Salah Kaprah
Thursday, November 5, 2015
Add Comment
![]() |
Sumber Gambar |
Kita
ini hidup di dunia, dunia yang sebenarnya yang sebagaimana kita lihat, bukan
dunia lain. Jadi jelas, patokan secara pakem yang digunakan oleh kita dan
masyarakat pada umumnya adalah realitas di depan kita ini. Ini penting dipahami
terlebih dahulu, jadi hal-hal yang bersifat dunia lain tidak akan ikut campur
sekaligus tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata dan kalimat secara pasti.
Berbicara
soal salah dan kesalahan merupakan persoalan yang sangat fundamental, artinya
salah dan benar atau baik buruk itu tidak cukup dibahas secara ringan-ringan
saja. Tapi berat sangat, lebih berat bahkan lebih sulit dari move on dengan
mantan. (halah…)
Namun,
pada kesempatan ini saya ingin bahas soal salah kaprah. Apa itu salah kaprah?.
Ya salah kaprah merupakan kesalahan yang sudah lazim dilakukan sehingga tidak
lagi dianggap sebagai kesalahan. Misalnya, kita mau beli air mineral, pada
umumnya kita akan bilang sama penjaga toko “Ada aqua?.” Padahal yang kita
maksud adalah air mineral, dan aqua menjadi representasi utama, sedangkan
sekarang ini merk air mineral sudah bejibun banyaknya. Malah ada yang bilang
“Beli aqua merk fresh.” Ini salah kaprah namanya.
Ada
lagi, pada saat kita beli deterjen. Di benak kita, yang namanya deterjen itu ya
rinso, yang ternyata menjadi salah satu merk deterjen. sehingga segala jenis
dan merk deterjen itu diasumsikan dengan kata rinso. Istilah ini menjadi rinso
attack, rinso daia, dst. Ini belum istilah motor di daerah Kedu, mereka
menyebut segala motor dengan istilah “Honda” yang ternyata adalah salah satu
merk sepeda motor. Jadi jangan heran kalau ditanya orang Kedu, “Hondamu opo,
Mas?.” Hondaku Yamaha Jupiter. Belum persoalan sanyo yang diartikan sebagai
pompa air, padahal kan tahu sendiri, sanyo itu hanya merk. Numpang mandi, ya
soalnya sanyo di rumah rusak.
Walhasil,
itulah contoh-contoh salah kaprah yang terjadi secara masal dan disepakati oleh
masyarakat, yang berkembang menjadi kosakata bahkan bahasa. Selain itu, ada
kesalahan yang paling fatal bagi saya yang, hal ini akan mempunyai pengaruh
yang luar biasa liar dalam memaknai hidup di dunia ini, yang tentunya serba
matrealistis, pragmatis, spekulatif dan berujung hedonis. (istilah opooooo
kui.)
Adalah
kata Kaya, kaya dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kata benda
atau nomina, yang berarti mempunyai banyak harta, uang banyak. Kebalikannya
adalah miskin. Kata kuncinya adalah harta atau uang, itu sekaligus menjadi
tolok ukur seseorang disebut kaya atau miskin. Sekali lagi, parameternya adalah
uang dan harta.
Lebih
parahnya lagi, di zaman globalisasi kaya begini, kebahagiaan selalu diukur
dengan kekayaan, atau seberapa banyak harta dan uang yang kita miliki, semakin
banyak kesempatan untuk berbahagia. Misalnya kita sedih jika hanya punya hape
jadul, ingin sepeda motor bagus, mobil bagus, rumah besar mewah, dan lain
sebagainya. Semua itu menjadi tolok ukur pada umumnya sebagai representasi
indeks kebahagiaan seseorang.
Ya
wajar saja lah, tiap hari kan kita dicekoki segala jenis produk yang secara
berulang ditawarkan di media-media, mulai dari cetak maupun virtual. Sekali dua
kali nonton gak terpengaruh sih, tapi jika sering kali dilihat dan melulu
seperti itu, niscaya akan terpengaruh juga, dan beli tentunya, pake apa? Ya jelas
pake uang. Kalau tidak punya?. Ya, begitulah.
Saya
lebih sepakat dengan bahasa jawa, yang namanya Sugih adalah tidak butuh. Ini makna
dasariahnya, makna asalnya. Tapi sekarang rasanya hal itu tidak disadari dengan
baik, bahasa Jawa jadi ikut-ikutan dengan bahasa Indonesia yang salah kaprah
itu, dengan mengartikan kata sugih dengan kaya, jadi kata sugih dijadikan
sinonim dengan kaya dalam bahasa Indonesia. Walaupun, seseorang yang kaya
sekalipun belum tentu dikatakan sugih (tidak butuh). Butuh dan tidak butuh ini
adalah sebuah pembedaan yang penting, jadi dalam bahasa Indonesia itu
parameternya adalah harta dan uang, kalau sugih dalam bahasa Jawa parameternya
adalah butuh dan tidak butuh. Jelas, klir.
Jika
tolok ukur yang digunakan adalah butuh dan tidak butuh, kepemilikan harta
bukanlah satu-satunya parameter kebahagiaan. Banyak orang yang kaya raya tapi
hidupnya penuh dengan masalah, seperti sering kawin cerai, anak tidak nurut
sebab broken home, bisnis kacau, dan lain sebagainya. Meskipun hidupnya di
kelilingi oleh kekayaan yang melimpah ruah. Jadi asumsi ini runtuh, kebahagiaan
tidak selalu dilihat dari sebanyak apa seseorang punya harta.
Menurut saya kebahagiaan itu dilihat dari aspek butuh dan tidak butuh, artinya semakin tidak butuh maka semakin bahagia, dan sebaliknya. Oleh karenanya Iwan Fals pernah bilang bahwa “keinginan adalah sumber penderitaan”.
Jika
demikian, orang semiskin apapun kalau tidak butuh, ia akan menemukan
kebahagiaan, dan bisa disebut sebagai orang sugih. Sedangkan sekaya apapun
orang jika ia masih butuh ini dan itu, hakekatnya ia masih belum dikatakan
sugih.
0 Response to "Salah Kaprah"
Post a Comment