QIRA’AH MU’ASHIRAH MUHAMMAD SHAHRUR
Berikut adalah makalah yang saya buat ketika masih duduk di bangku semester 4 pada mata kuliah Membahas Kitab Tafsir (MKT). sepertinya tidak terima bila ia harus mengendap di file-file komputer jinjing yang jadul. Hahahaha. Semoga bermanfaat yak. amin...
METODOLOGI
KITAB QIRA’AH MU’ASHIRAH MUHAMMAD SHAHRUR
BAB I
Pendahuluan
Al Quran adalah sebuah
kebenaran teks yang absolut sebagai hudan linnas dan berfungsi sebagai koridor
dalam langkah hidup manusia. Seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban
manusia, akan menjadikan al Qur’an sebagai wacana kontemporer dalam
menginterpretasikan teks-teks Al Qur’an secara lebih kontekstual dan
komperehensif, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan manusia.
Kitab suci Al Qur’an telah diakui selalu sholihun li kulli zaman wa makan. Hal
ini menuai upaya manusia untuk memahami Al Qur’an, terutama penafsirannya yang
tidak hanya sebatas mengikuti perkembangan tafsir pada zaman Nabi, shahabat,
tabiin dll, karena problematika sosial yang terjadi pada zaman sekarang
mengalami perubahan yang sangat berbeda.
Munculnya para mufassir kontemporer bisa disebabkan
adanya wujud ketidakpuasan dari hasil
interpretasi teks Al Qu’ran yang dulu dilakukan oleh para mufassir
periode klasik dan pertengahan, karena mereka hidup pada zaman yang berbeda dan
tentunya sangat
berbeda dengan persoalan sosial di era ini yang lebih rumit
serta memerlukan penafsiran ulang untuk menjawab realitas tersebut.
Muhammad Shahrur merupakan salah satu dari mufassir
kontemporer yang telah menyumbangkan metodologi terbaru dalam
menginterpretasikan teks Al Qur’an secara kontekstual serta mencoba untuk
mendekonstruksi metodologi yang telah lewat. Hal tersebut yang menjadi objek
kajian kita pada makalah ini.
Pembahasan
A.
Biografi
Muhammad Shahrur
Nama lengkapnya adalah Muhammad Shahrur
Ibn Deyb (selanjutnya ditulis shahrur), lahir di Damaskus Syria. Pada tanggal 11 April 1938. Shahrur adalah seorang tokoh pemikir liberal dari
Syiria. Ia mengawali pendidikannya pada sekolah dasar dan menengah di Al Midan
terletak di sebelah selatan kota Damaskus. Pada tahun 1957 Ia dikirim ke Saratow, daerah terdekat Moskow,
untuk belajar teknik sipil hingga tahun 1957, setelah itu sepuluh tahun
kemudian, pada tahun 1968 beliau dikirim kembali untuk belajar ke luar negeri,
saat itu beliau belajar di University College di Dublin untuk memperoleh gelar
MA dan Ph.D di bidang mekanika tanah dan teknik pondasi hingga tahun 1972.
Kemuadia beliau diangkat sebagai professor jurusan teknik sipil di Univeritas
Damaskus (1972-1999).[1]
B.
Periodesasi
Penulisan kitab Qira’ah Mu’ashirah[2]
Didalam menjaga
kredibilitas akademik dan profesionalitasnya, Shahrur membagi periode dalam
menulis karyanya menjadi tiga periode
Periode pertama;
pada tahun 1970-1980, Shahrur mengidentifikasi dalam memaknai dan meletakkan
dasar-dasar metodologi pemahaman terhadap konsep Al Dzikr, Ar Risalah dan Al Nubuwah. Periode kedua; pada tahun
1980-1986, Shahrur lebih sistematis dalam menulis gagasan-gagasannya, karena mulai
tertarik untuk menggunakan teori linguistik dalam proses analisis, Shahrur berasumsi bahwa linguistik
Arab merupakan bahasa otentik dan tidak memiliki konsep sinonimitas. Kemudian memulai lagi
dengan mengkaji istilah-istilah pokok meliputi al Kitab, al Qur’an, al furqan, al Dzikr, al Imam al Mubin, Ummu al
Kitab, al Lauhu al Mahfudz, al Hadist. Periode
ketiga; pada tahun 1986-1990, pada tahun tersebut Shahrur mulai lebih serius dalam menyusun sistematika buku dan
merangkai tema-tema secara serasi serta menjelaskan tema-tema tersebut dielaborasi secara
komprehensif.
- Metode dan Corak Penafsiran
Secara garis besar Shahrur menggunakan fungsi akal
secara utuh dalam menginterpretasikan teks, atau menggunakan corak bil ra’y, bukan berarti Shahrur
menafikan posisi Nabi Muhammad sebagai mufassir yang pertama dan para ulama
tafsir periode klasik dalam menafsirkan al Qur’an. Shahrur memandang bahwa
hasil dari penafsiran ulama periode klasik adalah bagian dari tradisi yang
hanya bisa menjawab problematika pada saat itu saja, dan tidak harus tradisi tersebut dikultuskan
sebagai kebenaran yang
selalu relevan pada era abad dua puluh
ini.
Shahrur
sangat mengakui posisi Nabi sebagai penerima dan menyampaikan wahyu Allah yakni;
yang mengubah ajaran yang mutlak menuju yang nisbi/relatif. Hal tersebut
didasari dengan logikanya bahwa Rasulullah tidak pernah menyuruh sahabat untuk
menulis hadis (perkataan, perbuatan, persetujuan, atau larangan dan himbauan).
Dari perspektif tersebut Shahrur menemukan konsepsi baru mengenai sunnah Nabi.
Rasulullah adalah orang yang kali pertama menginterpretasikan teks al Qur’an,
bukan satu-satunya sebuah penafsiran yang selalu sesuai dengan zaman dan
kondisi masyarakat tertentu, karena Nabi juga mempunyai sifat basyariyah
sebagai manusia yang mempunyai banyak kemungkinan. Jika sunnah Nabi dianggap
sebagai ketentuan mutlak sebuah penafsiran maka hal tersebut telah bertentangan
sendiri dengan sunnah Nabi. Adapun metodologi hermeneutika yang dugunakan secara
teoritis oleh Shahrur adalah sebagai berikut;[3]
- Sumber pengetahuan adalah alam materi yang terdapat di luar kesadaran manusia, oleh sebab itu Shahrur menggunakan akalnya untuk memberi pengetahuan murni yang tidak mengandung prasangka dan bukan sekedar gambaran mental.
- Menggunakan filsafat kontemporer yang bersandar pada pengetahuan rasional bermula pada objek konkrit melalui indra pendengaran dan penglihatan, kemudian berlanjut pada pengetahuan teoritiis murni.
- Semesta alam bersifat material, dan akal manusia mampu mengetahui rahasia-rahasianya tanpa batasan yang mengekang. Pengetahuan manusia memiliki karakteristik untuk berkembang secara kontinu yang sesuai dengan level peradaban dan pencapaian ilmu pengetahuan dalam setiap generasi.
- Pengetahuan manusia bermula dari pemikiran indrawi yang terbatas pada kepekaan indra penglihatan dan pendengaran, kemudian meningkat terhadap objek abstrak. Oleh karena itu alam riil adalah alam materi pertama yang dapat diketahui oleh manusia melalui indranya, kemudian meluas dan berkembang dengan mengetahui segala sesuatu melalui akal, tidak hanya melalui indra.
- Al Qur’an tidak pernah bertentangan dengan filsafat sebagai induk pengetahuan. Takwil al Qur’an merupakan hal yang signifikan untuk membuktikan kebenaran ilmiah. Penakwilan ini hanya dapat dilakukan oleh para ilmuan yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan harus sesuai dengan prinsip-prinsip takwil dalam linguistik arab.
- Mengoptimalisasikan seluruh potensi karakter linguistik arab, dengan meniadakan sinonimitas dalam setiap lafadz arab.
- Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa al Qur’an juga diturunkan kepada kita yang hidup pada abad 21 ini, Shahrur memandang seolah Nabi Muhammad baru saja wafat dan telah menyampaikan sendiri kepada kita, oleh karena itu, kita akan mendapati bahwa nalar yang digunakan oleh Shahrur adalah nalar pada abad 21 ini, akan tetapi tidak menutup mata terhadap perkembangan sejarah (turats) tiap generasi ketika berinteraksi dengan al Qur’an.
- Kelebihan Metodologi Shahrur
Dilihat dari metode yang
ditempuh oleh Shahrur dalam mendekati teks al Qur’an adalah upaya dari Shahrur
untuk memodernisasikan pemikiran kaum muslimin secara lebih luas, agar tidak
selalu berkutat pada pemikiran klasik yang dianggap sebagai koridor yang harus
dijadikan landasan dalam menginterpretasikan teks al Qur’an.
Ini adalah wajah baru dari
metode penafsiran yang mengupayakan agar kaum muslimin bisa berfikir lebih maju
tanpa adanya paksaan untuk mengikuti peradaban pada periode klasik. Meskipun
metodologi tersebut telah menuai kontroversi yang luar biasa dari beberapa
kalangan masyarakat, akan tetapi Shahrur sudah mengawali dengan berani untuk
membuka pintu penafsiran baru yang tentunya sesuai dengan kondisi zaman pada
abad dua puluh ini.
- Kritik Metodologi Muhammad Shahrur
Dari sekilas paparan di atas, pendapat
pemakalah, bahwa Shahrur adalah
benar-benar seorang “kontekstualis” sejati yang meyakini keharusan perubahan
penafsiran dan metodolgi terhadap teks al Qur’an. Perubahan ini menuntut
kebebasan atau keterbukaan epistemologi tanpa harus terkungkung oleh tradisi (turāts) ulama pada zaman klasik. Karena itu
Shahrur sangat berani melakukan reinterpretasi kitab suci dan mendekonstruksi
metodologi pemahamannya dengan sangat bebas. Akan tetapi dari beberapa data
yang pemakalah dapatkan, Shahrur dalam rekam jejaknya tidak pernah tercatat
sebagai pelajar ataupun berguru disiplin keislaman secara akademisi. Shahrur
sendiri mengaku belajar secara otodidak dan banyak mengagumi tokoh-tokoh
filsafat seperti Al-Farābi (w. 338/950), Ibn Rushd (w. 595/1198), Newton (w. 1727), Hegel (w. 1831), maupun Charles Darwin
(w. 1882).[4]
Maka tidak aneh jika dalam beberapa pemikirannya Shahrur juga terlihat banyak
terpengaruh dengan filsafat modern khususnya Marxisme dengan dialektika
materialismenya.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Muhammad Shahrur adalah
seorang pemikir liberal yang sangat apresiatif memberikan metodologi baru dalam
menghadapi persoalan masyarakat Islam secara komperehensif, terlepas dari
adanya kritikan tajam yang ditujukan kepadanya, karena dianggap terlalu
berlebihan dalam menginterprretasikan teks al Qur’an. Shahrur meggunakan
analisis sosial sebagai landasan dalam menginterpretasikan teka al Qur’an.
Didalam pemikiran yang diproduksi oleh Shahrur terlihat adanya pemikiran
yang dipengaruhi oleh filsafat modern, meskipun tidak semuanya. Shahrur juga
menganggap bahwa penafsiran pada periode klasik merupakan produk dari tradisi
dan kondisi zaman pada saat itu saja, jadi menurutnya penafsiran pada periode
klasik tidak bisa dijadikan landasan atau koridor dalam menginterpretasikan
teks al Qur’an pada kondisi zaman di era abad dua puluh ini.
Demikian, sedikit pemaparan sekilas tentang metode hermeneutika Muhammad
Shahrur. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya. Kritik dan saran dari
penulisan sangat diharapkan untuk langkah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsuddin, Sahiron dan Dzikri, Burhanudin. Dasardan Prinsip Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer. Cet. I. eLSAQ
Press. 2004.
Diakses;
Senin, 31 Mei 2010 11.20 WIB http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=378:catatan-kritis-atas-pemikiran-muhammad-shahrur-&catid=62:pemikiran-islam&Itemid=99
Diakses; Minggu,
30 Mei 2010. 16:35 WIB. http://almakmun.com/?p=81
[2] Sahiron syamsuddin dan Burhanudin, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al Qur’an Kontemporer, cet I. 2004. Hal.
59-62
Posting Komentar untuk "QIRA’AH MU’ASHIRAH MUHAMMAD SHAHRUR"