Ads #1

Cinta Berlabuh Doa

Bila seorang pujangga berkata “cinta tak harus memiliki”. Maka bagiku tidak, Kau lah cintaku yang harus tetap kumiliki di lubuk hati.

Dipenghujung senja aku berlari diatas pasir pantai seorang diri, seiring mentari yang berangkat pulang dari pandangan mata, pergi menyinari ke sisi lain dari dunia yang berhak merasakan hangatnya. Terasa dingin menggetarkan bulu dan kulit sampai ke tulang-tulang. Merasakan angin yang meniupkan kabar tentang kehidupan saat itu. Aku tertunduk malu pada batu karang yang sanggup setia dan sabar menunggu hantaman ombak, aku kagum dengan pesona rona mentari yang selalu adil dalam membagi kehangatan, aku cemburu pada sang ombak yang bisa menyisir sampah laut ke tepian. Aku iri kecintaan laut pada nelayan yang selalu memberi kehidupan tanpa merasa kehilangan. Seharusnya aku tidak patut membenci dirimu dan dia. Aku harus membenci diriku sendiri, kenapa aku selemah ini menghadapi semua yang telah terjadi.

Lima bulan yang lalu, sebelum kisahku dengan dia ditutup, Fitri namanya. Ingin sekali aku mengajaknya pergi ke pantai ini, bermain membuat gunung dari pasir pantai, bertukar cerita

tentang kejadian apa saja saat kami berpisah karena perbedaan tempat mencari secercah ilmu, atau sekedar berbicara pada alam tentang mimpi dan harapan pada masa mendatang yang selalu kami bangun bersama sebelum beranjak tidur. Kini semuanya sudah hancur ditelan badai cemburu yang maha dahsyat, setelah ceritanya tentang lelaki yang biasa menemani saat kami berpisah jauh. Entah siapa aku tak mau tahu nama lelaki itu. Dialah yang selalu ada disamping fitri bila kami terpisah, mendengarkan keluh kesahnya yang sebenarnya sangat rapuh bila sedikit tertimpa masalah.

Aku dan Fitri sudah mengenal hampir tiga tahun, meskipun kami sudah saling mengungkapkan perasaan yang sama yaitu cinta, sesuai titah Tuhan yang diberikan kepada manusia. Akan tetapi Fitri belum siap menjalani seperti orang pada umumnya, dan akupun sadar tak mau mengikatnya dengan apapun karena aku memang tak punya apa-apa selain cinta dan semangat untuk membahagiakannya. Hanya bisa sekedar menahan mimpi bersamanya itu dengan bersabar sampai muncul keajaiban terbesar yang selalu kutunggu. Hingga suatu saat kuberanikan diri untuk mengatakan;

“Bila nanti ada seseorang yang bisa membuatmu bahagia, maka pilihlah dan jalanilah, karena aku yakin suatu saat nanti kau akan mengalaminya. Bukan berarti aku tak lagi mencintaimu, aku tahu diri bahwa adanya jarak dan waktu yang membentang memisahkan kita. Aku tak selalu ada saat kau butuhkan menjadi teman cerita dan menemani hari-hari indahmu di sana. Namun ketahuilah akan satu hal bahwa aku akan selalu mencintaimu hingga akhir menutup nyawa”

“Terimakasih atas kebesaran jiwamu, aku yakin kita akan sampai pada waktu yang sakral bagi kita, percayalah! aku tak akan mengingkari. Kumohon bersabarlah. Kau tak akan pernah terlupakan”

Maha suci Tuhan, balasan kata-kata itu yang selalu mengiringi langkahku. Kujadikan semangat menjalani hidup yang serba rumit dan susah dalam menjalani hidup menjadi pelajar sekaligus pekerja serabutan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, karena jatah dari rumah hanya cukup untuk makan dalam beberapa hari saja..

Fitri adalah seorang wanita yang mampu menjaga diri dalam menjunjung tinggi martabatnya sebagai entitas wanita, tak mau memamerkan tubuh dengan berpakaian terbuka, selalu mengenakan tabir tubuh saat keluar dari rumah, itulah sedikit alasan yang membuatku jatuh hati. Sangat wajar juga bila banyak yang peduli dan sayang dengan fitri terutama lawan jenisnya. Aku pun sangat menyadari dengan kenyataan itu, membuka mata selebar-lebarnya dan bercermin diri. Aku hanyalah seorang pekerja srabutan yang gajinya hanya bisa buat makan dan beli rokok, terkadang ada proyek untuk menulis, dan itupun tak seberapa gajinya. Sedangkan Fitri, anak dari seorang dosen di suatu perguruan tinggi terkemuka di kotanya, yang mestinya hidup dengan serba ada dan kecukupan. Aku mulai putus asa, meskipun banyak yang mengatakan bahwa cinta tak pandang materi, tapi bagiku tidak. Sebanding dalam sebuah hubungan serius dan sakral haruslah dipertimbangkan demi kebahagiaan selanjutnya.

* * *
Sambil duduk berselimut pasir dikaki, sementara bulan sudah sedari tadi menggantikan matahari dalam bekerja. Suara burung malam serta ombak yang mampu membius kesunyian diri dan jiwa. Tak terasa sudah hampir tengah malam, masih cerita tentang aku dan dia. Setelah aku mengatakan kepadanya bahwa aku tak pernah mengikatnya menjadi hubungan yang khusus dalam menggapai mimpi yang pernah terukir, aku dan Fitri jadi agak berjauhan dan jarang berkomunikasi. Berbeda saat masih pertama kenal dulu, walaupun terpisah jauh, namun masih bisa rajin berkomunikasi jarak jauh via handphone, bahkan aku sampai tahu kegiatannya mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, cerita-ceritanya dari hal yang sepele hingga hal besar yang ia alami.

Rindu membawaku pulang. Saat aku kirim kabar bahwa aku sudah pulang ke kampung halamanku, ia sangat senang mendengarnya, karena sudah lebih dari tiga bulan tak bersua. Rasa rindu menyelinap halus ke dalam hati dan benakku. Kemudian selang beberapa hari aku pergi dengannya ke tempat yang sering kami kunjungi kala rindu. Aku terkejut melihat kedatangan pesona senyum indahnya yang mampu menjinakkan darahku, jilbab kuning memagari tepian wajahnya yang anggun membuatku semakin buta dengan keindahan yang lain, senyum bibir merekah indah yang tersungging tepat saat aku memandangnya. Kami pun beranjak ke gubuk yang pernah kita singgahi, di sini adalah tempat bersejarah yang tak pernah terlupa bagiku. Kedai makanan di pinggiran kota, meja bernomor 91, di atas kolam ikan emas dan koi. Kenangan memahat cinta di hati yang abadi bagiku.

Kami mulai bicara setelah hening beberapa saat, saling bertanya kabar, bertukar cerita, dan mengenang hari-hari indah saat mulai pertama kami bertemu. Ada yang mengganjal di hati, aku keheranan setelah kutanya hari, tanggal dan bulan saat pertama bertemu. Fitri tak bisa menjawab, barang kali lupa tentang hari indah itu. Padahal dulu ia hafal sekali tentang hari itu. Ada apa ini? Besitku dalam hati. Tiba-tiba ia tercengang melamun, kosong tatapan matanya. Minggu, 25 maret 2008 bisikku kecil. Tanpa pikir panjang kualihkan pembicaraanku dengan hal lain. Ia tersenyum kembali saat aku mulai bersenda gurau menggodanya, terkikis rinduku sedikit demi sedikit, namun aku tak mau menghabiskan rinduku semuanya di tempat ini. Akan aku sisakan rindu ini untuk pertemuan berikutnya yang tentunya berharap jauh lebih indah.

Fitri pergi meninggalkan bayanganku tapi tidak harapanku, ia masih bersedia membawa harapan itu pergi menemani langkah hidupnya saat kami terpisah jauh lagi dan akan mempersembahkannya lagi dipertemuan berikutnya. Senyum perpisahan yang indah merona tadi mengiringi langkahku untuk kembali lagi ke tempat aku mencari ilmu sekaligus pekerjaan.

* * * * *
Malam tersisa sepertiga, bulan seperti menggunjing pada langit oleh kehadiranku karena sedari tadi tak berbuat apa-apa selain duduk, menghisap rokok, menguburkan kaki di pasir pantai dan sama sekali tak mengucap sepatah kata. Aku lupa habis berapa batang rokok untuk malam ini. Padahal fitri sudah berulang kali menasehati aku untuk berhenti merokok dan mulai menjaga kesehatan, sengaja kuabaikan memang walaupun aku selalu mengingatnya. Bintang-bintang terlihat meredup seperti bersiaga menyambut subuh yang sebenarnya masih lama bagiku. Suara ombak masih setia menemani gigilku.

Aku mulai teringat kembali saat fitri pergi berkunjung ke kotaku yang kutempati hampir 5 tahun ini, di kota ini aku belajar hidup mandiri dan jauh lebih sederhana dari rumah. Bertepatan dengan hari kelahiranku yaitu 12 maret. Saat malam mulai membuka tirainya fitri memberi kabar bahwa ia sudah ada di kota ini hanya ingin memberiku bingkisan kecil hadiah ulang tahunku yang ke 25. Aku terharu mendengar itu, segera kutemui dia di tempat yang pernah kukunjungi dengan kawan-kawanku kala bercengkrama bercanda melepas duka.

Fitri seorang diri duduk di sana, nampak punggungnya yang tertunduk haru, tak tahu sedang apa yang terfikirkan. Tenang kujamah kesendiriannya dengan kehadiranku.

“Sudah lama?” kataku membuka tabir hening.

“Lumayan” sembari menatap wajahku.

Senyum termanisku tak mengubah wajahnya yang membara membakar jiwaku seperti ingin menceritakan kabar duka. Senyum bercampur getir. Suaranya seolah membuatku ikut merasakan yang ia rasakan, seperti ada yang berat menimpa kekasih impianku ini. Aku dihujani rasa iba dan penasaran.

“Selamat ulang tahun ya, semoga Tuhan memberikan yang terbaik untukmu. Terimalah kado yang kubungkus dari rumah tadi” sambil menjabat tanganku.

“Terimakasih atas kadonya sekaligus kehadiranmu dihari yang sangat berharga bagiku”

Suasana kembali hening menyelimuti, lampu temaram kota merekam kedatangannya dan kisah tentang asmara dan rindu yang kian membelenggu. Ingin kutumpah ruahkan segala hasrat jiwa ini ke dalam lubuk hatinya lewat kata-kata indah yang belum pernah tertulis dan terucapkan. Aku menunggu ucapan cinta dan rindunya untukku, seperti pertemuan-pertemuan yang lalu. Tiba-tiba …

“Dua bulan yang lalu, aku dekat dengan seorang lelaki yang baik budi pekertinya yang selalu menemani hari-hari melangkahkan kaki saat aku lemah karena kerinduanku padamu. Dia selalu memperhatikan dan mengasihiku dengan segenap ketulusan hati. Sampai datang perasaan yang selama ini kutakutkan, tak sadar bahwa aku sudah mencintainya, aku tak sanggup menolak perasaan ini kepadanya. Sedangkan dia begitu tulus mencintaiku. Hingga kami sepakat untuk menjalani semua bersama, Maafkanlah aku bila kejujuranku ini membuatmu pahit dan kecewa. Namun sungguh, demi kebahagiaan yang pernah kau beri, aku masih mencintaimu”.

Aku tertegun mendengar semua itu, sesekali kulirik wajahnya yang masih tertunduk sambil menyeka air mata yang begitu berat untuk jatuh membanjiri wajahnya. Aku ingin membakar marah di jiwaku, namun suara isak tangis yang membuatnya sulit bernafas mampu meredam amarahku. Seluruh perasaan yang menguasai segenap jiwaku ingin kuledakkan saat itu juga tapi aku tak kuasa, sekedar menangis pun aku tak bisa, kemudian berkata;

“Sungguh aku kagum dengan kejujuranmu mengatakan semuanya. Waktu yang kutakutkan selama ini ternyata terjawab dihari ini, aku yakin ini akan terjadi padamu, dan aku tak akan bisa berbuat apapun kecuali menerima dengan kesabaran dan lapang dada. Simpanlah kata maafmu itu, karena kau tak salah dan tak perlu meminta maaf. Kejadian ini sangatlah alamiah sekali. Dari awal aku sudah membebaskanmu untuk tak terikat denganku karena aku sadar akan keterbatasan yang kumiliki. Tapi ijinkanlah aku tetap mencintai dan menyayangimu sampai kapanpun, karena kau adalah bagian dari rahasia terbesar dalam hidupku, semoga kau meraih mimpi-mimpi itu meskipun tak bersamaku, karena cinta tak harus bersatu” sama sekali aku tak menitikkan air mata. Aku tak sampai hati bila fitri melihat air mata dan mendengarkan isak tangisku, karena aku yakin ia tak sanggup melihat dan mendengarnya.

Di hari yang semula berharap agar aku dapat merengkuh kebahagiaan dan rasa syukur atas pertemuan itu, ternyata berbalik menjadi hari yang penuh cobaan dan kesedihan. Mimpi-mimpi yang telah terbendung kala menjelang tidur, seketika runtuh tak berbekas apapun. Seharusnya aku tak membabi buta kecewa seperti ini, karena dari awal aku memang tak pernah mengikatnya bahkan melarangnya untuk jatuh cinta kepada seseorang yang terbaik, tapi kenapa harus secepat ini kisah yang kualami dengannya. Dari awal juga aku memang sudah tak yakin bisa membahagiakannya dengan hanya bermodal cinta dan semangat, apalagi ditambah dengan jarak yang memisahkan.

* * * * * *

Wajah langit menampakkan kemilau mega kemerahan dari ufuk timur. Laut terlihat seperti menyatu dengan langit. Sementara nelayan sudah bergegas menepi membawa segumpal kebaikan dari laut. Aku merogoh saku mencari rokokku ternyata tinggal satu, hampir aku menyulut tiba-tiba adzan subuh menggetarkan nadiku, menghangatkan dinginku, meredam cemburu pada ombak, menghilangkan iri pada laut, mengubah benci pada fitri dan dia menjadi cinta yang tak pernah usang. Bergegas aku bersuci menyucikan semua yang ternoda semalam tadi dengan air cinta laut yang selalu bersih dan suci. Kemudian menghambakan diri pada Tuhan yang maha sendiri. Menengadahkan tangan bersimpuh dikaki-Nya. Tak lupa aku bermunajat agar Fitri selalu dalam keadaan bahagia dan tak pernah mengalami seperti apa yang sedang kualami, dan itu selalu kulakukan saat aku menghadapkan wajahku pada Tuhan. Karena aku mencintainya seperti aku mencintai diri sendiri, dan mencintainya adalah mencintai hidup. Akan kukemas rapi ceritaku bersamanya dalam lembaran hidup untuk selanjutnya. Aku yakin fitri lebih bahagia di sana tanpaku.

Sebelum aku bergegas pergi meninggalkan matahari yang hampir terbit sempurna di ujung laut dalam penglihatanku, ku kirimkan pesan lewat sms kepada fitri; sebelum aku tenggelam dalam imajimu/ ijinkan aku untuk tetap milikimu dalam lubuk hatiku/ semoga selalu mendengar do'aku untuk kebahagiaan kalian.

 * * * * *
Jogja, 21 august 2010
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

3 comments for "Cinta Berlabuh Doa"

Comment Author Avatar
selalu saja cinta.

duh....

inilah hidup.
ada rasa dan asa.
ada cita dan cinta.

ada sahabat dan kerabat.

low bleh sdkt curhat...
aku masih mnyimpan tanya pada seorg sahabt yg kini telah hilang. bukan pergi.
tapi hilang. hilang dari hari2Q. tapi bukan dari hati dan jiwaQ.
saat ku hendak bertnya padanya, bibirku terkunci rapat demi hapap yg ia dekap dan harga diri yg dia bangga.
Dia. Dia. Dia.
hem....
meski kata temenQ, dia lebih sakit dari derita yg aku rasakan dari smua....
tapi aku masih selalu merindunya.
akankah persahaban kami utuh seperti sedia kala....?
Tuhan...... siapa yg salah dari adanya sebuah rasa yang Khadir dalam rentang masa yang berbeda?
Comment Author Avatar
hehehe

Yang penting pean tahu bahwa ia sedang bahgia ...

ahhhh
memang...
Hhhh
Comment Author Avatar
sekarang aku udah tahu...
trimaksih....