Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Keluarga Perspektif Fiqh
Table of Contents
QOWIM.NET - Agama Islam yang sangat erat dengan tradisi bayani seperti yang diungkapkan oleh Abid al-Jabiri sebagai salah satu epistemologi ilmu di dalam dunia Islam, dan al-Qur’an yang dinilai sebagai teks yang shalihun likulli zaman wa makan merupakan kamus hidup bagi kehidupan beragama seorang muslim di manapun ia berada.
Oleh sebab itu, segala aspek kehidupan praktis manusia telah diatur sedemikian rupa oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk menjadikan al-Qur’an sebagai hudan linnas.Jadi, segala kebijakan dan pola pikir manusia harus bisa sesuai dengan al-Qur’an untuk mencapai kehidupan yang survival sesuai dengan semangat al-Qur’an untuk keselamatan dunia dan akhirat (QS. Al-Baqarah: 201).
Di dalam al-Qur’an dan Hadits telah termaktub tentang penjelasan-penjelasan tentang suami dan istri di dalam keluarga, meskipun masih membutuhkan tafsir agar bisa mengkompromikan antara teks dan kebutuhan masyarakat yang kontekstual, oleh sebab itulah para ulama fiqih telah merumuskan di dalam karya-karyanya mengenai hak dan kewajiban suami istri di dalam keluarga.
Nikah atau pernikahan merupakan sunnatullah yang ditujukan kepada makhluknya, dengan pernikahan Allah menghendaki agar manusia berkembang di dunia ini, namun tidak dengan sekehendak nafsunya dan tidak mempunyai moral, sebaliknya, Allah mengatur pernikahan agar bisa menjaga kehormatan manusia dengan ikatan pernikahan. Hal ini dijelaskan di dalam QS. Ar-Rum: 21
Apabila sepasang manusia sudah sah menjadi pasangan suami istri (pasutri), maka akan ada hukum yang berlangsung, hukum-hukum inilah yang harus dilakukan oleh pasutri untuk mencapai hidup bersama yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Menurut Sayyid Sabiq, membagi hak pasutri menjadi tiga, yaitu. Hak istri atas suami, hak suami atas istri, dan hak bersama. Ketiga hak ini apabila terpenuhi dengan baik dan proposional, maka keluarga tersebut akan mencapai kebahagiaan.[2]
Oleh sebab itu, segala aspek kehidupan praktis manusia telah diatur sedemikian rupa oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk menjadikan al-Qur’an sebagai hudan linnas.Jadi, segala kebijakan dan pola pikir manusia harus bisa sesuai dengan al-Qur’an untuk mencapai kehidupan yang survival sesuai dengan semangat al-Qur’an untuk keselamatan dunia dan akhirat (QS. Al-Baqarah: 201).
Di dalam al-Qur’an dan Hadits telah termaktub tentang penjelasan-penjelasan tentang suami dan istri di dalam keluarga, meskipun masih membutuhkan tafsir agar bisa mengkompromikan antara teks dan kebutuhan masyarakat yang kontekstual, oleh sebab itulah para ulama fiqih telah merumuskan di dalam karya-karyanya mengenai hak dan kewajiban suami istri di dalam keluarga.
Nikah atau pernikahan merupakan sunnatullah yang ditujukan kepada makhluknya, dengan pernikahan Allah menghendaki agar manusia berkembang di dunia ini, namun tidak dengan sekehendak nafsunya dan tidak mempunyai moral, sebaliknya, Allah mengatur pernikahan agar bisa menjaga kehormatan manusia dengan ikatan pernikahan. Hal ini dijelaskan di dalam QS. Ar-Rum: 21
“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa pernikahan adalah bagian dari anjuran Allah swt. Islam memandang pernikahan adalah bagian dari Sunnatullah, guna menjaga keselamatan kehidupan umat muslim. Di sisi lain, pernikahan juga dinilai sebagai aspek kemanusiaan yang peduli dengan naluri manusia, mewujudkan ketentraman hidup, memupuk rasa kasih dan sayang kepada lain jenis.[1]
Apabila sepasang manusia sudah sah menjadi pasangan suami istri (pasutri), maka akan ada hukum yang berlangsung, hukum-hukum inilah yang harus dilakukan oleh pasutri untuk mencapai hidup bersama yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Menurut Sayyid Sabiq, membagi hak pasutri menjadi tiga, yaitu. Hak istri atas suami, hak suami atas istri, dan hak bersama. Ketiga hak ini apabila terpenuhi dengan baik dan proposional, maka keluarga tersebut akan mencapai kebahagiaan.[2]
Hak Istri atas Suami
1. Mahar.
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan seorang calon suami kepada calon isterinya dalam bentuk apapun baik berupa uang maupun barang (harta benda).[3] Kuantitas mahar tidak ditentukan oleh syari’at Islam, hanya menurut kemampuan suami yang disertai kerelaan dari sang isteri.[4]
Hal ini disebabkan adanya perbedaan status sosial ekonomi masyarakat, ada yang kaya ada yang miskin, lapang dan sempitnya rezeki, itulah sebabnya Islam menyerahkan masalah kuantitas mahar itu sesuai dengan status sosial ekonomi masyarakat berdasarkan kemampuan masing-masing orang atau keadaan dan tradisi keluarganya.
2. Nafkah
Para ulama’ sependapat bahwa diantara hak isteri terhadap suami adalah nafkah. Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam surat al-Baqarah: 233 yang artinya: Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Menurut Sayyid Sabiq, bahwa yang dimaksud dengan nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan tempat tinggal (dan kalau ia seorang yang kaya maka pembantu rumah tangga dan pengobatan istri juga termasuk nafkah).[5] Hal ini dikarenakan seorang perempuan yang menjadi isteri bagi seorang suami mempergunakan segala waktunya untuk kepentingan suaminya dan kepentingan rumah tangganya.
Nafkah rumah tangga merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk keluarga yang sejahtera, sehingga kebutuha pokok manusia terpenuhi. Adapun kuantitas nafkah yang diberikan suami kepada isterinya adalah sesuai kemampuan suami.
Nafkah rumah tangga merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk keluarga yang sejahtera, sehingga kebutuha pokok manusia terpenuhi. Adapun kuantitas nafkah yang diberikan suami kepada isterinya adalah sesuai kemampuan suami.
Hal ini Allah swt berfirman dalam surat at-Thalaq: 6 yang artinya Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu”. Nafkah diberikan suami kepada isteri dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah, yang masih berlangsung dan isteri tidak nusyuz (durhaka). Atau karena hal-hal lain yang menghalangi istri menerima belanja (nafkah).
Bergaul dengan cara yang baik berarti memperlakukan dan menghormati dengan cara yang wajar, memperhatikan kebutuhan isterinya, menahan diri dari sikap yang tidak menyenangkan iseteri dan tidak boleh berlaku kasar terhadap isterinya.
3. Memperlakukan dan menjaga isteri dengan baik
Suami wajib menghormati, bergaul dan memperlakukan isterinya dengan baik dan juga bersabar dalam menghadapinya.[6] Bergaul dengan baik berarti menjadikan suasana pergaulan selalu indah dan selalu diwarnai dengan kegembiraan yang timbul dari hati kehati sehingga keseimbangan rumah tangga tetap terjaga dan terkendali.[7] Allah swt berfirman yang artinya Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Q.S. An-nisa’:19)Bergaul dengan cara yang baik berarti memperlakukan dan menghormati dengan cara yang wajar, memperhatikan kebutuhan isterinya, menahan diri dari sikap yang tidak menyenangkan iseteri dan tidak boleh berlaku kasar terhadap isterinya.
Hal ini telah diajarkan oleh nabi di dalam hadits, Hak isteri kepada suami adalah memberi makan kepada isterinya apabila ia makan, memberi pakaian kepadanya jika dia berpakaian, tidak memukul pada muka dan tidak berbuat jelek serta tidak memisahkan diri kecuali dari tempat tidur”[8]
Seorang suami tidak boleh memarahi isteri sekalipun sang isteri memiliki kekurangan-kekurangan, namun suami tidak boleh mengungkitungkit apa yang menjadi kelemahan isterinya karena dibalik kekurangankekurangan yang ada pada isterinya terdapat kelebihan-kelebihan yang dipunyai oleh isterinya. Di samping itu totalitas waktu isterinya tercurahkan oleh ketaatanya kepada suami.
Seorang suami tidak boleh memarahi isteri sekalipun sang isteri memiliki kekurangan-kekurangan, namun suami tidak boleh mengungkitungkit apa yang menjadi kelemahan isterinya karena dibalik kekurangankekurangan yang ada pada isterinya terdapat kelebihan-kelebihan yang dipunyai oleh isterinya. Di samping itu totalitas waktu isterinya tercurahkan oleh ketaatanya kepada suami.
Hak suami atas istri
Suami ditaati oleh istri
Istri harus menaati suami selama dalam hal yang tidak mengandung maksiyat, istri juga menjaga harta suaminya. Hal ini dijelaskan di dalam QS. An-Nisa’: 34 yang artinya wanita yang baik adalah wanita yang taat kepada Allah dan memelihara diri di balik suaminya, sebab Allah telah memelihara. Yang dimaksud dengan memelihara di balik suaminya adalah ketika suaminya tidak ada di rumah dengan menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik.[9]
Dari uraian di atas, apabila dilihat dengan kaca mata gender mungkin terlihat bias, bahkan mendiskreditkan kaum perempuan di dalam keluarga, sebab beberapa penjelasan tentang hak dan kewajiban suami dan istri misalnya seorang istri harus menaati suami.
Pada dasarnya hukum fiqh menjadi sebuah produk pemikiran itu selalu terikat oleh tempat dan kebudayaan tertentu yang biasa terjadi di dalam masyarakat, oleh sebab itulah para ulama fiqh merumuskan hukum-hukum demikian yang bertumpu pada al-Qur’an dan hadits merupakan kaidah umum, artinya mayoritas yang terjadi, para lelakilah yang menjadi tulang punggung keluarga di dalam menafkahi, dengan demikian harus ada di rumah untuk menjaga harta yang ditinggalkan ketika suami sedang bekerja di luar rumah.
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa ada beberapa tradisi yang berbeda bahwa yang bekerja adalah pihak istri, maka harus ada pembagian tugas yang jelas, agar roda keluarga bisa berjalan sebagaimana mestinya dan baiknya. Bila demikian, maka istrilah yang dianggap berkompetensi di dalam memberikan nafkah kepada keluarga. Jadi ayat-ayat dan dalil-dalil bahkan produk hukum fiqh tersebut berlaku pada kaidah umum, dan setiap kaidah ada pengecualian (kullu qa’idatin mutstatsnayat).
[1] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII-Press, 2004), hlm. 13
[2] As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa: Moh. Tholib (Bandung: al-Ma’arif, 1997), cet. XIII, hlm. 51
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : Sinar baru, cet.ke-22,t.t, hlm. 365.
[4] SulaimanRasjid....., hlm. 107
[5] As-Sayyid Sabiq...., hlm. 115
[6] As-Sayyid Sabiq...., hlm. 126
[7] Rs. Abdul Azis, Rumah Tangga Bahagia Sejahtera, Semarang: CV. Wicaksana, cet.ke 1,1990, hlm.65
[8] Al-Khafidz Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1, Dar Al-Fikr, hlm.593-594, Abu dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid 1,cet ke 1, Mesir: Isa Al-Babi Al-Halabi WA Auladih, 1952, hlm. 494.
[9] Jamaludin al-Dimasyiqi, Mauidloh al-Mu’minin, Indonesia: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabi, jilid 1, hlm. 117
[10] Huzaemah Tahido, Hak dan Kewajiban Pria dan Wanita, Jakarta: Majlis Ulama’ Indonesia, 1999, hlm. 80-81
Hak Bersama Suami dan Istri
1. Halalnya pergaulan
Suami istri sama-sama mempunyai hak untuk menggauli sebagai pasangan suami istri dan memperoleh kesempatan saling menikmati atas dasar saling membutuhkan.[10] Allah juga berfirman QS. Al-Baqarah: 187 yang artinya “Mereka (para istri) adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian mereka.” Hal ini menunjukkan adanya saling memerlukan dan saling melengkapi.2. Hak saling memperoleh harta waris.
Apabila salah satu suami-istri meninggal dunia, maka dapat memperoleh harta warisan dari harta yang ditinggalkan. Ini merupakan bentuk dari keadilan yang diperoleh antara suami dan istri. Hal mawaris ini diatur oleh al-Qur’an yang sudah mendetail di dalam QS. An-Nisa’ 7-12.3. Hak timbal balik.
Dalam kehidupan rumah tangga salah satu kriteria ideal untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah adalah suami sebagai pemimpin bagi keluarga memimpin istrinya untuk mendidik dan memperlakukan istrinya secara proposional sebagai perintah syari’at islam. Sedangkan sang istri sebagai yang dipimpin hendaknya mematuhi dan mengingatkan apabila suami keluar dari koridor keagamaan. Demikian hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara suami dan istri (simbiosis mutualisme).Dari uraian di atas, apabila dilihat dengan kaca mata gender mungkin terlihat bias, bahkan mendiskreditkan kaum perempuan di dalam keluarga, sebab beberapa penjelasan tentang hak dan kewajiban suami dan istri misalnya seorang istri harus menaati suami.
Pada dasarnya hukum fiqh menjadi sebuah produk pemikiran itu selalu terikat oleh tempat dan kebudayaan tertentu yang biasa terjadi di dalam masyarakat, oleh sebab itulah para ulama fiqh merumuskan hukum-hukum demikian yang bertumpu pada al-Qur’an dan hadits merupakan kaidah umum, artinya mayoritas yang terjadi, para lelakilah yang menjadi tulang punggung keluarga di dalam menafkahi, dengan demikian harus ada di rumah untuk menjaga harta yang ditinggalkan ketika suami sedang bekerja di luar rumah.
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa ada beberapa tradisi yang berbeda bahwa yang bekerja adalah pihak istri, maka harus ada pembagian tugas yang jelas, agar roda keluarga bisa berjalan sebagaimana mestinya dan baiknya. Bila demikian, maka istrilah yang dianggap berkompetensi di dalam memberikan nafkah kepada keluarga. Jadi ayat-ayat dan dalil-dalil bahkan produk hukum fiqh tersebut berlaku pada kaidah umum, dan setiap kaidah ada pengecualian (kullu qa’idatin mutstatsnayat).
[1] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII-Press, 2004), hlm. 13
[2] As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa: Moh. Tholib (Bandung: al-Ma’arif, 1997), cet. XIII, hlm. 51
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : Sinar baru, cet.ke-22,t.t, hlm. 365.
[4] SulaimanRasjid....., hlm. 107
[5] As-Sayyid Sabiq...., hlm. 115
[6] As-Sayyid Sabiq...., hlm. 126
[7] Rs. Abdul Azis, Rumah Tangga Bahagia Sejahtera, Semarang: CV. Wicaksana, cet.ke 1,1990, hlm.65
[8] Al-Khafidz Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1, Dar Al-Fikr, hlm.593-594, Abu dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid 1,cet ke 1, Mesir: Isa Al-Babi Al-Halabi WA Auladih, 1952, hlm. 494.
[9] Jamaludin al-Dimasyiqi, Mauidloh al-Mu’minin, Indonesia: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabi, jilid 1, hlm. 117
[10] Huzaemah Tahido, Hak dan Kewajiban Pria dan Wanita, Jakarta: Majlis Ulama’ Indonesia, 1999, hlm. 80-81