Sejarah Transformasi Masyarakat Barat dari Nalar Agama ke Nalar Sains
Table of Contents
Pendahuluan
Bicara tentang
agama dan sains, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa sains memiliki
relasi negatif terhadap agama, khususnya di Eropa semenjak abad pertengahan
hingga pada era modern sekarang ini. Di sisi lain wilayah agama dan sains
masing-masing terpisah satu sama lain, bahkan pertarungan tidak berujung dari
keduanya.[1]
Sehingga isu-isu seperti demarcation sains dari agama sangat ramai
menjadi tema-tema diskusi.
Sains yang
merupakan kreasi dan produk manusia mampu menembus batas ruang dan waktu, ia
terus berkembang tanpa henti sejalan dengan kehendak dan hasrat manusia yang
terus menginginkan hidup berkenyamanan dengan lingkungannya. Semuanya dapat
terpenuhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang begitu pesat, yang berakhir pada peniscayaan terhadap rasio
membuat manusia memandang dan menghadirkan dunia dengan segala persoalannya
sebagai realitas yang sederhana, dan harus ditundukkan guna memenuhi hasrat
hidup manusia, hingga hukum-hukum alam dan teori-teori pun bermunculan. Hal ini
terjadi melalui sejarah yang panjang, bermula dari kemajuan Imperium Romawi
kuno, hegemoni gereja yang menimbulkan trauma persepsi, berlanjut pada pengaruh
kemajuan peradaban Islam dan terjadinya transformasi menciptakan kebangkitan
Eropa menuju apa yang dikenal dengan renaissaince, hingga pada akhirnya
Francis Bacon (1561-1626) mengatakan “Knowledg is Power”[2]
Mungkin dengan
judul seperti di atas, transformasi masyarakat Barat dari nalar agama ke nalar
sains merupakan judul yang sangat menggelikan, dengan mengindikasikan bahwa
hubungan antara agama (Kristen) dan sains di barat pernah mengalami konfrontasi
yang sangat luar biasa, sehingga adanya transformasi. Ya, memang demikian
adanya. Dan inilah yang akan penulis fokuskan diskusi ini dengan memaparkan faktor-faktor
apakah yang melandasi masyarakat barat dalam melakukan transformasi, apakah
agama sudah dianggap tidak relevan sehingga ditinggalkan?.
Peran Agama di
Barat Pra-Renaissance (Abad 5-17 M)
Sejarah Eropa dimulai
kegemilangan Romawi (dilihat dari kekuasaan dan kerajaan) dan Yunani (munculnya
para filosof seperti Socrates, Aristotle, dan Plato), menjadikan Eropa sebagai
cahaya dunia masa lalu. Pada kejayaannya, kemakmuran begitu dirasakan dan perkembangan
ilmu pengetahuan begitu pesat. Hingga pada puncaknya mengakibatkan pola hidup
bermewah-mewahan di kerajaan-kerajaan dan seiring berjalannya waktu, kerajaan
dan kepentingan rakyat mulai ditelantarkan, dan imperium Romawi menuju
kehancurannya, kehilangan adi adayanya lagi, runtuh ditaklukkan di tangan Odoaker
dari suku Jerman pada tahun 476 M.[3]
Seiring dengan penaklukkan itu, disertai dengan banyak terjadinya pemusnahan
bangunan yang tidak terurus lagi, perpustakaan yang dimiliki oleh Romawi juga
turut hancur, serta harta karun yang pernah tercipta mahal harganya lenyap,
mulai dari karya Alexsander, Julius Caisar atau Marcus Aurelius, serta karya
para pemikir besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Cicero, Homer, Euclid
atau Galen, segala bukti kegemilangan masa lalu hilang. Terkubur kegalapan
selama 1.000 tahun lamanya. Diganti dengan masyarakat anarki terbelakang dan
brutal. Hal ini berdampak rakyat makin melarat, orang jahat hidup bebas, bahkan
banyak mitos-mitos yang berkembang, keterbelakangan Eropa makin menunjukkan
keterpurukanannya.[4]
Setelah
penaklukan itu, saat kondisi masyarakat Eropa yang masih belum stabil akibat
kekalahan, kemudian datanglah agama Kristen pada abad 4-5 M. dengan
ajaran-ajaran kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia dengan memberikan siraman-siraman
rohani kepada masyarakat yang secara psikologis kekurangan daya spiritual untuk
menenangkan psikologi orang kalah, sehingga perkembangan agama Kristen pasca
kekalahan Romawi sangat berkembang dengan pesat.[5]
Setelah
datangnya Kristen, masyarakat Eropa mulai belajar dari kegagalan Romawi tentang
kemajuan ilmu pada saat itu, namun menanggalkan aspek religiusitasnya. Sehingga
muncullah anggapan bahwa jawaban dari kegagalan-kegagalan Romawi adalah karena
meninggalkan agama sebagai landasan logika dan spiritual.
Setelah
anggapan bahwa agama lebih penting dari ilmu, hegemoni gereja mulai masuk
dengan mudah dan menggunakan doktrin-doktrin agama untuk menentang dan menolak
fakta-fakta ilmiah yang dianggap bertentangan dengan Bible, tidak hanya itu, di
dalam ranah kebijakan politik negara pun tidak lepas dari campur tangan gereja,
dan sampai puncaknya dengan agama Kristen menjadi agama resmi negara. Hal ini
sampai berabad-abad lamanya, lebih dari 1000 tahun bangsa Eropa terkungkung
dalam hegemoni gereja yang terkenal dengan sebutan abad kegelapan tanpa
kemajuan ilmu pengetahuan.
Dari hegemoni
tersebut memunculkan banyak sekali permasalahan yang terjadi di masyarakat
dalam berbagai lini kehidupan secara berlebihan. Zaman kegelapan Eropa yang
begitu lama dirasakan menjadikan para martir tergugah untuk memperbaiki
peradaban Eropa. Hingga nantinya muncul para penggagas reformasi gereja,
seperti Peter Waldo, kaum Albigen, Santo Francis, John Wyclife dan pada
akhirnya Martin Luther yang membelah Eropa menjadi dua, Protestan dan Katolik.[6]
Era kegelapan
ini berada pada puncak konfrontasinya yakni pada awal abad 17. Ketika hukuman
yang dijatuhkan Gereja kepada Galileo Galilei (1564-1642 M) yang mengembangkan
teori Copernicus (1473-1543), disebabkan penyempurnaan teori Heliosentris dengan
teleskop yang mengatakan bahwa Bumi mengelilingi matahari, teori ini
bertentangan dengan pandangan bible yang berpandangan bahwa matahari yang
mengelilingi bumi (Geosentris).[7]
Teori ini sudah dianggap mapan (established) sejak Aristotle menganggap
demikian, jadi lebih kurang 15 abad masyarakat Eropa mengugemi kesalahan teori
Geosentris tersebut.
Dengan
demikian, sejak kekalahan Romawi atas penyerangan suku Jerman dan disusul
dengan masuknya agama Kristen di Eropa sampai abad ke 17, bisa dikatakan nalar masyarakat
Eropa adalah nalar gereja yang membatasi aktifitas-aktifitas ilmiah, jadi lebih
kurang selama 12 abad, masyarakat Eropa terkungkung dalam hegemoni gereja atas
segala urusan hal-ihwal masyarakat Eropa.
Era Renaisance,
Tranformasi Nalar Agama ke Nalar Sains
Dari masa-masa
keterpurukan dan kegelapan intelektual di atas, maka melalui proses yang sangat
panjang, masyarakat Eropa benar-benar tidak berkembang secara pemikiran. Namun sebenarnya
sebelum abad 17 sudah mulai adanya kesadaran para tokoh-tokoh Eropa pada saat
itu untuk menumbuh-kembangkan kebudayaan dan intelektualitas bangsa Eropa, seperti
Charlemagne (742-814), Alfred The Great (871-901) dan Frendrick II (1194-1250)
yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, ia menerjemahkan buku-buku yang relatif
banyak, terutama karya Ibn Rusyd, Ibn Sina dan karya Aristoteles.[8]
Pada abad ke
10 M sudah bermunculan sekolah-sekolah dan universitas di berbagai belahan
Eropa, dan makin meningkat pesat pada abad ke 12. Yang paling memiliki
konstribusi dalam memajukan peradaban Eropa saat itu adalah Universitas Salerno
dan Bolonga pada tahun 1088, Universitas Paris pada tahun 1150, Universitas
Napoli pada tahun 1224, hingga pada abad ke 13, nyaris semua ilmu Islam sudah
diterjemahkan ke Eropa, melalui Islam Andalusia. Hal ini juga tidak menutup
kemungkinan adanya proses interaksi antara Eropa dan Islam yang berada di
Andalusia, Spanyol yang pada saat itu islam memang berada pada puncak peradaban
yang maju dari sisi intelektual dan peradabannya. Sebab pasca kekalahan
Byzantium oleh Turki Ottoman (1453) banyak orang Byzantium yang lari ke daerah
Eropa, terutama ke Italia.[9]
Pola pikir Eropa
yang awalnya bersandar pada dogmatism, doktrin agama dan hegemoni gereja, maka
