Tentang Sastra

Table of Contents

 “Seni itu tidak meniru apa yang terlihat,
tapi mewujudkan sesuatu yang tak terlihat menjadi terlihat”
(Paul Klee)
Perkembangan sastra mulai berabad-abad yang lalu dan sampai sekarang ini, di zaman/orde yang paling baru, selalu berkembang sesuai dengan zamannya dan tak kunjung habis diperbincangkan, karena kekuatan kata yang sangat luar biasa hebatnya, yang mampu meracuni para pembacanya untuk ikut serta berperan dan meresapi sebuah sastra. Maka tak heran bila orang bisa menangis hanya karena membaca sebuah sastra. Tak hanya menangis, malahan bisa saja marah panas, benci, gandrung, haru, dsb.
Sastra merupakan bagian dari kesenian yang sangat luar biasa, oleh karenanya banyak orang yang berminat, ada yang hanya menjadi penikmat sastra, ada juga yang sampai ingin menekuni sehingga memunculkan para tokoh sastrawan (seniman sastra). Bahkan, Al Qur’an yang selalu kita baca merupakan sastra yang sangat hebat keindahan bahasanya (dari dulu sampai sekarang, dan sampai di akhir zaman). Sehingga dalam penggalan puisi WS. Rendra alm. Yang berjudul “kupanggili namamu” tertulis “Tuhan adalah seniman tak terduga”.
Kalau dilihat dari kutipan pendapat Paul Klee di atas dapat kita pahami bahwa seni itu tidak pernah dan jangan meniru atas apa yang sudah terlihat oleh mata, karena ide itu bertempat di alam pikiran, dan apa yang sedang kita rasakan. Meskipun terkadang banyak yang melihat sebuah realitas dulu, baru mendapat ide. Dan itu hanya berfungsi menjadi perangsang untuk mendapatkan sebuah ide, bukan melihat adalah ide itu sendiri, dalam bahasa lain disebut mendapat “inspirasi”
Bukankah sangat langka seseorang yang bisa merasakan dan membaca apa yang dirasakan oleh orang lain?. Itu yang disebut “tak terlihat.” Dengan demikian, sastra itu hanya berkewajiban mewujudkan apa yang ada di alam pikiran kita, alam bawah sadar, dan imajinasi kita dengan bertujuan agar bisa dinikmati dan dilihat oleh orang lain. Dengan apa kita mewujudkan? Terserah kita sendiri, mulai dari bentuk patung, tulisan, lukisan, dsb. Namun, Karena kita fokus berbicara masalah sastra maka dengan tulisan kita dapat mewujudkannya, mulai dari bentuk puisi, prosa, cerpen, novel, gurindam, bahkan pantun.
Terakhir, perkenankan saya untuk mengutip kalimat dari salah seorang sastrawan amerika William Forrester “Mulailah menulis dengan hati. Setelah itu perbaiki dengan pikiran. Berpikir bukan merupakan kunci utama dalam menulis. Melainkan mengungkapkan rasa apa saja yang sedang dirasakan.”
*pernah dimuat di buletin Sastra Senja edisi ketiga 2010
  
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment