Terlanjur Jadi Santri

Table of Contents
Santri, satu kata yang saat ini jadi trend hampir-hampir jadi mind stream, itu buktinya tagar ayomondok rame kemaren di medsos, sampai tanggal 22 Oktober diresmikan Kang Jokowi jadi hari santri. Menambah keyakinan masyarakat tentang pentingnya nyantri, Apalagi buat para orang tua yang sudah terlalu  khawatir dengan perkembangan arus tekhnologi yang sedemikian mewabah jadi penyakit bagi yang tidak bisa menggunakan secara bijak *halahhh

Buktinya pesantren-pesantren sekarang, dua tahun ini terutama banyak menolak santri-santri, misalnya di daerah Jogja sajalah, al-Munawwir, Pandanaran, dan An-Nur Ngrukem, sudah berani nolak-nolak santri karena kuotanya sudah penuh. Dulu, pada tahun 2005 ketika saya menjadi santri baru di Ngrukem, masih sangat sepi sekali, satu kelas saya dulu di sekolah saja cuma ada 14 orang (semua sudah hafidh Qur’an loh, saya yang belum. Haha) dan kebetulan saya yang masih mampu bertahan sampai detik ini, ya semata-mata karena saya belum siap untuk pulang ke kampung halaman saja.

Sepertinya, dan memang dalam bayangan saya, jadi santri kalau sudah pulang ke rumah itu hawanya horor-horor gimana gitu. Serius…

Benar sodara!. Belum lama kemaren, saya bertemu dengan kawan yang sudah pulang ke rumah, ya sekarang sudah hampir-hampir jadi Kyai lah. Dan benar, bayangan tetangga-tetangganya, bahkan tetangga desa sebelahnya, santri kalau sudah pulang itu bisa ini dan itu, mulai dari ngurusi jenazah, jujukan orang mumet dan galau, tahlil dan doa, belum lagi kalau ada yang kesurupan, sakit, diganggu dhemit dan sejenisnya. Ngeri… kalau ditanya soal hukum-hukum fiqh dan disuruh ngaji sih tak perlu dibahas, itu sudah pasti…

Tapi ini bukan soal mengaji, dia cerita pengalamannya, bahwa teman saya itu kebetulan pernah dimintai doa oleh salah seorang warga, bapak-bapak yang anaknya sering sakit disebabkan, konon diganggu jin. Padahal teman saya itu selama di pesantren tidak pernah dan blas sama sekali tidak pernah belajar doa-doa tentang itu. Pusing palabebi, dilemma moral, mau ngasih doa apa tidak tahu, caranya bagaimana apalagi, ya kalau sembuh, kalau jinnya pindah gangguan dia?.

Mau tidak mau, teman saya harus melayaninya, dia pura-pura ambil wudlu ke belakang dan keluar masih dalam keadaan basah-basah muka bekas wudlu yang sengaja tidak dikeringkan (saya tahu ini trik untuk menutupi kringat dinginnya) sambil membawa segelas air. Katanya kepada bapak itu, “ini diminumkan sebelum tidur jangan dihabiskan, sisanya dioleskan ke kaki dan ubun-ubun”. Katanya manteppp.

Aku tertawa geli “sek sek sek, kui banyu opo, Ndes?” tanyaku di sela-sela ceritanya. “Air minumlah.” Jawabnya.
“Dongane pie?.” Tanyaku lagi penasaran. “Saya telpun salah satu teman, katanya dibacakan surat alfatihah saja, terus ditiupkan ke air disuruh minum.” Jawabnya.
“Diminum tapi kok kamu nyuruh dioleskan ke ubun-ubun dan telapak kaki?,”
“Lhoo, hanya inovasi saja biar terkesan serius.” Katanya.

Saya ngekek sengekek-ngekeknya…

Terlanjur jadi santri, harus siap, dalam tanda kutip, dalam kurung, cetak tebal miring underline pinter-pinter ngapusi.
 


Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment