Gender Dari Berbagai Perspektif: Review atas buku Wacana Pengarusutamaan Gender
(Review atas buku berjudul Wacana Pengarusutamaan Gender Perspektif Teoritis, Historis, Sosial, Bahasa, Tafsir dan Hukum, Idea Press: Yogyakarta, 2011)
Kata Gender di dalam kehidupan sosial belum dikenal secara holistik dan cenderung bersifat parsial. Banyak yang berasumsi bahwa gender adalah sama dengan jenis kelamin. Padahal, gender adalah sebuah konsepsi yang dibentuk oleh kebudayaan sekaligus untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi sosial dan budaya.
Buku yang berjudul Wacana Pengarusutamaan Gender yang ditulis oleh Gugun elGuyani, Abdul Mustaqim, Habib Kamil, dan M. Luthfi Hamid merupakan bagian dari respon atas isu-isu gender yang sudah mengglobal di seluruh dunia, yang kemudian masyarakat negara Indonesia pun mengapresiasi dan berpartisipasi dalam menanggapi isu tersebut. Walhasil, Undang-undang yang diberlakuakan pun sedikit banyak mengalami perubahan yang signifikan.
Sesuai dengan judulnya, buku tersebut mengeksplorasi gender dengan segala teorinya menggunakan perspektif teoritis, historis, bahasa, tafsir, dan hukum. Menurut saya, mayoritas pembahasan di dalam buku tersebut lebih banyak berkutat di dalam isu-isu yang berkaitan dengan agama islam, yakni teks dan segala produk tafsir yang sudah ada. Teori dekonstruksi yang dikemukakan di dalam buku tersebut bisa dikatakan membuka lebar pemikiran-pemikiran yang telah diwariskan oleh para tokoh mufassir terdahulu.
Untuk pembahasan yang lebih sistematis, saya akan menjelaskan secara kronologis terkait perspektif yang digunakan untuk membedah konsepsi gender di dalam buku tersebut.
1. Perspektif teoritis.
Di dalam perspektif teoritis ini, lebih banyak menjelaskan tentang konsepsi dasar yang secara umum sudah menjadi mind set di dalam masyarakat pada umumnya.
Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan sepenuhnya bukan bersifat kodrati dari lahir, melainkan dibentuk oleh sosial masyarakat yang melingkupinya, oleh sebab itu ada beberapa stereotype yang terkesan menyudutkan kaum perempuan pada umumnya, misalnya tentang pekerjaan bagi perempuan dan laki-laki, pendidikan yang diperoleh antara mereka.
Oleh sebab itu, di dalam perspektif teoritis ini sangat diperjelas atas perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrati dan sosial. Mana yang bisa diubah, dan mana yang tidak bisa diubah.
Penegasan antara konsepsi gender dan seks sangatlah menjadi dasar untuk pemikiran selanjutnya, apabila tidak bisa membedakan antara istilah seks dan gender, maka analisis atau pemikiran selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang klise.
2. Historis
Sejarah perempuan di masa-masa dahulu memang terkesan eksploitatif, misalnya kebudayaan jahiliyah arab yang menyingkirkan perempuan ketika dalam keadaan menstruasi, lelaki yang bisa mempunyai istri tanpa batasan-batasan, di dalam kebudayaan hindu misalnya perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya, maka ia akan ikut dibakar (ngaben), di indonesia sendiri di tahun 70-an, perempuan tidak mempunyai hak memilih wakil rakyat, dan pendidikan yang sangat terbatas bagi kaum perempuan.
Dalam perspektif historis inilah kemudian dekonstruksi paradigma yang demikian harus dilakukan, dengan cara kritik historis bahwa secara historis-faktual perempuan memang pernah mengalami penindasan yang tidak berdasar yang didukung oleh kebudayaan yang melingkupinya.
3. Sosial
Pada kehidupan sosial merupakan hal yang sangat mempengaruhi di dalam membentuk mindset masyarakat. Oleh sebab itu bisa dikatakan apabila keadaan sosial masyarakat membenarkan adanya relasi laki-laki perempuan yang bersifat patriarkhi, maka secara tidak langsung itu akan mempengaruhi sekaligus membentuk mindset dan paradigma masyarakat tersebut.
Dengan teori gender inilah kemudian digunakan untuk mengidentifikasi kebuadayaan sosial masyarakat tersebut yang terkesan menyubordinatkan kaum perempuan.
Kebudayaan tersebut akan tetap selamanya demikian bila tidak ada usaha untuk mengubah mindset masyarakat setempat, sebab masyarakat menjadi pelaku sekaligus pelaksana kebudayaan tersebut. Jadi bisa disimpulkan bahwa, perubahan sosial tidak bisa berhasil bila mindset masyarakat tidak diubah terlebih dahulu.
4. Bahasa
Perspektif bahasa ini lebih dikhususkan atas aspek bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an yang digunakan oleh semua umat muslim di belahan dunia manapun, jadi ketidak-tepatan di dalam mengartikan sebuah bahasa arab tersebut akan sangat mempengaruhi tafsir, dan tafsir tersebut akan dikonsumsi oleh para pemeluk agama islam.
Faktanya, di dalam bahasa arab sendiri, dlamir (kata ganti) antum (menunjukkan orang laki-laki banyak) ternyata memuat juga perempuan-perempuan yang ada di dalamnya. Sebaliknya, jika dlamir antunna (kata ganti untuk perempuan banyak) tidak memuat jika ada laki-laki yang ada di dalamnya menjadi khitab.
Secara bahasa saja, terkesan adanya distorsi dan posisi subordinat yang diperuntukkan oleh perempuan. Seperti yang diketahui bersama bahwa bahasa adalah sistem yang disepakati, jadi secara tidak langsung mengindikasikan bahwa perbedaan dlamir tersebut telah disepakati di dalam bahasa Arab.
5. Tafsir
Dari periode klasik sampai hari ini, para mufasir didominasi oleh kaum laki-laki. Jadi entah disengaja atau tidak, produk tafsir yang dihasilkan pun terkesan lagi-lagi menyubordinatkan kaum perempuan, belum lagi adanya ayat yang meng”iya”kan untuk berpoligami bagi laki-laki.
Ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang membahas tentang relasi antara laki-laki dan perempuan sangat terkesan laki-laki sentris, padahal terdapat banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang sebenarnya memberikan deskripsi yang sangat luar biasa terhadap perempuan, seperti kisah maryam, anak-anak nabi syu’aib, ratu bilqis, dan beberapa istri-istri nabi.
Oleh sebab itulah, di dalam buku tersebut mendekonstruksi atas apa yang dihasilkan para mufasir klasik, dengan tujuan untuk memberikan jawaban atas problematika kehidupan sosial kekinian yang semakin kompleks. Usaha-usaha reinterpretasi teks pun dilakukan secara perlahan dan masih menimbulkan perdebatan di sebelah sana sini.
Berbagai kritikan pun berdatangan atas produk tafsir yang bersifat demikian, dikarenakan masih kuatnya mindset masyarakat muslim atas ideologi-ideologi yang sudah menjadi tradisi dalam beragama.
6. Hukum
Di dalam perspektif hukum, terutama di Indonesia, sebenarnya banyak sekali pengaruh dari beberapa hasil pertemuan PBB, sehingga kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak bisa terlepas dari kesepakatan bersama dari berbagai negara. Sehingga mau tidak mau, Indonesia pun harus ikut berpartisipasi di dalam tujuan global tersebut.
Kemudian lahirlah gender mainstreaming/PUG (pengarusutamaan gender) sebagai puncak di dalam kesepakatan yang telah dilakukan oleh berbagai pihak di PBB. PUG ini bersifat mengikat di dalam segala lini pemerintahan, yang kemudian lahirkan undang-undang tentang kekerasan di dalam rumah tangga, hak asasi kaum perempuan, keikutssertaan perempuan di dalam pemiliihan umum, kuota 30% di dalam kursi pemerintahan, dan masih banyak lagi kebijakan-kebijakan yang berdasarkan PUG ini.
Pada dasarnya, PUG ini sangat menekankan pada mainstream di setiap masyarakat, sehingga apabila mainstream seperti demikian sudah tertanam di dalam benak masyarakat, secara otomatis segala tingkah laku dan implikasinya tidak akan tumpang tindih antara kepentingan perempuan dan laki-laki.
Keenam aspek itulah yang mencoba dieksplorasikan di dalam buku tersebut untuk menganalisis wacana tentang gender. Dari proses pemahaman yang saya lakukan, ada beberapa kritikan terkait yang disampaikan di buku tersebut. Di antaranya adalah:
I. Untuk membuka wacana dan pemikiran yang luas terkait persoalan gender dan wacana teks keagamaan islam, buku tersebut sangat representatif untuk dijadikan pegangan sekaligus sumber data, sebab di dalamnya terdapat banyak sekali fakta-fakta perempuan dari segi kehidupan sosial maupun psikologisnya.
II. Di dalam pembahasan dalam perspektif hukum dan PUG tidak adanya pembahasan yang mendominasi, malah yang menjadi objek paling banyak adalah dalam segi bahasa dan teks-teks al-Qur’an dan hadits, sehingga judul besar yang menjadi prioritas pembahasan tidak terakomodir dengan komprehensif. Kesan-kesan yang saya dapatkan di dalam buku tersebut hanya terdapat di dalam sisi gender menurut teks keagamaan. Misalnya ketika pembahasan tentang tafsir ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisaa..... sangat mendalam bahkan dari sisi kebahasaannya sangat diperhatikan seteliti mungkin.
III. Kesimpulan yang saya dapatkan di dalam buku tersebut sangat dominan di dalam pembahasan terkait tafsir dan bahasa. Jadi perspektif sejarah dan hukum kurang dibahas secara proposional, setidaknya pembahasan tafsir dan bahasa lebih banyak dari pada pembahasan tentang perspektif hukum dan sejarah.
IV. Di dalam buku tersebut, saya tidak menemukan adanya keseimbangan pembahasan di dalam laki-laki dan perempuan, malah bisa dikatakan mayoritas pembahasan hanyak berpusat pada perempuan saja (woman sentris), dan argumentasi-argumentasi yang digunakan pun seolah-oleh perempuan memang tertindas.
Padahal tidak sepenuhnya demikian, misalnya adanya hadits tentang kemulyaan seorang ibu yang tiga kali lebih tinggi dari pada ayah, tidak dibahas dengan porsi yang sama ketika membahas tentang teks yang terkesan menyubordinatkan perempuan. Walhasil, isu-isu yang dieksplorasikan pun terkesan paradoks dan klise.
Post a Comment