Ads #1

Berprasangka Baik Kepada Allah (Aforisme Hikam 40)

ان لم تحسن ظنك به لأجل حسن وصفة فحسن ظنك به لوجود معاملته معك فهل عودك الا حسنا وهل أسدى اليك إلا مننا
Jika engkau tidak mampu berprasangka baik kepada Allah atas keagungan sifat yang dimiliki-Nya, maka berprasangka baiklah kepada Allah dengan melihat sikap-Nya yang selalu baik kepadamu. Tidakkah Allah membiasakan diri-Nya kepadamu selalu dengan kebaikan?, dan tidakkah Allah memberikanmu banyak anugerah?.
Husnu dhann (berprasangka baik; positive think) merupakan salah satu tema yang menjadi konsentrasi penting bagi tasawuf, di samping itu, positive think juga terdapat hubungan yang erat atau paling tidak, berpengaruh dengan ilmu psikologi. Namun sebelum masuk ke dua pembahasan tersebut, saya ingin menggaris bawahi aforisme Hikam yang ke 40 ini dengan pandangan filosofis.



Pertama, Mbah ‘Athaillah sangat tepat dalam penyelidikan tentang dzat Tuhan dan hakekat diri manusia. Ada dua opsi yang ditawarkan oleh Mbah ‘Athaillah, yakni positive think kepada Allah karena memang sejatinya di dalam dzat maupun sifat-Nya Allah itu baik kepada semua makhluk, namun itu tidak mudah dan tidak semua orang bisa mengetahui hal tersebut melalui totalitas kesadaran yang all in. karena kesulitan tersebut.

Mbah ‘Athaillah menawarkan opsi kedua dengan menyadari dan refleksi kembali kepada diri sendiri, bahwa selama ini Allah selalu memberikan kebutuhan secara proposional kepada para makhluk, tanpa mengharapkan apa-apa dari makhluk tersebut. Kuncinya di sini adalah peranan diri.

Berbicara soal diri, seorang tokoh filsafat metafisik kelahiran yang sama dengan Joda akbar yakni Muhammad Iqbal pernah mengatakan di dalam bukunya The Reconstruction of religious Thought in Islam bahwa Diri adalah suatu perubahan sensasi, perasaan, dan afeksi yang terus-menerus dan konstan. 

Bahasa ringannya adalah di dalam diri terdapat pergantian tanpa perubahan.

Agak membosankan memang pembahasannya, tapi begini, diri kita itu pastinya pernah mengalami kesadaran (awareness; eling. bukan sekedar sadar melek dan tidak tidur), tapi intensitas kesadaran itu pastinya tidak terus-menerus, melainkan hanya bertahan beberapa menit, bahkan beberapa detik, setelah itu lupa (ghaflah kalau dalam istilah tasawuf). 

Nah, posisi sadar dan ketidaksadaran itulah yang dinamakan pergantian (sensasi, perasaan, afeksi), sedangkan kesadaran itu sendiri tetap pada posisinya alias tidak berubah. Ini sama jika kita merasakan enak dan tidak enak, itu adalah perubahan sensasi saja, tapi rasa enak itu sendiri tidak berubah, meskipun masing-masing individu berbeda mendefinisikan rasa enak tersebut. 

Sampai di sini saja, kita kembali ke maqalah Mbah ‘Athaillah lagi dengan menggunakan kaca mata Iqbal.

Sulit memang, untuk mengupayakan diri agar tetap dalam posisi sadar, karena semakin diupayakan akan semakin bertentangan dengan logika dan rasionalitas kita sebagai manusia. 

Selama ini kita di lembaga pendidikan formal selalu dicekoki dengan berbagai analisis dan teori yang membabi buta dengan istilah logis, rasional, yang justru akan menjebak kita ke jurang spekulatif. Lalu alpha terhadap apa yang disebut sebagai intuisi, yang justru memberikan kita kekayaan kesadaran dan intelektual yang lebih besar dan konkrit.

Kedua, melalui maqalah di atas, Mbah ‘Athaillah agaknya membagi tingkatan/kelas seseorang menjadi dua tingkatan dalam berprasangka baik kepada Allah. Pertama adalah kelas VIP (khash), yakni seseorang berprasangka baik kepada Allah karena memang ia tahu bahwa Allah dengan segala dzat dan sifat yang dimiliki itu baik.

Oleh sebab itu apapun yang dilakukan oleh Allah pasti baik, karena pada dasarnya memang baik. Ini sanada seperti pandangan seorang santri kepada Kyai, saking hati-hatinya santri dengan ketawadhuannya melihat kyainya berbuat kurang tepat bahkan salah menurutnya, maka santri tersebut akan membuat takwil bagaimana caranya agar kyainya itu tidak salah, walhasil muncullah kata “itu bukan tingkatan kita” (padahal kyai juga manusia, ya. Dan pasti pernah salah), 

Bahkan putra-putra kyainya (Gawagisnya) jika berbuat salah dan tidak sesuai pakemnya, maka santri tersebut pun menakwilkan perbuatan tersebut agar tidak salah, lalu muncullah kata-kata “Gus itu lagi jadzab, jangan digunjing nanti kuwalat.” Ini baru kyai atau gus yang berhak dan pasti salah, sedangkan Allah?.

Tingkatan kedua adalah kelas ekonomi (‘amm) yakni seseorang berprasangka kepada Allah melalui bantuan diri atau menyadarkan diri melalui usaha kontemplatif dengan melihat apa yang diperlakukan Allah kepada kita selama ini, pasti penuh dengan kebaikan. 

Tak perlu jauh-jauh, kita hitung saja nikmat Allah yang diberikan kepada kita selama satu menit saja, lalu ditulis. Niscaya sampai kiamat kurang sehari, tak akan pernah habis ditulis. Ini kelas saya, yang belum bisa mengenal Allah sebagaimana hakekat kebaikan yang dimiliki, jadi masih butuh bantuan untuk menyadarkan diri. 

Orang-orang kelas VIP tidak perlu berupaya demikian, sebab mereka sudah mampu menghadirkan Allah dalam setiap napas dan perilakunya sehari-hari.

Terus kalau udah bisa berprasangka baik kepada Allah, gunanya untuk apa?. Saya masih mikir, iya ya terus mau ngapain, Allah juga tidak butuh dihusnudhani kok, beda sama kita, yang jelas-jelas buruk tapi pengennya dianggap baik sama orang lain, sikap rendah hati kita saja agar dianggap orang rendah hati, kan?
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Berprasangka Baik Kepada Allah (Aforisme Hikam 40)"