Relasi Agama dan Negara Perspektif NU
(Esai; Review dari artikel Berjudul Relasi
Agama dan Negara karya Marzuki Wahid dan Moqsith)
Sudah tentu kita percaya (baca; iman) bahwa Islam adalah agama sempurna,
bahkan paling sempurna dibanding agama-agama lain sebelumnya. Bertitik tolak
dari keimanan itu, kita menyakini pula bahwa Islam adalah cara hidup (way of
life) yang total dan padu yang menawarkan landasan moral dan etis bagi semua
pemecahan semua masalah kehidupan di masyarakat; Islam adalah ad Din
(agama), dunya (dunia), dan daulah (negara/politik). Islam adalah
sistem keyakinan dan sistem syari’ah, sekaligus sebagai agama sempurna yang
didesain Tuhan sampai akhir zaman, karenanya Islam selalu relevan bagi setiap
perkembangan zaman dan tempat (shalihun likulli zaman wa makan). Demikianlah
sebabnya, Islam adalah risalah yang universal (untuk seluruh manusia), mondial
(untuk seantero dunia), dan eternal (sampai akhir zaman).
Namun, Islam bukanlah sistem yang begitu saja diterima secara absolut oleh
pemeluknya, karena kedatangan Islam tidak terlepas dari latar belakang kondisi
sosial dan tradisi Arab pada saat itu. Islam bukanlah
konsep yang serba harus
diseragamkan, juga bukan penyeragaman. Oleh karenanya pasti ada kecenderungan
latar belakang (baca; Asbabun Nuzul). Islam secara praktis tidak bisa
diterapkan di mana-mana, karena masing-masing wilayah mempuyai tradisi yang
berbeda, yang tentunya berbeda saat Islam (baca; al Qur’an) itu diturunkan.
Nilai-nilai dalam Islam berlaku secara lokal, temporal, dan universal.
Mengkaji relasi agama dan negara dalam konsep Islam merupakan persoalan
yang sangat pelik dan kompleks, karena secara teks (baca; al Qur’an) tidak
pernah mengurai secara detail mengenai relasi tersebut. Dengan demikian
perlunya reinterpretasi teks untuk mengkaji hal itu, apakah perlu didirikannya
negara Islam khilafah? Apakah yang negara yang menerapkan nilai universal Islam
bisa disebut negara Islam? Atau apakah yang menerapkan syari’ah secara kaffah
maka itu disebut negara Islam? Bagaimana pola hubungan Agama dan negara yang
bisa mengakomodir seluruh warganya sebagai jaminan kebebasan yang demokratis?
Sederet pertanyaan di atas merupakan kegelisahan yang menjadi problem ormas
NU dalam menyikapi hal tersebut. Dalam perspektif sejarah Islam, pola hubungan
antara negara agama juga mengalami determinasi yang serius. Karena relasi Islam
dan negara sangat menimbulkan fenomena keagamaan yang pada titik tertentu
menimbulkan pemaksaan pemahaman. Sedangkan dalam teks ajaran Islam, al Qur’an
merupakan teks yang mulititafsir yang dengan mudah membuka peluang pluralitas
tafsir (sesuai dengan kebutuhan suatu masyarakat). Dengan demikian tidak akan
pernah ada kebenaran tafsir yang tunggal untuk memahami bagaimana relasi antara
agama dan negara.
Paradigma
Relasi Agama dan Negara
Berangkat dari uraian di atas,
paling tidak ada tiga paradigma dalam menyikapi pola relasi agama dan negara.
Pertama, paradigma integralistik yang menginginkan konsep bersatunya agama dan
negara, karena menurut paradigma itu, Islam merupakan ajaran yang paling
sempurna dan menuntut pemeluknya agar menerima seluruh ajaran agama secara
holistik. Islam merupakan agama sekaligus negara yang harus diaplikasikan
secara totalitas utuh.
Paradigma yang pertama dapat
berimplikasi pada kecenderungan memahami Islam secara tekstual dan skriptural
yang hanya menekankan pada dimensi luarnya saja. Kecenderungan ini akan
mengabaikan konteks dan makna inti dari suatu teks dan mengabaikan
prinsip-prinsip universal dalam Islam.
Kedua, paradigma subtantif. Yaitu negara
tetap berdasarkan nilai subtantif universal agama. Hubungan antara agama dan
negara selalu berhubungan timbal-balik, saling mengisi dan menguntungkan.
Secara sederhana bisa dikatakan bahwa agama memerlukan negara, dan sebaliknya
negara juga memerlukan agama. Pada pandangan ini, agama sebagai fungsi kontrol
dan etika dalam bernegara. Hukum-hukum yang ada di negara bersumber dari
nilai-nilai agama.
Pada paradigma ini, al Qur’an tidak
dijadikan semata-mata sebagai kitab-kitab undang-undang yang harus diterapkan secara
totalitas, melainkan sebagai sumber dasar negara, undang-undang dan hukum dalam
menjalankan praktik politik sekaligus hukum konstitusional. Agama lebih
dijadikan sebagai acuan moral-etik dalam bernegara, dengan demikian pandangan
ini masih mengakui bahwa al Qur’an berfungsi sebagai landasan etik dalam
berpolotik dan bernegara yang menerapkan nilai-nilai universal Islam, seperti
kesamaan derajat, keadilan, persaudaraan, dan kebebasan.
Ketiga, paradigma sekularistik yang
menolak kedua paradigma di atas. Paradigma ini menekankan pada pemisahan antara
agama dan negara, bahwa negara harus berdiri sendiri tanpa landasan agama,
karena agama adalah wilayah individual saja, sedangkan negara adalah wilayah
yang berbasis pada komunitas masyarakat. Jadi tidak perlu ada ketercampuran
antara negara dan agama, karena menurut pandangan ini ketika adanya
ketercampuran antara wilayah agama dan negara, maka yang terjadi adalah
kesimpang-siuran yang saling mendiskreditkan satu dengan yang lain.
Negara
Pancasila Sebagai Solusi Perspektif Gus Dur
Dalam sejarah keindonesiaan,
pancasila merupakan dasar negara yang dirumuskan oleh foundingfathers bangsa,
ini tidak terlepas dari keterkaitan tokoh ulama’ Indonesia pada saat itu,
terutama ulama NU, seperti KH. Hasyim Asy’ari. Jadi tidak dipungkiri bahwa Pancasila
merupakan ideologi yang bersumber dari nilai-nilai Islam itu sendiri.
Menurut Abdurahman Wahid (Gus Dur)
Pancasila adalah ideologi yang mendukung sistem demokrasi, sehingga sering disebut
sebagai demokrasi pancasila, yaitu demokrasi secara islam. Gus Dur berpendapat
bahwa Pancasila adalah hasil dari kompromi-kompromi politik yang ingin menjaga
keutuhan negara Indonesia sekaligus memungkinkan semua warganya bisa hidup
bersama-sama secara harmoni, dengan menerima semua aspek kekayaan tradisi yang sudah
ada. Menurutnya itu merupakan langkah konkrit realistis secara politik bila
melihat dari pluralitas agama di Indonesia.
Gus Dur juga berpendapat bahwa Islam
secara definitif tidak pernah menerangkan secara konseptual tentang negara
Islam. Dalam perspektif ahlu sunnah wa al jama’ah pemerintah ditilik dan
dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari norma formal serta eksistensinya;
negara Islam atau bukan. Selama kaum muslimin di Indonesia menjalankan
kehidupan beragama mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak
berpusat lagi dalam pemikirannya tentang agama. Biarkan masyarakat memilih dan
menjalankan agamanya sesuai keyakinan tanpa intervensi dari negara.
Filsafat politik yang dijalankan
oleh Gus Dur sangat menghargai hak dan menjunjung tinggi derajat martabat
masyarakat Indonesia, dan ia mampu mengkombinasikan antara kesalehan ajaran
Islam dan kebebasan hak individu. Dengan demikian segala bentuk sekterianisme,
eksklusifisme, dan primordialisme harus dihilangkan, dan menjunjung tinggi hak
setiap individu bahwa semua warga memiliki derajat yang sama, tidak peduli asal
usul agama, ras, etnis, bahasa, adat dan jenis kelamin.
