Kosongkan Gelas dan Masuklah Kelas
Table of Contents
![]() |
sumber gambar diambil di sini |
Gelas-kelas, secara semantik kedua kata itu sangat rilis,
sama-sama diakhiri s. bagi saya setiap kata yang mempunyai kemiripan bunyi atau
pengucapan, mempunyai keterkaitan yang misterius, dan unsur artistik seninya
itu dapet. Misalnya nih ya misalnya. Rindu-pilu, coba ada gak sih kerinduan
yang tidak memilukan?. Mantan-kenangan,
sesungguhnya kenangan adalah bagian dari mantan. Satu lagi, jomblo-melongo.
Hayo, siapa jomblo yang tidak melongo?, ketahuilah sesungguhnya hanya
para jomblo yang hari-harinya penuh dengan ke-melongo-an yang banyak
sedihnya dari pada bahagianya. (Tapi semoga banyak syukurnya. Minimal syukur
karena masih bisa memilih)
Kembali ke gelas dan kelas. Well, baik, ok, mulai dari saya.
Ini beberapa kali terjadi dan saya sendiri sering mempraktekkan, soal saya dan
ruang kelas, kelas di sini bisa berupa kelas di kampus, kelas di pesantren dan
pengajian, kelas disukusi, kelas dalam acara seminar-seminar. Gampangnya,
segala ruang yang membahas tentang pengetahuan dan keilmuan.
Terkadang, sering kali hal-hal yang berbau tentang pengetahuan/keilmuan
itu tidak benar-benar baru dalam pengetahuan kita, karena pada dasarnya tidak
ada hal yang benar-benar baru di dunia ini, melainkan pengulangan sejarah dan
perkembangan sejarah sekaligus pemaknaan kembali tentang sejarah. Walhasil, pengetahuan
kita itu cuma muter-muter di antara sejarah dan budaya, dalam lebih arti luas
tentunya.
Lebih penting dari hal tersebut, meskipun pengetahuan dan
keilmuan hanya muter-muter di ruang sejarah dan budaya, ternyata
kapasitas kepala kita juga tidak lebih besar dari sebuah gelas, dibandingkan
ember tentunya. Karena ternyata, pengetahuan kita tidak bisa mendeskripsikan
satu hal saja secara terperinci, jelas, sekaligus mutlak benar. Kalau tidak
percaya, misalnya rambut, kenapa di kepala namanya rambut, bukan bulu, di bawah
hidung (di atas bibir) namanya kumis (cekungan di bawah hidung dan di atas
bibir namanya apa sih? Aku gak tahu, serius), rambut di dagu namanya
jenggot, di tangan di kaki namanya bulu, dan rambut di sebelah “situ” namanya
juga “nganu”, kenapa di dunia ini menggunakan bahasa yang berbeda hanya
persoalan mengenai rambut, bagaimana perkembangan pertumbuhan bulu-bulu dan
rambut itu, lintas budaya, lintas bahasa, Negara, bahkan agama. Hayo?. Menjawab
segala kerumitan itu, mungkin harus dibuka terlebih dahulu jurusan kedokteran
spesialis rambut, atau biar lebih spesifik lagi, rambut yang di sebelah mana.
Nanti kalau ditanya orang, kedokteran spesialis rambut apa? Rambut yang di
sebelah “sini” (nunjuk ke suatu tempat).
Itu hanya sebuah contoh betapa rumitnya sistem pengetahuan
sekaligus keilmuan. Maaf kalau terlalu muter-muter, semata-mata hanya biar
terkesan lebih banyak.
Kembali lagi ke gelas dan kelas, Saya ingat petuah,sabda,
dawuh guru saya, Rumaizijat “musuhnya ilmu adalah orang yang sombong”.
Makjlebbb. Dada saya seperti ditusuk-tusuk tanpa kuasa untuk membalas. Sakitnya
itu lebih nyesek dari ingatan sama mantan (Halahh). Jadi hepotesa saya,
penyebab kenapa ilmu tidak bisa menyatu dengan diri saya dan gagal paham semata-mata
karena saya sombong, duhdeekkk… ternyata saya rumongso pinter dan rumongso
iso sebelum belajar lebih dalam lagi.
Logika saya mengartikan sabda itu dengan sebuah analogi, bahwa
pengetahuan, terlebih keilmuan adalah sesuatu yang luhur, agung sekaligus
mulia. Karena luhur dan agung tempatnya adalah di tempat yang lebih tinggi.
Sombong juga demikian sama, adalah sikap merasa besar, merasa orang lain tidak
lebih baik dari diri sendiri, lebih tinggi, dan meremehkan hal-hal menjadi
sepele. Ilmu dan saya ibarat dua gunung, tidak akan bisa bertemu, kecuali ada
flying fox antara dua gunung itu, dan sepertinya tidak mungkin. Sebagaimana
air, semakin rendah suatu tempat akan memperoleh air paling banyak, sebaliknya
jika semakin tinggi tempat akan memperoleh air yang sedikit.
Kesimpulannya adalah, saat kita sama-sama masuk kelas,
sebaiknya kosongkan dulu gelas kita, sekosong-kosongnya agar kita juga
mendapatkan air yang sesuai dengan kapasitas gelas yang kita bawa. Kalau kita
tetap membawa gelas berisi air, akibatnya kita akan mendapatkan air yang
sedikit pula, atau kalau tidak malah tumpah kemana-mana karena overload. Kita
harus menempatkan diri serendah-rendahnya, semata agar memperoleh air yang
sebanyak-banyaknya, kita semua mempunyai kapasitas keilmuan yang berbeda, dan
tidak semua keilmuan yang kita miliki itu benar adanya, bahkan jauh dari mutlak
benar.
Oleh karena itu, diamlah sejenak dan berilah orang lain
kesempatan untuk berbicara, maka di sana akan kita temukan kebenaran, kebaikan,
pengetahuan, sekaligus keilmuan yang belum kita pahami. Dan yang lebih penting
lagi adalah, terbukalah kepada orang lain, jangan tergerus ingatan sama mantan…
#ehhh
Post a Comment