setelah adanya renaissance paradigma tersebut berubah, dan memunculkan karakter
pola pikir di kalangan Eropa. Pertama individualisme, yaitu
menguatkan kepentingan pribadi atas kepentingan umum. Kedua, Sekularisme,
yaitu sikap mengutamakan dunia dan menolak kungkungan gereja, sehingga muncul
sebuah ungkapan “Pisahkan agama dan negara”[10]
Ketiga adalah rasionalisme adalah paham yang menyatakan segala kebenaran
harus berdasarkan pada akal sehat, tidak lagi berdasarkan akan ketetapan gereja
dan Bible. Rasionalisme ini dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang
secara terang-terangan menolak anggapan tentang kemukjizatan agama. Yang
memungkinkan adalah proses intelegensi dan rasionalitas manusia untuk memahami
kejadian-kejadian alam.[11]
Keempat, Materialisme, yaitu paham yang mengutamakan masalah kebendaan,
serta penilaian kebenaran bersandarkan pada panca indra saja, dengan
konsekwensi logis agama yang bersumber pada dogma wahyu Tuhan tertolak. Kelima,
Skeptitisme, yaitu tidak mudah mempercayai apa yang dilontarkan orang
lain, termasuk agama sekalipun, tanpa mengajukan pembuktian yang kongkrit dan
rasional.
Dari kelima karakter
pola pikir pada zaman renaissance di atas, yang paling panjang diskusinya
adalah tentang sekularisasi yang ingin memisahkan agama dari sains. Ajaran
renaissance ini kemudian meluas ke seluruh Eropa dan menimbulkan tranformasi
perubahan yang merubah keadaan Eropa menjadi cerah, keluar dari masa kegelapan.
Namun sesungguhnya apa yang terjadi dari aliran paham di atas sangat erat
kaitannya dengan metode berfikir, terutama yang terkait dengan epistemologi
ilmu.
Dengan
epistemologi ilmu yang dimulai dari teori Yunani dengan deduktif/rasional, kemudian
beralih ke induktif/empirisisme, kemudian datang Kant dengan sintesisme antara
rasio dan empiric, dan disusul dengan kritik-kritik oleh tokoh filsafat setelah
itu. Walhasil, pada era abad 17-18 Eropa sudah benar-benar mengalami
masa pencerahan dan kembali bergelut dengan sains dengan segala retorika dan
pertentangan antara pemikir satu dengan yang lain, sampai hari ini di era
postmodernisme.
Berdasarkan
fakta sejarah di atas, maka bisa diambil beberapa kesimpulan latar belakar
penyebab terjadikan kemajuan bangsa Eropa adalah sebagai berikut:
1.
Transfer besar-besaran ilmu pengetahuan dari peradaban-peradaban terunggul,
Romawi dan Islam, baik melalui adanya perang salib, Dinasti Turki Utsmani dan atau juga adanya budaya Andalusia di Eropa.
2.
Pergeseran Epistemologi dalam metodologi ilmu pengetahuaan, yang awalnya
hegemoni dokrinasi agama, dan rasionalis deduktif, menjadi induktif, dengan
menitik beratkan pada pengalaman indra sebagai dasar ilmu pengetahuan, lalu
sintesisme antara deduktif dan induktif, dan kritik-kritik filsafat setelah
masa itu, terutama Augus Comte dengan teori positivismenya.[12]
3.
Masuknya orang orang berkwalitas tinggi ke Eropa, hal ini dikarenakan
jatuhnya Kostantinopel mendorong orang-orang cerdas Yunani berimigrasi
besar-besaran ke Italia dan mampu mewarnai Eropa.[13]
Kesimpulan
Selama berabad-abad
kebudayaan intelektual masyarakat Eropa dibatasi oleh hegemoni gereja yang bisa
dikatakan tidak menghormati ilmu pengetahuan, temuan-temuan teori sains yang
dicetuskan oleh para pemikir Eropa pun selalu mengalami konfrontasi yang sangat
menyedihkan ketika berbeda dengan Bible yang dianggap sebagai kebenaran yang
absolut, sehingga tokoh-tokoh seperti Copernicus, Galileo mengalami nasib yang
mengenaskan, dan menjadi fakta sejarah yang sangat tragis.
