Akhlak, Moral dan Etika
Manusia
merupakan satu dari sekian ekosistem yang tak terbatas di muka bumi ini, segala
hal-ihwal yang berkaitan dengan manusia dan kemanusiaan menjadi sebuah misteri
yang selalu segar untuk didiskusikan, dikaji sekaligus dikritisi, terutama
segala perilaku yang berkaitan dengan manusia itu sendiri. Tidak lebay
apabila jarang sekali –untuk tidak mengatakan tidak ada– terdapat keilmuan yang
secara teoritis maupun praktis bisa diterapkan oleh satu komunitas tertentu,
atau satu ketetapan ide secara universal yang disepakati dan berlaku bagi semua
manusia.
Oleh
sebab itu filosof sekaligus sastrawan Rusia yang bernama Dostoevsky (1821-1881)
pernah mengatakan “Manusia adalah misteri. Ia perlu dipecahkan, dan jika itu
kau lakukan sepanjang hayat, jangan katakan kau kehilangan waktu, aku menekuni
misteri itu, karena ingin menjadi manusia.” Kutipan itu menandakan bahwa betapa
rumitnya sistem kemanusiaan dan manusia itu sendiri, baik dilihat dari
perkembangannya secara fisik, psikologis, perkembangan intelektual manusia,
bahkan tindakan dan perilaku manusia itu sendiri. Mungkin selama manusia hidup
di dunia ini, selama itu pula terdapat perkembangan-perkembangan yang terjadi,
dan pengetahuan manusia hari ini belum bisa dianggap final-anti kritik.
Kerumitan
manusia dalam hal ini, salah satunya adalah tentang tindakan dan perilaku
manusia yang dilihat dari sudut pandang baik-buruk. Kebaikan dan keburukan pun
mengalami kompleksitas permasalahan tersendiri, bahwa apa landasan
epistemologis yang digunakan untuk menilai sebuah kebaikan dan keburukan?, hal
itulah yang nantinya mempengaruhi bagaimana sistem akhlak jika dalam agama
Islam, atau moral dan etika, apa pengertian khusus dari term-term tersebut? Di
mana letak perbedaan dan apa sih yang menjadi landasan epistemologi
untuk menilai akhlak tersebut?. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang setidaknya
akan dibahas –meskipun tidak secara tuntas dan terperinci– dalam catatan
berikut ini.
Pengertian dan Perbedaan Akhlak, Moral dan
Etika
Ketiga
term tersebut, secara sederhana merepresentasikan arti dari sebuah tindakan,
perilaku, kebiasaan dan tabiat yang dilakukan oleh manusia, terlepas dari baik
atau buruk . Meskipun demikian, tentu ada perbedaan arti dari ketiga term
tersebut, disebabkan masing-masing dari term tersebut berasal dari bahasa yang
berbeda. Berikut adalah beberapa penjelasan tentang akhlak, moral dan etika.
Pertama, akhlak.
Secara bahasa, akhlak merupakan bentuk jamak dari kata al-Khuluq (bisa
dibaca al-Khulqu) yang mempunyai arti agama (ad-Din), kebiasaan (ath-Thab’u),
dan perangai (as-Sajiyyah), menurut Ibn Mandhur dalam kamus Lisanu
al-‘Arab, Akhlak merupakan bentuk hakiki dari dalam jiwa manusia secara
batin (shuratu al-insan al-bathinah), dari bentuk batin tersebut dapat
mempengaruhi kondisi lahiriyah seseorang, baik itu dinilai sebagai kebaikan
maupun keburukan, artinya akhlak di sini masih netral tidak hanya khusus
digunakan pada kebaikan, tetapi juga keburukan.[2]
Oleh sebab itulah di dalam al-Qur’an terdapat istilah nafsu al-Muthmainnah
dan nafsu al-Lawwamah atau akhlak mahmudah dan akhlak mdzmumah. Lebih
lanjut, karena akhlak merupakan sebuah kebiasaan yang terdapat dari dalam jiwa
manusia, akhlak sarat akan terpengaruhi oleh ide-ide agama, budaya, dan
aturan-aturan yang diberlaku di suatu tempat, baik bersifat temporer maupun
permanen.
Selain
itu, menurut Ibn Miskawaih, akhlak merupakan sebuah tindakan berasal dari dalam
jiwa manusia yang mendorong untuk melakukan suatu perbuatan tanpa adanya proses
berpikir dan memilih (hal li an-nafs da’iyatun laha ila af’aliha min ghairi
fikrin wa la ruwiyyatin.)[3] seperti
marah dan tertawa, kita tidak perlu berpikir terlebih dahulu untuk marah atau
tertawa, keduanya secara tiba-tiba dan mengalir begitu saja. Pandangan seperti
demikian mungkin terkesan bersifat naluriah manusia yang dibentuk oleh kondisi
tertentu. Hal ini juga dijelaskan oleh al-Ghazali bahwa akhlak adalah sifat
yang tertanam di dalam jiwa (haiatun fi an-nafs) manusia yang
menimbulkan berbagai macam perbuatan secara sederhana dan mudah, tanpa
memerlukan pertimbangan dan pemikiran.[4]
Kedua, Moral.
Istilah moral secara bahasa diambil dari kata “mores” yang berarti
kebiasaan, dalam kamus bahasa Indonesia kata moral diartikan sebagai ajaran
perbuatan baik/buruk.[5]
Sedangkan secara terminologi, menurut Aristotle, Moral adalah hasil dari tindakan
yang sudah menjadi sebuah kebiasaan (moral virtue comes about as a result of
habit), sebab itulah moral juga merupakan hasil tindakan dari kebiasaan
secara alamiah yang berulang (continuous).[6]
Lebih spesifik lagi, menurut Abuddin Nata Moral merupakan sebuah istilah yang
dijadikan sebagai penentuan batas-batas baik dan buruk dalam ruang lingkup
masyarakat tertentu.[7]
Sampai
di sini, antara akhlak dan moral terdapat kesamaan yang saling berkaitan,
terutama sama-sama membahas tentang tindakan manusia secara alamiah tanpa
dibuat-buat dan muncul dari sebuah kebiasaan (habit). Secara sederhana,
kebiasaan makan di meja atau lesehan, masyarakat Jawa masih erat dengan budaya
makan lesehan dan tanpa memakai sendok (baca; muluk), sedangkan di
negara-negara Eropa, makan seperti demikian bisa disebut sebagai tindakan yang
tidak bermoral, karena kebiasaan mereka makan di meja menggunakan sendok, garpu,
bahkan pisau. Demikian penilaian tindakan disebut sebagai bermoral atau amoral
sarat akan latar belakang lingkungan dan tradisi yang mempengaruhi.
Ketiga, etika.
Etika merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana
sebaiknya kita hidup, bagaimana sebuah tindakan bisa disebut benar dan salah,
atau baik dan buruk.[8] Menurut
Abuddin Nata, etika merupakan ilmu yang membahas tentang perilaku manusia untuk
menentukan sekaligus menilai baik/buruknya tindakan, yang bersumber dari
pikiran dan logika sekaligus mempertimbangkan aspek keilmuan yang lain seperti
ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, dsb. Dengan demikian etika bersifat
humanitis antroposentris[9] yang
berdasar pada pemikiran manusia sekaligus diarahkan kepada manusia.[10] Menurut
Peter Singer, etika sama sekali tidak bersinggungan dengan agama, baik secara
partikular maupun general, hal ini disebabkan karena etika merupakan fenomena alamiah
yang secara natural dialami oleh semua manusia secara universal.[11]
Dari
penjelasan di atas, menurut saya akhlak, moral, dan etika mempunyai kesamaan,
yakni sama-sama membahas tentang perilaku manusia, sedangkan perbedaannya
terletak pada penilaian (judgment) yang digunakan masing-masing istilah
tersebut. Akhlak dan moral menggunakan dan dipengaruhi oleh lingkungan,
tradisi, bahkan nilai-nilai suatu agama. Lebih khusus lagi, bahwa terminologi
akhlak sering digunakan dalam tradisi agama Islam, sedangkan moral digunakan
dalam tradisi di luar tradisi Islam. Dengan kata lain, akhlak dan moral adalah
sama-sama produk yang bahan-bahannya hasil dari olahan tradisi, lingkungan, dan
nilai-nilai agama. Misalnya, di dunia Barat trend free sex sudah menjadi
hal yang tidak tabu lagi, bahkan dilegalkan oleh Undang-undang negara, di
wilayah timur seperti Jepang juga sudah dilegalkan, namun di negara-negara yang
mayoritas berpenduduk Muslim dan tidak berideologi sekular, tindakan tersebut
masih disebut sebagai tindakan yang tidak baik, bahkan dalam perspektif agama
Islam salah satu dosa besar.
Jika
demikian, lantas bagaimana metode untuk mengetahui kebaikan dan keburukan,
kenapa terdapat perbedaan dalam menilai kebaikan dan keburukan, dari mana
datangnya pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan?. Nah, inilah garapan
etika. Etika membicarakan tentang hal-hal yang bersifat demikian, lebih jauh
lagi menelisik tentang alasan-alasan kenapa dianggap baik-buruk oleh akhlak
maupun moral.
Landasan
Epistemologis Akhlak, Moral dan Etika.
Epistemologi,
atau secara sederhana bisa diartikan sebagai sumber pengetahuan, informasi,
bahkan kebenaran. Dalam konteks akhlak, moral dan etika, kata epistemologi dapat
diartikan sebagai sumber pengetahuan manusia untuk menilai bagaimana sebuah
perilaku bisa disebut sebagai perilaku berakhlak, bermoral, dan beretika.
Sebagaimana
telah dibahas sebelumnya bahwa akhlak dibentuk oleh tatanan masyarakat,
komunitas, dan tradisi tertentu, begitu pula dengan moral yang sarat akan
pengaruh dari ide-ide umum suatu masyarakat tertentu. Namun, akhlak lebih
khusus digunakan dalam perspektif agama Islam, jadi segala hal yang
diinformasikan oleh al-Qur’an dan hadits adalah sebuah tuntunan bagi manusia
menuju akhlak yang baik. Sedangkan moral, yang menjadi sumber informasi dan
pengetahuan tentang baik-buruk lebih kurang sama, yakni menggunakan tolok ukur
norma-norma yang tumbuh berkembang dan berlangsung di masyarakat, yang sarat dipengaruhi
oleh tradisi dan agama.
Selanjutnya,
akhlak dan ilmu akhlak harus dibedakan, bahwa akhlak adalah tindakannya,
sedangkan untuk menilai tindakan itu disebut sebagai ilmu akhlak. Begitu pula
dengan moral dan etika, bahwa moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem yang ada
tentang moral tersebut. Dengan demikian, etika lebih bersifat pemikiran secara
filosofis dan berada dalam tataran konsep yang bersumber dari rasionalitas
logika manusia.[12]
Kesimpulan
Dari
penjabaran singkat di atas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa di antara akhlak,
moral, dan etika mempunyai karakteristik tersendiri di dalam penggunaannya, akhlak
lebih sering digunakan dalam tradisi agama islam dan dipengaruhi oleh landasan
teks agama seperti al-Qur’an dan hadits. Moral lebih sering digunakan untuk
menilai perilaku manusia dengan menggunakan tolok ukur tradisi, norma-norma
yang tumbuh berkembang di masyarakat tertentu. Sedangkan etika merupakan kajian
filosofis untuk mengkaji moralitas dan akhlak tersebut, yang bebas-lepas dari
kerangkeng agama, tradisi, serta norma-norma. Oleh sebab itu , landasan
epistemologi yang digunakan adalah rasionalitas serta logika dengan
mempertimbangkan dari berbagai aspek bidang keilmuan.
Daftar
Pustaka
Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2013
Al-Ghazali,
Ihya’ Ulum ad-Din, juz III, Beirut: Dar al-Fikr, tth.
Hoetomo, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Mitra Pelajar, 2005
Ibn
Mandhur, Lisan al-‘Arab, Kairo, tth
Ibn
Miskawaih, Tahzhibu al-Akhlaq, Beirut: Mansyurat al-Jamal, 2011
Singer,
Peter (ed.), Ethics, London: Oxford University, 1994
W.D. Ross.
Trans. and Introd. The Nicomachean Ethics of Aristotle, London: Oxford
University, 1959
[1] Disampaikan di kelas
Tarbiyah-Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an (STIQ) An-Nur
pada Kamis, 15 Oktober 2015 mata kuliah Akhlak Tasawuf.
[2] Ibn Mandhur, Lisan al-‘Arab,
(Kairo, tth), h. 1245
[3] Ibn Miskawaih, Tahzhibu al-Akhlaq,
(Beirut: Mansyurat al-Jamal, 2011), h. 265
[4] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din,
juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 56
[5] Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), h. 342
[6] The Nicomachean Ethics of Aristotle,
trans. and Introd. W.D. Ross (London: Oxford University, 1959), hlm. 28. Lihat
juga Peter Singer (ed.), Ethics, (London: Oxford University, 1994), h.
27
[7] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 78
[8] Peter Singer (ed.), Ethics…, h.
3
[9] Humanities antroposentris bisa
diartikan sebuah nilai kemanusiaan yang berpusat pada standar perilaku manusia
itu sendiri, mulai dari karakteristik, metodologi, dan logika yang dipakai oleh
manusia yang bersifat lokal, temporal, bahkan universal.
[10] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf...,
h. 76-77
[11] Peter Singer (ed.), Ethics…, h.
5
[12] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf...,
h. 78-79
Post a Comment for "Akhlak, Moral dan Etika"