Borges, Sastra, Agama

Table of Contents
Oleh; Faisal Kamandobat

Hubungan sastra dan agama telah terjalin sejak keduanya lahir dalam sejarah. Kitab suci agama-agama, yang monoteis dan yang bukan, ditulis dalam bentuk sastra. Sementara di luar wilayah revelasi atau kewahyuan, banyak sastrawan menulis karyanya sebagai ungkapan iman kepada Tuhan.

Dalam beberapa prosanya, Jorge Luis Borges mengambil posisi tersebut, bahkan dengan cara yang amat unik: ia tidak mengklaim diri menganut iman tertentu, namun prosa-prosanya merefleksikan berbagai pemikiran keagamaan (terutama teologi dan mistisisme).

Baik Yahudi, Islam, Hindu, bahkan “agama pagan” seperti Zoroaster dibahas Borges dalam prosa-prosanya. Anehnya, Borges tidak banyak membahas teks-teks Kristen Roma, agama yang dianut mayoritas penduduk Argentina, negeri kelahiran Borges. Barangkali ia membutuhkan jarak refleksi untuk membentuk perspektif literernya, sehingga justru membahas agama-agama yang “jauh.”

Di samping itu, posisinya sebagai seorang sekuler dan gnostik (orang yang mempercayai pengetahuan sebagai jalan menuju kebijaksanaan ilahi) memudahkan Borges melewati berbagai “hambatan iman” dari masing-masing agama yang dieksplorasi dalam karya-karyanya.

Nalar tak terhingga

Terdapat semacam sistem nalar tertentu yang digunakan Borges dalam membahas ajaran suatu agama. Sistem-nalar itu diantaranya “logika ketakterhinggaan” dalam teologi setiap agama, di mana Tuhan diasumsikan melampaui kategori-kategori logika formal. Dari logika itulah setiap agama mereguk sumber universalitas sehingga melampaui partikularitas.

Namun logika tersebut tidak dipahami sebagai ajaran teologi yang tak tergugat, melainkan didiskusikan dengan berbagai temuan humaniora mutakhir, bahkan yang lahir di ranah sekuler. Misalnya dalam Tlon, Uqbar, Orbis Tertius, ia menjadikan teologi sebagai ibu sekaligus kritik terhadap filsafat idealisme.

Idealisme sebagai aliran filsafat yang deterministik, di mana asal-usul serta perkembangan sejarah-semesta didasarkan pada kekuatan supra-human, sebenarnya menyerupai teologi. Kekuatan supra-human tersebut tak jauh beda dengan ide mengenai Tuhan dalam teologi. Hanya, dalam idealisme tidak terdapat klaim ketuhanan secara gamblang, pula tak ada ritus dan liturgi.

Bagi Borges, gagasan semacam itu hanya mungkin terwujud sejauh manusia mampu mengubah konsep ontologi sebuah gagasan (dalam hal ini idealisme.) Cara yang paling radikal adalah melalui bahasa, yaitu dengan menghapus seluruh kata benda dan menggantinya dengan kata sifat dan kata kerja. Dengan tidak adanya kata benda, setiap materi di alam semesta tidak lagi definitif, batasnya mengabur, sehingga menjadi “tak terhingga” alias universal, sama seperti Tuhan dalam teologi dan kekuatan deterministic dalam idealisme.

Dengan bakat dan visi litererya, Borges membuat teologi, filsafat dan linguistik saling berinteraksi secara cerdas dan kreatif. Ketiganya duduk secara sejajar dan terbuka. Dan dari sana sastra dan pengetahuan menemukan kemungkinsan baru untuk terus mencipta, tak lagi mandeg oleh batas-batas disipliner yang kaku dan dogmatis.

Meta-psikosis

Dalam karyanya yang lain, Pendekatan terhadap Al-Mu'tasim, ia memuji pandangan teologi sufi agung asal Persia Fariduddin Attar yang terkenal dengan karyanya, Musyawarah Burung (Mantiq at-Thair). Dalam prosa tersebut, Borges menyebut Attar bukan saja berhasil mencipta sebuah pandangan dunia yang utuh dan koheren, melainkan mampu membentuk buah pikirannya itu sebagai sistem nalar yang menyeluruh dan, oleh sebab itu, tak terhingga alias universal.

Untuk mencapai tingkat penghayatan seperti Simurgh (burung simbolis Attar tentang universalitas), perlu melewati tahap-tahap perkembangan psikologi dan intelektual yang penuh paradoks dan dilema. Di satu sisi tahap perkembangan tersebut harus dilalui secara sadar mengingat sifatnya yang intelektual bahkan filosofis, di sisi lain mencapai penghayatan seperti itu membuat seseorang dalam keadaan ekstase, tak sadar.

Spiritualitas Simurgh adalah resultan dari dua paradoks di atas. Seorang yang mampu menjadi Simurgh, ia telah mencapai semacam jiwa universal yang ilahi. Kondisi semacam itu oleh Borges disebut meta-psikosis. Temuan Borges mengenai Attar tersebut tepat, mengingat Attar adalah seorang sastrawan yang sangat dipengaruhi filosofi mistis Ibn 'Arabi mengenai penyatuan-Tuhan-dan-makhluknya (wihdatul wujud; unity of God; manunggaling-kawula gusti).

Yang menarik, Borges menafsir gagasan Attar itu dengan tidak sebagai gagasan khas teologi Islam (Kalam). Ia mengganti burung Simurgh bikinan Attar dengan seorang mahasiswa muslim di Bombay yang terlibat perang dengan kelompok Hindu. Sehabis perang, ia mencari jati diri hingga mencapai tahap penghayatan hidup yang melampaui batas iman kedua agama tersebut.

Selain itu, ia memaparkan perkembangan psikologi si tokoh sebagai misteri atau lebih tepat teka-teki, mirip dalam karya Attar. Bedanya, bila dalam Musyawarah Burung, Simurgh adalah penjelmaan tunggal dari 30 ekor burung yang mampu mencapati wilayah Kaf, dalam Pendekatan terhadap Al-Mu'tasim si mahasiswa tak lain adalah gagasan sekaligus guru spiritualnya sendiri, namun pembaca tak langsung mengetahui bahwa guru spiritual dan gagasan tersebut tak lain adalah si mahasiswa itu sendiri.

Cara dan pandangan yang sama juga dilakukan Borges dalam The Mirror of Enigma. Dalam karyanya itu ia menafsir pandangan Isaac Luria, mistikus Kabbala dalam tradisi mistik Yahudi, dengan cara bermain-main semantik terhadap teks Yudaisme kuno tentang makna cermin dan teka-tekinya, sehingga Tuhan dan manusia bisa saling “menyimpan dan mengungkapkan.”

Sastra religi

Apa yang dilakukan Borges di atas dapat dijadikan alternatif bagi khazanah sastra religi kita yang terkungkung dua kecenderungan utama. Pertama, cenderung dibatasi oleh benturan antara agama yang terlalu memandang ke akhirat dengan tuntutan realitas sosial di dunia yang pahit. Pandangan semacam itu dapat ditemui dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis.

Kedua, terpaku pada tema sufisme yang cenderung spiritual, di mana Tuhan hadir melalui penghayatan psikologi yang (seakan-akan) bertentangan dengan pengetahuan rasional, sehingga corak karyanya cenderung gelap. Misalnya beberapa cerpen Danarto.

Dua kecenderungan itu tidak buruk. Namun bila sastra religi kita melulu terkungkung olehnya, eksplorasinya bersifat permukaan. Teologi dan mistisisme bukan pengalaman batin semata, melainkan juga pengalaman filosofis, keduanya lahir dan berdiri di atas landasan nalar tertentu yang sumbernya bahkan jauh di luar religi. Tak seorang pun mampu melepaskan teologi Islam (Kalam) dari filsafat Yunani. Juga Simurgh bikinan Attar yang diolah dari Shahnameh, mitologi Zoroaster Persia.

Dengan mengambil “landasan nalar” dalam teologi dan mistisisme sebagai tantangan literer, sastra religi kita dapat memiliki watak kreatif yang lebih bandel. Pengaruhnya akan lebih kuat baik dalam sastra maupun agama. Tantangan semacam itu tidak asing dalam tradisi sastra dan agama kita. Hamzah Fansuri dan Ar-Raniri contohnya.

Dan bila kita ingin tema agama dalam sastra dapat berpengaruh hingga di luar batas-batas keduanya, perlu dilakukan diskusi dengan temuan-temuan mutakhir dari disiplin lain, juga dengan menggali sampai ke landasan nalar atau epistemologi-nya, seperti dilakukan Borges. Dengan cara demikian agama dan sastra dapat berinteraksi secara lebih kreatif dengan dunia di luarnya.

Suara merdeka 2004
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment