuncinya adalah harta atau uang, itu sekaligus menjadi tolok ukur seseorang disebut kaya atau miskin. Sekali lagi, parameternya adalah uang dan harta.

Lebih parahnya lagi, di zaman globalisasi kaya begini, kebahagiaan selalu diukur dengan kekayaan, atau seberapa banyak harta dan uang yang kita miliki, semakin banyak kesempatan untuk berbahagia. Misalnya kita sedih jika hanya punya hape jadul, ingin sepeda motor bagus, mobil bagus, rumah besar mewah, dan lain sebagainya. Semua itu menjadi tolok ukur pada umumnya sebagai representasi indeks kebahagiaan seseorang.

Ya wajar saja lah, tiap hari kan kita dicekoki segala jenis produk yang secara berulang ditawarkan di media-media, mulai dari cetak maupun virtual. Sekali dua kali nonton gak terpengaruh sih, tapi jika sering kali dilihat dan melulu seperti itu, niscaya akan terpengaruh juga, dan beli tentunya, pake apa? Ya jelas pake uang. 

Kalau tidak punya?. Ya, begitulah.

Saya lebih sepakat dengan bahasa jawa, yang namanya Sugih adalah tidak butuh. Ini makna dasariahnya, makna asalnya. Tapi sekarang rasanya hal itu tidak disadari dengan baik, bahasa Jawa jadi ikut-ikutan dengan bahasa Indonesia yang salah kaprah itu, dengan mengartikan kata sugih dengan kaya, jadi kata sugih dijadikan sinonim dengan kaya dalam bahasa Indonesia. 

Walaupun, seseorang yang kaya sekalipun belum tentu dikatakan sugih (tidak butuh). 

Butuh dan tidak butuh ini adalah sebuah pembedaan yang penting, jadi dalam bahasa Indonesia itu parameternya adalah harta dan uang, kalau sugih dalam bahasa Jawa parameternya adalah butuh dan tidak butuh. Jelas, klir.

Jika tolok ukur yang digunakan adalah butuh dan tidak butuh, kepemilikan harta bukanlah satu-satunya parameter kebahagiaan. Banyak orang yang kaya raya tapi hidupnya penuh dengan masalah, seperti sering kawin cerai, anak tidak nurut sebab broken home, bisnis kacau, dan lain sebagainya. Meskipun hidupnya di kelilingi oleh kekayaan yang melimpah ruah. 

Jadi asumsi ini runtuh, kebahagiaan tidak selalu dilihat dari sebanyak apa seseorang punya harta.

Menurut saya kebahagiaan itu dilihat dari aspek butuh dan tidak butuh, artinya semakin tidak butuh maka semakin bahagia, dan sebaliknya. Oleh karenanya Iwan Fals pernah bilang bahwa “keinginan adalah sumber penderitaan”

Jika demikian, orang semiskin apapun kalau tidak butuh, ia akan menemukan kebahagiaan, dan bisa disebut sebagai orang sugih. Sedangkan sekaya apapun orang jika ia masih butuh ini dan itu, hakekatnya ia masih belum dikatakan sugih.

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment