Qada Salat
Image by BulentYILDIZ from Pixabay
Rutinitas salat magrib berjamaah adalah salah satu hal yang saya sukai di rumah ini, sebab inilah waktu ketika kami semua bisa berkumpul bersama. Namun ketika masih menunggu istri mengambil air wudu, tiba-tiba Yahya sudah menggelar sajadah dan hendak salat.
“Lo, Yahya tunggu sebentar dong, Ibu baru ambil wudu itu, sabar,” kata saya sambil melihat wajahnya yang datar hendak takbiratul ihram.
“Yahya mau qada salat, Bapak. Tadi Yahya belum salat asar.”
“Hah? O…”
Ya, saya hanya menjawab begitu, O saja.
Qada salat ini bukan hal yang pertama, beberapa kali ibunya sudah mengajarkan bahwa ketika ketinggalan salat, bukan berarti ditinggal begiru saja, melainkan tetap dilaksanakan dengan cara qada.
Di usianya yang baru 7 tahun, saya tidak terlalu ketat sebenarnya masalah salat, melainkan ibunya yang sangat “cerewet” masalah ini. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. yang menyabdakan “Perintahlah anak-anakmu salat ketika usia tujuh tahu, dan lebih keras lagi ketika sudah usia 10 tahun.” (HR. Abu Dawuh: 495)
Bagi saya, ketika sudah 7 tahun dan sudah memerintah untuk salat sudah cukup. Mau dan tidak mau itu urusan lain. (Padahal ini alasan bapaknya saja, untuk tidak mengatakan malas nyuruh salat)
Lagi pula, yang terpenting adalah memberi contoh. Keyakinan saya, apa yang dilakukan orang tua di rumah, itulah yang akan dikerjakan oleh anak. Jika saya dan istri istikamah salat berjamaah di rumah dan dilihat oleh anak-anak, saya kira cukup untuk memberi tahu bahwa salat itu penting.
Kembali pada salat qada yang saya jadikan sebagai judul tulisan ini. Saya masih bingung sebenarnya ketika menulis ini, ada dua hal yang penting; membahas salat qada atau membahas anak?
Hm…
Saya pilih membahas anak saja.
Jadi begini…
Saya mengambil dua pelajaran dari kejadian ini: kejujuran dan kesadaran anak.
Kejujuran
Beberapa kali saya sering khawatir melihat Yahya yang takut bercerita, ia sulit bercerita dengan saya. Misalnya, ketika ia pulang dari bermain langsung menuju kamar dengan mata yang sayup menandakan sedih. Ketika saya bertanya kenapa, ia sering menolak bercerita. Saya khawatir jika dewasa, ia tak nyaman bercerita jujur dengan bapaknya sendiri.
Namun, kekhawatiran itu ternyata menyusut begitu saja ketika mendengarnya “Yahya mau qada salat, Bapak. Tadi Yahya belum salat asar.” oleh sebab itu saya hanya menjawab O saja. Kata O saja itu sebenarnya menyimpan rasa senang di hati. “Oh, anakku sudah berkata jujur.”
Sambil menunggunya selesai qada salat asar, saya menghela napas dengan tenang.
Kadang saya sendiri tidak jujur dalam pengasuhan, apa yang saya ucapkan tidak sama dengan apa yang saya inginkan. Anda bisa merujuk tulisan saya tepat setahun yang lalu tentang hal itu.
Saya terpaksa mengtip lagi kalimat Shakespare bahwa “Kejujuran adalah warisan paling berharga
Kesadaran
Selain kejujuran yang menenangkan, satu hal lagi yaitu tentang kesadaran. Ia sadar meninggalkan salat asar, sekaligus ia menyadari ada konsekuensinya yaitu qada. Ini bukan soal kualitas salatnya, tapi soal karakternya. Saya berharap hal itu tidak hanya terjadi di ranah agama saja, tetapi juga sosialnya.
Saya sering sadar atas apa yang saya lakukan, tapi tidak menyadari atau mengabaikan konsekuensinya. Tak usah jauh-jauh, tulisan saya kemarin tentang menunda-nunda pekerjaan.
Menyatukan pikiran dengan tindakan itu butuh usaha keras. Melihat Yahya yang sudah menyadari perbuatan dan konsekuensinya, bagi saya itu sudah lebih dari cukup untuk mengatakan alhamdulillah.
Di tengah rutinitas salat magrib yang saya sukai, saya tidak hanya melihat Yahya yang sedang qada salat, melainkan juga melihat sebuah cerminan diri. Ketenangan yang saya rasakan sore itu bukanlah karena hilangnya satu beban, melainkan karena pelajaran berharga dari seorang anak tentang arti sebuah kesadaran dan tindakan.
Post a Comment