Yang terpenting menurut Gus Dur
adalah mengimplentasikan nilai-nilai universal Islam, tidak hanya bertolak pada
segi formalistiknya saja. Dengan menerapkan nilai-nilai Islam, maka bisa
disebut telah memperjuangkan Islam. Islam juga tidak hanya dibaca dari segi
doktrinal saja, tetapi juga dilihat dari segi nilai spirit dan ruhnya sebagai
langkah pendewasaan dalam menyikapi kompleksitas problem di Indonesia.
Sikap NU
Terhadap Dilema Negara Pancasila
Dilema pancasila sudah dimulai sejak
zaman orde baru yang ingin mempertahankan keutuhan NKRI dengan menetapkan
satu-satunya ideologi yang dan satu-satu asas yang harus digunakan oleh
organisasi keagamaan yang ada di Indonesia. Hal itu menimbulkan kontroversi
yang sangat hebat. Terutama komponen yang tidak sepakat dengan orde baru dan
ingin mendirikan negara Islam. Ini merupakan problem yang sangat pelik, dilihat
dari multikultural yang ada di Indonesia. Namun pada akhirnya Pancasila
berhasil ditetapkan UU No. 8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan.
Namun persoalan itu tidak selesai
begitu saja, setelah tumbangnya orde baru, timbul lagi gagasan untuk mendirikan
Negara Islam di Indonesia. Upaya mencamtumkan kembali isi Piagam Jakarta ke
dalam batang tubuh UUD 1945 oleh sebagian gerakan Islam pada sidang tahunan MPR
2000 dan 2002.
Bagi organisasi NU tentang persoalan
dilema pancasila, relasi antara agama dan negara itu sudah dianggap selesai
pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 dengan menerima ideologi
Pancasila sebagai asas bangsa Indonesia dan memulihkan kembali NU sebagai
organisasi keagamaan sesuai dengan Khittah 1926.
Keputusan paradigmatik penerimaan NU atas Pancasila dan keberadaan negara-bangsa dikenal dengan “Deklarasi
tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”. Deklarasi ini merupakan simpul
dan titik akhir dari pembahasan keagamaan (bahtsul masa’il) ulama NU tentang Pancasila sebagai ideologi negara, tentang wawasan
kebangsaan, dan posisi Islam dalam negara-bangsa. Secara lengkap deklarasi itu
berbunyi sebagai berikut;
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah
agama, dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk
menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar
negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,
yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian
keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan
syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar
manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan
perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari.at agamanya.
5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas,
Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang
Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak.
Dalam deklarasi itu, jelaslah bahwa NU
mengakui dan mendukung penuh Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara
Republik Indonesia, yang pengamalannya bisa menjadi perwujudan dari upaya umat
Islam untuk menjalankan syariat agamanya. NU dengan tegas dan jelas memisahkan
antara negara dengan agama. Pancasila adalah dasar negara, bukan agama.
Keberadaan Pancasila tidak dapat menggantikan agama atau dipergunakan untuk
menggantikan kedudukan agama. Meski begitu, bukan berarti agama tidak berurusan
dengan negara. Dalam deklarasi itu malah dinyatakan bahwa adalah kewajiban
NU—atau dengan kata lain kewajiban umat beragama—untuk mengamankan tafsir yang
benar tentang Pancasila dan sekaligus pengamalannya yang murni dan konsekuen
agar sesuai dengan upaya umat Islam Indonesia dalam menjalankan syari.at
agamanya. Ini artinya NU memposisikan agama sebagai landasan moral-etik bagi
negara agar negara tetap berada dalam kontrol agama untuk menegakkan keadilan
dan selalu berorientasi pada kesejahteraan dan kemaslahatan rakyatnya.
Deklarasi ini sekali lagi menjelaskan
posisi agama dan negara yang terpisah, tetapi secara relasional mempunyai
simbiosa yang mutualistik dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan,
kemaslahatan, kerahmatan, dan pembebasan bagi umat manusia.
Posting Komentar untuk "Relasi Agama dan Negara Perspektif NU"