Ads #1

Sastra, Peradaban dan Santri

Imagination is more important than knowledge
(Albert Einstein)

 Tentu sudah menjadi hal yang biasa, bila seorang santri berbicara tentang sastra, karena tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan santri sangat erat hubungannya dengan sastra, seperti adanya tradisi nadham dan suluk. Jadi, sudah sewajarnya bila saya harus berbagi kegelisahan ini. Kata Sitor Sitomurang “Kegelisahan adalah tanda hidup”

Kehidupan pesantren adalah model pendidikan sastra yang paling modern bagi saya, karena di sana tidak hanya diteorikan, tapi juga di aplikasikan dengan baik dan istiqamah. Maka dalam bayangan saya, bila seorang anak dididik dengan sastra, lalu dewasa di pesantren yang tradisi sudah sebegini kuat dan membatu dengan sastra, lalu ia besar dalam dunia tulis menulis sastra, maka sebagai fungsinya sastra akan menjadi penghubung antara intuisi, institusi pesantren dan masyarakatnya. 

Pada saat itulah sastra benar-benar menemukan identitasnya hingga disebut dengan sastra pesantren yang siap mengubah tatanan yang kurang sesuai dengan norma.

Ada 2 dunia yang sedang dan selalu berkembang dalam pikiran kita. Pertama dunia fakta, yaitu dunia yang sekarang kita jalani, dunia yang sedang kita lihat secara kasat mata, dunia yang benar-benar terjadi dengan segala problematikanya. 

Kedua dunia ide/imajinasi, yaitu dunia yang sebenarnya hanya ada dalam pikiran kita, namun tidak/belum teraktualisasikan di dunia nyata. Setiap orang mempunyai dunia imajinatif tersendiri, karena dunia imajinasi adalah ruang untuk kita berangan-angan dan yang mungkin akan kita wujudkan di dunia nyata.

Banyak orang yang menjadi tergugah jiwanya atau semangatnya menjadi membara, mengubah cara pandang tentang kehidupan hanya karena membaca sebuah karya sastra, baik itu puisi, cerpen, atau novel. 

Kenapa? Karena sesuatu yang dibentuk atau diciptakan dengan kemasan yang sangat indah dan mengandung unsur estetik, maka akan lebih mudah dicerna dan lebih mudah diresapi oleh pembacanya sekaligus membawa pembaca pada dunia yang sebenarnya tidak nyata, tapi ideal bagi penulisnya. 

Tidak berlebihan bila Ali Syariati pernah berkata “Bila Al Qur’an tidak ditulis dengan bahasa puitis, mungkin sekarang tidak ada lagi yang membacanya”. Hal itu menunjukkan bahwa bobot sebuah pesan, makna, dan ideologi sangat ditentukan oleh cara dan gaya penyampaiannya.

Kenapa sastra jadi alat penyampaian gagasan?

Banyal hal sebenarnya yang menjadi alasan, kenapa sastra menjadi alat penyampaian gagasan. Di dalam dunia sastra, merupakan dunia ideal bagi penulisnya (terlepas dari relativitas keidealan masing-masing individu). Menurut saya, sastra itu tidak pernah menggurui, ia hanya sebagai refleksi dari kehidupan di sekitanya manusia, ia pandai mengolah makna kehidupan, pesan kehidupan, dan tujuan hidup dari manusia, sehingga dikemas dengan sebuah karya, baik puisi, cerpen, maupun novel. 

Berbeda dengan tulisan artikel, esai, atau model tulisan yang lain, ia sarat akan menggurui, seolah-olah pembaca diposisikan sebagai orang yang harus dinasehati, dan penulis sebagai orang yang super pandai untuk diposisikan sebagai pendakwah.

Semangat dakwah memang jangan sampai luntur dalam jiwa dan diri kita sebagai kaum santri yang nantinya akan terjun langsung di masyarakat, namun dengan sastra, jangan sampai memosisikan seolah-olah diri kita sebagai orang yang paling benar dan yang berhak berdakwah. 

Sastra hanya sebagai mediasi kita untuk berdakwah, bukan diri kita. Jadi, secara ringkas bahwa pembaca harus diajak bersama-sama merenungi samudera kehidupan yang luas ini untuk bisa menarik kesimpulan dari beberapa kejadian di sekitarnya.

Sastra yang baik adalah sastra yang mampu menggambarkan pergulatan manusia dalam perubahan dan segala isunya pada saat itu. Lalu ia memahami situasi, kemudian menggambarkannya dengan penghayatan yang maksimal, jadi ia menulis tidak hanya memakai otak dan pena, tetapi juga dengan seluruh kesadarannya sebagai tanggung jawab kegelisahan pada saat itu, sehingga tidak menghasilkan tulisan yang klise atau bahkan jahiliyah yang keluar dari tujuan perubahan masyarakat, namun mampu mengurai dan menggugah masyarakat tentang siapa dirinya, masyarakatnya, ekonominya, sejarahnya, dsb. 

Hal itulah yang kemudian dilakukan oleh para mushannif kitab untuk menjawab tantangan pada saat itu. Itu yang sepatutnya kita tiru.

Menjadi sastrawan besar

Tentu tidak semudah menjadi pejabat negara, politisi, selebritis, atau meraih gelar di perguruan tinggi. Seseorang harus memupuk semangatnya sejak dini, lalu mempelajari literatur dan tradisi ilmiah dengan tekun, dan memahami kondisi masyarakatnya, sehingga seiring dengan pertumbuhan usia dan kematangan literaturnya, lalu pada saat itu muncullah gagasan-gagasan yang diperoleh dari kegelisahan dan permenungan yang bisa diaktualisasikan lewat huruf demi huruf hingga menjadi sebuah buku, novel, puisi atau cerpen. 

Dalam menjalani proses itu, sastrawan harus mampu bertahan dengan keterasingan sosial, kemiskinan, dan kesunyian, sebagai harga mati yang harus dibayar agar misi dan visinya diterima oleh sejarah. Siapa yang mampu bertahan? Santrilah yang seutuhnya bisa menjawab itu. Kesederhanaan santri, pola hidup yang selalu akrab dengan sunyi untuk nderes, menghafal pelajaran, baik berupa nadham, kitab klasik dsb. Santrilah yang mampu dan terbiasa membayar itu.

Kata adalah inspirasi perubahan dan tulang penggerak, lewat kata kamu bisa tahu, seberapa besar kamu bisa mengungkapkan perasaan jiwamu tanpa ada satupun yang terpendam
(Taufik Ismail)

*Disampaikan di perpustakaan pesantren An Nur Ngrukem dalam acara Mujahadah Sastra, pada Sabtu 10 Desember 2011.
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Sastra, Peradaban dan Santri"