Moralitas Kebaikan dan Keburukan
Tulisan sebelumnya, telah kita bahas tentang perbedaan Akhlak, Moral dan etika, baik dalam segi bahasa, istilah maupun epistemologi yang digunakan oleh masing-masing terminologi tersebut. Susah rasanya menjelaskan tentang apa itu kebaikan dan keburukan. Sedekah itu baik, tapi jika didasari rasa sombong merendahkan orang yang diberi, bahkan meminta balasan, rasanya kok wagu kalau tetap disebut sebagai kebaikan. Menolong orang juga baik, tapi kalau niatnya dianggap pahlawan rasanya juga tidak wangun. Samalah dengan bohong itu buruk, tapi jika motifnya untuk melindungi nyawa orang lain, rasanya juga aneh kalau disebut sebagai keburukan.
Semua problem di atas, meminjam istilah Kant disebut sebagai dilema moral, sebuah kondisi yang menuntut pelaku untuk bertindak. Dilema moral, bagi saya dialami oleh semua manusia secara universal, berbagai agama dan kebudayaan manusia mengalami hal tersebut.
Walau demikian, manusia jika dilihat dari sisi manusiawinya, secara teoritis akan menghendaki kebaikan, dan menghindari keburukan, meskipun secara praktek akan mengalami perkembangan dan keberbedaan. Kita akan masuk ke dalam perspektif Yunani terlebih dahulu, karena bagaimanapun peradaban Yunanilah yang berhasil disejarahkan menjadi teks, bahkan berhasil dijaga sampai hari ini.
Sebut sajalah Socrates, Plato dan Aristotle, ketiga filsuf besar tersebut hegemoni serta pengaruh dalam perkembangan filsafat masih bisa dirasakan sampai hari ini. Namun, di antara ketiga tokoh tersebut yang paling mempunyai pengaruh besar dalam persoalan etika adalah Aristotle, itu merupakan sang peletak batu pertama, bagaimana kebaikan dan keburukan itu dinilai sekaligus ditindak lanjuti.
Pertama, kebaikan adalah segala tindakan yang menimbulkan kebahagiaan. Apa itu kebahagiaan, dalam terminology Aristotle, kebahagiaan adalah kepuasan. Misalnya, setelah kita makan, yang kita rasakan adalah kepuasan (kenyang), dalam kepuasan itu kita merasakan kebahagiaan bahwa perut kita kenyang, dengan demikian makan bisa disebut sebagai kebaikan. Namun bagaimana bila berlebihan, Aristotle menambahkan bahwa kebaikan itu berada di tengah ekstrem kanan dan kiri, yakni pertengahan. Contoh yang paling sering digunakan adalah boros itu ekstrem kiri, sedangkan kikir ekstrem kanan, oleh karena itu harus mencari tengah-tengah di antara itu, yakni dermawan.
Sampai di sini, Nabi pernah mengatakan “sebaik-baik perkara adalah tengah-tengahnya” sedangkan di dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa “ketika engkau menafkahkan hartamu sebaiknya jangan boros dan jangan kikir, melainkan tengah-tengah di antara keduanya.” (al-Furqon: 67).
Agaknya ada kesesuaian, dan memang ada kesamaan antara pendapat Aristotle dan hadis nabi bahkan di dalam al-Qur’an, mengingat Aristotle hidup jauh sembilan abad sebelum kelahiran Nabi dan al-Qur’an. ada kemungkinan bahwa Aristotle adalah Nabi, yang tidak diceritakan oleh al-Qur’an, sebagaimana di dalamnya mengatakan bahwa ada rasul yang aku ceritakan kepadamu, dan ada pula rasul yang tidak aku ceritakan kepada kalian. (an-Nisa: 164).
Ini hanya kemungkinan lho ya. Nabi sendiri tidak pernah mempelajari filsafat Yunani. Bahkan di dalam buku-buku sejarah persinggungan Islam dan Yunani secara keilmuan terjadi di abad sembilan masehi, yang dipelopori oleh al-Kindi dan kawan-kawan.
Kembali lagi dalam persoalan kebaikan dan keburukan.
Mengenai sumber untuk mengetahui bahwa ini baik-buruk atau benar-salah memang tak mudah, sehingga memunculkan pertanyaan apakah tanpa agama manusia bisa menilai baik-buruk dan benar-salah?. Jawabannya bisa iya bisa tidak. Jawaban yang tidak jelas memang. Tapi begini sederhananya, jika perkataan Aristotle itu benar dan Nabi juga benar, padahal keduanya hidup dalam sejarah yang sama sekali berbeda. Teks Qur’an dan Nabi pun tidak ada kemungkinan sekecilpun meniru ungkapan Aristotle di atas.
Lantas, apa sebabnya antara islam dan Aristotle mempunyai semangat yang sama dalam hal keseimbangan? Hemat saya mengatakan bahwa kesesuaian itu bertolak pada nurani. Memang sulit untuk menjelaskan secara komprehensif persoalan nurani yang meliputi, atau paling tidak dipengaruhi oleh kepekaan rasionalitas, jiwa, pendalaman berpikir secara reflektif dan seterusnya. Namun bukan berarti tidak bisa disederhanakan.
Saya sangat percaya bahwa islam datang membawa semangat kemanusiaan yang luar biasa, ia hadir untuk membebaskan belenggu manusia dari ketergantungan oleh materi, bahwa di balik gemerlapnya materi, terdapat hal yang supra-materi. Oleh karena itu kebahagiaan tidak bergantung pada seberapa banyak seseorang mempunyai harta. Jika kebahagiaan dilandaskan dengan banyaknya harta, bukankah Aristotle tentu tidak menyuruh mengambil jalan tengah antara boros-kikir. Pun islam tidak menganjurkan untuk bersedekah, bahkan mewajibkan bagi umatnya untuk mengumpulkan harta yang sebanyak-banyaknya demi kebahagiaan.
Penjelasan seperti demikian tidak cukup sebenarnya, tapi minimal menjadi satu kesimpulan bahwa persoalan baik-buruk atau benar-salah merupakan entitas yang sulit untuk ditentukan dengan ilmu yang eksak seperti rumus-rumus, moralitas tersebut hadir di dalam diri manusia masing-masing yang mempunyai latar belakang berbeda, baik dari agama, ras, suku, dan bahasa yang akan menentukan moralitasnya secara alamiah.
Post a Comment