Moralitas Kebaikan dan Keburukan

Semua
problem di atas, meminjam istilah Kant disebut sebagai dilema moral, sebuah
kondisi yang menuntut pelaku untuk bertindak. Dilema moral, bagi saya dialami
oleh semua manusia secara universal, berbagai agama dan kebudayaan manusia
mengalami hal tersebut.
Walau
demikian, manusia jika dilihat dari sisi manusiawinya, secara teoritis akan
menghendaki kebaikan, dan menghindari keburukan, meskipun secara praktek akan
mengalami perkembangan dan keberbedaan. Kita akan masuk ke dalam perspektif
Yunani terlebih dahulu, karena bagaimanapun peradaban Yunanilah yang berhasil
disejarahkan menjadi teks, bahkan berhasil dijaga sampai hari ini.
Sebut
sajalah Socrates, Plato dan Aristotle, ketiga filsuf besar tersebut hegemoni
serta pengaruh dalam perkembangan filsafat masih bisa dirasakan sampai hari
ini. Namun, di antara ketiga tokoh tersebut yang paling mempunyai pengaruh
besar dalam persoalan etika adalah Aristotle, itu merupakan sang peletak batu
pertama, bagaimana kebaikan dan keburukan itu dinilai sekaligus ditindak
lanjuti.
Pertama,
kebaikan adalah segala tindakan yang menimbulkan kebahagiaan. Apa itu
kebahagiaan, dalam terminology Aristotle, kebahagiaan adalah kepuasan.
Misalnya, setelah kita makan, yang kita rasakan adalah kepuasan (kenyang),
dalam kepuasan itu kita merasakan kebahagiaan bahwa perut kita kenyang, dengan
demikian makan bisa disebut sebagai kebaikan. Namun bagaimana bila berlebihan,
Aristotle menambahkan bahwa kebaikan itu berada di tengah ekstrem kanan dan
kiri, yakni pertengahan. Contoh yang paling sering digunakan adalah boros itu
ekstrem kiri, sedangkan kikir ekstrem kanan, oleh karena itu harus mencari
tengah-tengah di antara itu, yakni dermawan.
Sampai
di sini, Nabi pernah mengatakan “sebaik-baik perkara adalah tengah-tengahnya”
sedangkan di dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa “ketika engkau menafkahkan
hartamu sebaiknya jangan boros dan jangan kikir, melainkan tengah-tengah di
antara keduanya.” (al-Furqon: 67).
Agaknya
ada kesesuaian, dan memang ada kesamaan antara pendapat Aristotle dan hadis
nabi bahkan di dalam al-Qur’an, mengingat Aristotle hidup jauh sembilan abad
sebelum kelahiran Nabi dan al-Qur’an. ada kemungkinan bahwa Aristotle adalah
Nabi, yang tidak diceritakan oleh al-Qur’an, sebagaimana di dalamnya mengatakan
bahwa ada rasul yang aku ceritakan kepadamu, dan ada pula rasul yang tidak aku
ceritakan kepada kalian. (an-Nisa: 164).
Ini
hanya kemungkinan lho ya. Nabi sendiri tidak pernah mempelajari filsafat
Yunani. Bahkan di dalam buku-buku sejarah persinggungan Islam dan Yunani secara
keilmuan terjadi di abad sembilan masehi, yang dipelopori oleh al-Kindi dan
kawan-kawan.
Kembali
lagi dalam persoalan kebaikan dan keburukan.
Mengenai
sumber untuk mengetahui bahwa ini baik-buruk atau benar-salah memang tak mudah,
sehingga memunculkan pertanyaan apakah tanpa agama manusia bisa menilai
baik-buruk dan benar-salah?. Jawabannya bisa iya bisa tidak. Jawaban yang tidak
jelas memang. Tapi begini sederhananya, jika perkataan Aristotle itu benar dan
Nabi juga benar, padahal keduanya hidup dalam sejarah yang sama sekali berbeda.
Teks Qur’an dan Nabi pun tidak ada kemungkinan sekecilpun meniru ungkapan
Aristotle di atas.
Lantas,
apa sebabnya antara islam dan Aristotle mempunyai semangat yang sama dalam hal
keseimbangan?. Hemat saya mengatakan bahwa kesesuaian itu bertolak pada nurani.
Memang sulit untuk menjelaskan secara komprehensif persoalan nurani yang
meliputi, atau paling tidak dipengaruhi oleh kepekaan rasionalitas, jiwa, pendalaman
berpikir secara reflektif dan seterusnya. Namun bukan berarti tidak bisa
disederhanakan.
Saya
sangat percaya bahwa islam datang membawa semangat kemanusiaan yang luar biasa,
ia hadir untuk membebaskan belenggu manusia dari ketergantungan oleh materi,
bahwa di balik gemerlapnya materi, terdapat hal yang supra-materi. Oleh karena
itu kebahagiaan tidak bergantung pada seberapa banyak seseorang mempunyai
harta. Jika kebahagiaan dilandaskan dengan banyaknya harta, bukankah Aristotle
tentu tidak menyuruh mengambil jalan tengah antara boros-kikir. Pun islam tidak
menganjurkan untuk bersedekah, bahkan mewajibkan bagi umatnya untuk
mengumpulkan harta yang sebanyak-banyaknya demi kebahagiaan.
Penjelasan seperti demikian tidak cukup sebenarnya, tapi minimal menjadi satu kesimpulan bahwa persoalan baik-buruk atau benar-salah merupakan entitas yang sulit untuk ditentukan dengan ilmu yang eksak seperti rumus-rumus, moralitas tersebut hadir di dalam diri manusia masing-masing yang mempunyai latar belakang berbeda, baik dari agama, ras, suku, dan bahasa yang akan menentukan moralitasnya secara alamiah.
Post a Comment for "Moralitas Kebaikan dan Keburukan"