Dengan sejarah
kelam tersebut masyarakat Eropa mulai mempunyai kesadaran untuk membangkitkan
kembali kebudayaan intelektual yang dulu pernah jaya pada zaman Socrates dengan
cara mempelajari kebudayaan-kebudayaan lain yang pada waktu itu telah mapan dan
berkembang, seperti Islam dinasti Turki dan Andalusia Spanyol. Ilmuan Eropa
mulai menerjemahkan karya-karya seperti Ibn Rusyd dan Ibn Sina. Perubahan dari
nalar agama ke nalar sains inilah yang disebut sebagai zaman pencerahan, zaman renaissance
yakni pada awal abad 17.
Daftar Pustaka
M. Lapidus, Ira, Sejarah
Sosial Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1989
Doyle Paul
Johnson, Teori
Sosiologi Klasik dan Modern, Terj., Robert M.Z. Lawang, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1994
Nasution, Harun,
Islam
ditinjau dari Berbagai Aspek, vol. I, Jakarta: UI Press, 1985, cet.
V
Hanafi, Ahmad Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta: PT.Bintang Bulan, 1996
The History of Science and religion in western tradition an encyclopedia, ed. Garry
Ferngren.
Laksono, Eko Imperium
III, Zaman Kebangkitan Besar, Jakarta:
Hikmah, 2010
Kaergaard, Patterns
in Graeco-Roman and Western Civilizations,. File pdf diunduh dari http://rudar.ruc.dk/bitstream/1800/8987/4/PatternsintheGraeco-RomanandWesterncivilizations.pdf
Bertrand
Russel, Sejarah
Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno
Hingga Sekarang (terj.), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Cet.
III
North
Whitehead, Alfred, Science and the Modern Word, New
York: The Free, 1967. Terj, Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sains dan Agama dari Konflik ke
Dialog, 2004
[1] Alfred North Whitehead, Science
and the Modern Word, New York: The Free, 1967. Terj, Fransiskus
Borgias, Perjumpaan
Sains dan Agama dari Konflik ke Dialog, 2004, halaman, xvii.
[2]Seorang filosof Inggris yang terkenal sebagai
pelopor empirisisme yang mengembangkan epistemologi induktif dengan menggeser
metode deduktif. Lebih lengkapnya lihat Bertrand Russel, Sejarah
Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno
Hingga Sekarang (terj.), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet.
III,
hlm. 711.
[3] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya…., .hlm.
3-387.
[4] Selengkapnya lihat Jakob Kaergaard, Patterns
in Graeco-Roman and Western Civilizations, hlm. 77. File pdf
diunduh dari http://rudar.ruc.dk/bitstream/1800/8987/4/PatternsintheGraeco-RomanandWesterncivilizations.pdf
pada 23 April 2014
[5] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat…. hlm. 409-414
[6] Eko Laksono, Imperium III, Zaman
Kebangkitan Besar, (Jakarta: Hikmah, 2010), hlm. 36
[7] Ini termasuk ke empat isu klasik
yang dijelaskan oleh Richard J.Blackwell dalam The History of Science and religion in western tradition an encyclopedia, (ed. Garry Ferngren.) hlm. 98. Keempat isu
klasik tersebut adalah (1) Teori Heliosentris Nicholas Copernicus
(2) standarisasi penafsiran digunakan
untuk memahami makna dan
kebenaran
Alkitab; (3) peristiwa
sejarah pada tahun 1616, pihak gereja mengeluarkan fatwa Copernicanism sebagai suatu kesalahan; dan (4) Putusan sidang Galileo pada tahun
1633
[8] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam,
(Jakarta: PT.Bintang Bulan, 1996), hlm. 192
[9] Harus Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspek,jilid
I, (Jakarta: UI Press, 1985, cet. V), hlm. 77.
[10] Doyle Paul Johnson, Teori
Sosiologi Klasik dan Modern, Terj., Robert M.Z. Lawang, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 242-243
[11] Robert M.Bruns, Miracles dalam The
History of Science….,
hlm. 80
[12] Federick Suppe, Epistemology, dalam
Gary B.Ferngren, The History …, hlm. 27-33
[13] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian
kedua (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1989), hlm. 469.
Post a Comment