Kita Ciptakan Sendiri Dunia Kita

Table of Contents
Gendhis dan Musthofa M Thoha
23.08
“Hei, coba lihat bulan sekarang. Ia terlihat terang meski sudah tak sempurna. Kau suka bulan?” Iya, namun aku lebih suka sekerdip lilin. “Kenapa?”. Karena lilin mau berkorban sedang bulan tak mau berkorban. Bulan hanya mau dinikmati. “Lho, bukannya bulan menerangi malam?” Iya memang, namun ia tak bisa bersinar tanpa matahari.
“Bila antara bulan dan matahari, kau pilih yang mana?” aku lebih memilih bulan. “Kenapa? Katanya kau lebih suka lilin daripada bulan yang tak mau berkorban?” iya memang, buat apa matahari menerangi sesuatu yang sudah terang, sedang bulan bisa menerangi di tengah kegelapan malam. “Lalu dengan sekerdip lilin? Kenapa kau suka lilin?” iya, aku memang suka lilin, disamping ia mau berkorban demi terang, ia juga setia dengan adanya. “Jangan menganggap bahwa bulan itu tidak setia” O, tidak. Bulan sangatlah setia pada malam, itu juga karena aku suka dengan bulan.

12.03
            “Kau tidak capek duduk di sini?” tidak, aku tidak capek bila kau temani aku di sini. Seperi bulan itu, yang setia menemani malam walau terkadang ia tak tampak karena ditelan awan. “Kau menganggapku seperti bulan?” Ehm, kadang iya kadang tidak. “Kenapa seperti itu?” nggak tahu. Hmm... “Dasar tidak bertanggung jawab!” .......
            “Aih, bulan itu tampak senyum melihat kita di sini, di bawah pohon Saspoet.” Hah, apa itu pohon Saspoet?. “Lha ini di samping kita sekarang” Ini pohon Randu, bukan Saspoet, mana ada pohon namanya Saspoet. Aneh kau ni. “Terserah aku mau menamainya pohon apa, yang jelas aku menamai pohon ini pohon Saspoet.” Dasar kau! Sesuka-suka memberi nama. Pasti kau tak tahu pohon Randu ini marah-marah kau beri nama Saspoet. “Ah, peduli!”
            “Aku minta bulan.” Hahaha  “Kenapa tertawa? Aku serius!” Kau itu terlalu tinggi berkhayal. Memeluknya saja tak mampu, bagaimana aku membawanya ke pangkuanmu dan memonopolinya jadi milikmu? “aku tidak ingin memonopolinya. Tapi aku hanya ingin bulan selalu ada di dekatku, menerangi kita dan pohon saspoet.” Itu sama saja artinya memonopoli. Kau tahu? Kenapa bulan selalu menghilang saat mentari datang?  “memangnya kenapa?” Karena di belahan dunia yang lain, ada pohon saspoet dan penjaganya seperti kita menunggu cahayanya ketika malam “apa itu juga sebuah jawaban?” Ya, sama seperti bulan, tapi sebenarnya ia tak menghilang, hanya istirahat sekian waktu untuk membagi cahayanya. Dan ketika malam datang, bulan akan kembali menerangi kita.
01.29  
Kuberi tahu kau, itu bulan tidak sedang tersenyum melihat kita, tapi ia sedang bingung melihat kita. “Kenapa bingung?” Lah, kau saja bingung sendiri macam ini, apalagi bulan?. “Apalacur sudah begini adanya” Ah, kau memang bingungan. “Kalau aku tak bingung, bukan manusia namanya.” Tambah pintar saja kau sekarang, makan daging dan minum susu terus kau?. “O, jangan ke-PD-an dulu, jangan bilang kalau aku pintar karena sering bergaul dengan kau.” Kau yang bilang, bukan aku. “Itu kau sudah mulai ke-PD-an” Ah, biar sajalah...
            “Sudah!!!, kau jangan merokok lagi!” Woi, tak usah kau buang rokokku itu. “Kau dibilangin tak pernah menurut sama aku. Sudah terlalu banyak kau merokok malam ini. Sudahlah... Hei tak usah diambil lagi, berani ngambil kugampar kau pake sandal” Oke, oke kali ini aku nurut, Awas kau tinggalkan aku sendiri di sini...!!! “Iya, aku kan selalu menemanimu melihat bulan di sini.”
“.............”
01.57
Besok bulan purnama. Aku sudah menunggunya berhari-hari. Awas saja kau tak datang! “Hei! Itu kedengarannya seperti ancaman? Eh?” Kau kan sudah berjanji akan selalu menemaniku menikmati bulan. “Aku tak pernah ingkar janji.” Hahaha, kaya Tuhan saja kau.
....
            Kenapa kau sodorkan jari kelingkingmu? “Kau harus mengaitkan jari kelingkingmu dengan jari kelingkingku sebagai ikrar janjimu” Kau ini aneh, apa perlu? “Tentu saja, dengan mengaitkan jari kelingking, janji akan lebih terpegang, sehingga ketika kau hampir saja akan mengingkarinya akan ada jejak janji itu seperti benang merah yang mengikatmu dengan janji itu, dan kau akan menepatinya.” Hahahaha  “Jangan tertawa, aku sudah melakukannya sedari aku kecil dulu” Sesukamulah, kau memang selalu begitu mempuyai prinsip yang selalu kau pegang teguh biar apa kata orang, selagi itu hal yang benar dan hal yang kau yakini benar  “Kau memang sok tahu, sedikit benar.” Ah, bilang saja tepat. “Ah, aku tak mau debat kusir. Kita memang tak pernah bisa sama, selalu saja berselisih, tapi kita masih saja betah duduk berdua dan berbicara tentang apa saja.” Justru di situlah kita akan lebih banyak mendapatkan sesuatu yang berguna, Kata bunda juga ‘keperbedaan adalah awal dari kebersamaan’ percaya tidak?.  “Ah, sembarang!.”   
***
Entah mereka itu nulis apa, maksudnya apa, intinya apa. Sedari tadi mereka hanya menyodorkan kertas yang sudah ditulis, selesai, kemudian disodorkan kembali, ditulis lagi, selesai, disodorkan kembali, sampai berulang-ulang, namun tak ada intinya yang bisa ditarik kesimpulan. Dengan paksa kuhentikan aktifitas mereka yang kurasa menjenuhkan itu. Kubaca berulang-ulang, kucoba memahaminya, mencoba memeriksa setiap kalimatnya.
Ah, ternyata hanya bualan saja. Tapi aku melihat usaha mereka yang ingin menyatukan mimpi. Dalam situasi dan peraturan yang begini ketat, tentu tidak akan bisa duduk berdua di bawah pohon saspoet, lalu menikmati bulan bintang, kemudian mengeratkan jari kelingking mereka, lalu tiba-tiba mereka terjerumus pada obrolan yang sepenuhnya tidak ada jluntrungnya.
Tapi mereka mencoba mewujudkan hal itu di dunia mereka sendiri, di dunia ide yang tidak ada batasnya. Mereka ciptakan sendiri obrolannya, settingnya, alurnya, dan segala situasi yang dikehendaki oleh mereka. Bagi mereka, dunia imajinasi adalah dunia penyambung antara dunia nyata dan mimpi, atau harapan. Meski sulit untuk diwujudkan dalam dunia nyata, namun setidaknya mereka punya mimpi yang harusnya terwujud.
“Dasar manusia-manusia aneh” pikirku.
Aku kembalikan kertas itu, yang sebenarnya bukan hakku untuk mengetahui mereka tentang itu. Tapi rasa ingin tahuku tak terbendung lagi. Aku ikut menemani mereka dan menikmati bulan, pula pohon saspoet. Ingin tahu akhir dari obrolan mereka.
02.29
Kau tak bosan ngomongin tentang bulan? “Ah, tidak, ketagihan malahan.” Sudah tiga malam kita selalu duduk di sini, di bawah pohon Randu, yang katanya kau ganti jadi pohon Saspoet. “Ha-ha-ha” Kenapa tertawa? Ada yang aneh? “Tidak, ternyata kau agak sepakat dengan pohon Saspoet.” Ah, itu istilahmu saja. Semakin sok tahu saja kau! “Sudahlah, tak usah debat tentang nama-nama dan istilah.” Kenapa? “Istilah itu hanya sebatas manifesto alam abstrak, yaitu pikiran. Sedang masing-masing pikiran kita berbeda.” Kenapa tiba-tiba kau membahas tentang linguistik? “Tentu ada hubungannya dengan bulan, bintang, malam, dan pohon Saspoet.” Memang apa hubungannya dari mereka? “Semua itu adalah istilah, yaitu bahasa, sedang bahasa adalah simbol. Apa istilah yang kau gunakan ketika melihat mereka? Sedang kau belum pernah melihat dan mendengar tentang bulan?” ....... “Hei, kenapa diam saja?” Aku bingung, hanya tahu kalau istilah adalah simbol linguistik. “Apa yang ada di pikiranmu ketika mendengar pohon Saspoet?” Aneh saja, belum tergambar jelas tentang pohon itu.
            “Kenapa diam lagi?” Kau selalu membuka wacana dan tak pernah kau tutup, juga tak kau selesaikan. “Siapa bilang aku tak menyelesaikannya, kau saja yang tak paham.” ......
***
Memang manusia aneh. Aku tak betah lagi. Kutinggalkan mereka dengan dunianya sendiri, dengan tokoh yang ia ciptakan sendiri, dengan ide yang mereka inginkan sendiri, dan dengan akhir yang mereka inginkan sendiri. Sedari tadi ngobrolnya aneh, tidak jelas, tidak nyambung. Mereka menciptakan dunia mereka sendiri dengan tulisan.
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

2 comments

Comment Author Avatar
NF
24 November 2012 at 22:48 Delete
ini si tokoh ngomong sama diri sendiri ya? waahh
Comment Author Avatar
26 November 2012 at 09:08 Delete
Ga kok. yg cetak miring itu tokoh pri, dan cetak tegak tokoh perempuan :D