Ontologi; Sebuah Pengantar
![]() |
abstraksi keruwetan Ontology sumber gambar |
Ontologi
merupakan cabang filsafat ilmu yang, mempunyai struktur logika paling rumit
dibanding dengan epistemologi dan aksiologi. Oleh karena itu berbicara soal
ilmu (knowledge) dan pengetahuan yang perlu diperhatikan terlebih dulu sebelum yang lain
adalah tentang ontologi, yakni keberadaan sesuatu, apa yang ada, di mana,
bagaimana keberadaan itu bisa diakses oleh indera, dst.
Secara bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani yang disusun dari kata Ontos yang artinya wujud/ada (being) dan Logos yang artinya ilmu. Secara sederhana berarti ilmu yang membahas tentang wujud/keberadaan. Menurut Runes Ontology is the theory of being qua being, yakni teori tentang wujud/keberadaan. Karena demikian, pertanyaan umum yang sering digunakan untuk menjawab problematika ontologis adalah: apa yang bereksistensi (exist)?, apa saja itu?, dan apakah itu nyata (real)?.
Secara bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani yang disusun dari kata Ontos yang artinya wujud/ada (being) dan Logos yang artinya ilmu. Secara sederhana berarti ilmu yang membahas tentang wujud/keberadaan. Menurut Runes Ontology is the theory of being qua being, yakni teori tentang wujud/keberadaan. Karena demikian, pertanyaan umum yang sering digunakan untuk menjawab problematika ontologis adalah: apa yang bereksistensi (exist)?, apa saja itu?, dan apakah itu nyata (real)?.
Contoh
klasik (mulai dari saya sekolah dasar sampai hari ini) yang sering digunakan
adalah saat kita melihat pensil yang dicelupkan ke dalam gelas berisi air, kita
tahu bahwa sesungguhnya pensil tidaklah patah, tapi kenapa mata kita melihatnya
patah?, mungkinkah mata kita tidak jujur dengan akal pikiran kita?, bagaimana
pensil bisa patah seperti demikian?, apa yang terjadi dengan pensil tersebut?. Contoh
lain yang sering juga adalah jalanan aspal yang kita lihat dari kejauahan
ketika terik matahari, kita akan melihat ada genangan air di sana, namun ketika
kita mendekat niscaya air tersebut tidak ada, apa yang terjadi dengan indera
kita?, sedemikian mudahkah indera kita dibohongi seperti demikian?, lantas apa
yang kita lihat?. Semua itu, kata guru kita dulu mengatakan kepada kita sebagai
pemuaian.
Dari
permisalan di atas, merujuk pada diskursus ontologi, apakah yang kita lihat itu ada sekaligus bereksistensi?, kita harus dapat membedakan apa yang disebut ada
dan bereksistensi. Syarat agar dapat disebut sebagai eksis adalah bersifat
publik, artinya semua orang bisa menyaksikan, sekaligus menempati ruang dan
waktu. Peristiwa pensil patah adalah fakta sekaligus ada, semua manusia percaya
kebenaran objektif seperti demikian, tapi pada hakekatnya, secara ontologis itu
adalah fatamorgana, tidak bereksistensi. Seperti halnya ungkapan “aku bahagia”
adalah ada, jika telah diungkapkan dengan perilaku “bahagia” misalnya
tertawa-riang, maka ia telah bereksistensi, sebaliknya jika tidak atau belum
diungkapkan dengan perilaku-perilaku tertentu maka ia hanya ada (being) namun
tidak bereksistensi.
Sampai pada
pembahasan ini, pertanyaan yang mungkin muncul adalah, bagaimana kinerja indera
dan akal kita untuk melihat sesuatu?, apakah ada sesuatu di balik benda yang
kita lihat?, adakan dimensi yang tidak hanya sebatas ruang dan waktu?.
Sebagaimana
disinggung di atas, ontologi mempunyai PR besar yang harus dijawab demi
memuaskan hasrat keilmuan dan pengetahuan manusia, agar pengetahuan tidak
sebatas apa yang bisa dilihat, didengar, dan diraba, tetapi juga mencari
dibalik yang serba inderawi tersebut, tentu dengan model-model dan
karakteristik yang berbeda. Inilah yang disebut hakekat atau esensi. Kata
Sartre “Eksistensi mendahului esensi.” Ini akan memperpanjang dan memperlebar
pembahasan terkait lebih dahulu mana, eksistensi atau esensi. Saya hanya ingin
mengatakan bahwa di balik apa yang kita lihat, selalu ada esensi di balik itu,
ada hakekat yang adi-inderawi.
Agaknya
harus dijelaskan terlebih dahulu di sini, soal esensi, substansi dan aksiden. Esensi
sebagaimana kita bahas tadi yakni hakekat dari sesuatu, substansi adalah wadahnya,
sesuatunya, yakni sebagaimana yang kita lihat, sedangkan aksiden adalah sifat-sifat
yang dimiliki oleh substansi. Njlimet memang, gampangnya begini, gelas
sebagaimana yang kita lihat pada umumnya. Gelas adalah substansi, meskipun
dengan bentuk yang berbeda-beda atau bahan yang berbeda, katakanlah terbuat
dari plastik, kaca, atau tanah liat sekalipun, tetap namanya adalah gelas. Aksiden
adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh substansi, katakanlah ia berwarna putih,
hitam, hijau, dsb. Semua warna-warna itu dimiliki dan melekat pada substansi sebuah
gelas, dengan demikian aksiden tidak bisa dipisahkan dengan substansi, keduanya
saling melekat. Adapun tentang esensi, gelas dilihat dari segi fungsi awalnya,
yakni untuk minum. Meskipun kita bisa saja, gelas tersebut tidak digunakan
untuk minum, katakanlah dipakai untuk pot bunga, gayung mandi, dsb. Tapi kita
tidak akan mengatakan bahwa gelas yang tidak digunakan untuk minum adalah bukan
gelas. Jika terjadi demikian, minimal, komentar kita bisa jadi “Lho, gelas kok
dipakai untuk pot bunga, atau gelas kok dipakai untuk gayung mandi?, dst.”
Dari fakta
di atas, terkait soal esensi, substansi dan aksidensi, agaknya yang lebih bisa
didiskusikan lebih jauh dan lebih njlimet lagi adalah esensi. Kita belum
membahas soal hal tersebut di sini. Di lain kesempatan semoga bisa menjelaskan
di sini secara lebih gamblang terkait esensi atau hakekat.
Post a Comment for "Ontologi; Sebuah Pengantar "