EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM
Bookmark

Menulis agar Bisa Keluar dari Mode Otomatis

Menulis seperti membebaskan diri dari rutinitas-rutinitas (kebosanan) yang membelenggu.
Image by Pexels from Pixabay

Bangun dari tidur, wudu lalu salat, membuat secangkir kopi, menyapu rumah, halaman, menyalakan mesin cuci dan membantu menyiapkan sekolah Yahya. Berangkat kerja dengan memastikan pakaian sudah dijemur, bertemu orang, mengajar, ketemu mahasiswa, pulang, menyiram kebun kecil lalu mengambil jemuran. Rutinitas seperti itu saya lakukan bisa dengan memejamkan mata saja, saking biasanya. 

Hidup saya terasa monoton dan serba otomatis.

Lama kelamaan, saya merasa sebentar lagi akan menjadi robot bernyawa yang bisa gila. Padahal, robot tidak mungkin gila, bukan?

Merasakan kebosanan seperti itu tentu saja tidak saya seorang, milyaran manusia di planet ini pun merasakannya. Bukan maksud mengerdilkan emosi saya, hanya saja agar saya sadar bahwa, saya tidak sendiri.

Berhari-hari saya berpikir, apa yang bisa saya lakukan dengan rutinitas yang seperti itu?

Saya menyadari satu hal bahwa saya kehilangan momentum untuk berpikir dan mencari makna. Sebab salah satu hal yang membuat kita “hidup” adalah karena makna-makna yang kita reproduksi.

Saya mengingat-ingat lagi capaian kecil ketika berhasil menuntaskan 100 hari menulis setiap hari, dan bertanya lagi “kenapa tidak menulis lagi saja?”

Saya buka lagi catatan-catatan kecil saya tentang Mengapa Saya Menulis Setiap Hari, Menulis untuk Menata Pikiran, Menulis untuk Meningkatkan Kesadaran, dll. Membaca tulisan-tulisan itu lagi membuat saya menyadari bahwa menulis bisa membantu kita untuk keluar dari mode otomatis.

Hal ini disebabkan oleh peningkatan kualitas berpikir, sebagaimana kita tahu bahwa menulis adalah aktivitas berpikir, tidak sekadar mengetik. Sedangkan rutinitas yang kita lakukan sehari-hari yang serba otomatis itu biasanya tanpa kita pikirkan.

Dengan menulis, saya bisa megambil jarak dengan diri sendiri lalu sedikit demi sedikit memberi makna atas apa yang saya lakukan. Andreas Kurniawan penulis buku berjudul Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piringmemberikan contoh tentang pemberian makna atas rutinitas yang kita anggap sepele. Aktivitas mencuci piring adalah hal remeh, namun itu menjadi pintu bagi dia untuk melewati duka dengan sebagaimana mestinya.

Saya kira, kita semua memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan makna di tiap peristiwa yang kita lalui. Sebab segala rutinitas, segala kejadian bisa menjadi pelajaran (‘ibratan) bagi orang-orang yang memiliki akal budi (li ulil albab).

Mungkin ada beberapa cara kita bisa memberi makna tentang hidup, seperti beribadah, meditasi, konseling, merenung dan lainnya, namun secara pribadi saya lebih memilih dengan menuliskan.

Menulis seperti membebaskan diri dari rutinitas-rutinitas (kebosanan) yang membelenggu.

Saya sering khawatir dengan tulisan saya yang tidak bagus, tak ada yang baca, tidak argumentatif, tidak ada kutipan-kutipan kitab suci dan kekhatiran-kekhawatiran lainnya. Namun saya harus menyadari, bahwa tujuan saya menulis sebenarnya tidak untuk orang lain, melainkan untuk diri sendiri.

Sering kali saya meyakinkan diri bahwa ketidaksempurnaan adalah bukti bahwa kita manusia (makhluk yang sempurna), mengejar sempurna seperti mengejar cahaya di dalam labirin kaca, pantulannya membuat kita bingung di mana cahaya itu berasal.

Tulisan buruk tidak menjadi masalah, jika saya mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Sebab dengan seperti itu saya lebih bisa menghargai prosesnya, bukan hasilnya.

Saya tidak bisa menjamin dengan menulis saya bisa keluar dari rutinitas, toh bukan itu yang saya inginkan. Keinginan saya adalah menjalani rutinitas bukan dengan mode otomatis, melainkan dengan penuh kesadaran dan pemaknaan tiap peristiwanya. Mungkin rutinitasnya sama entah sampai kapan, namun pelajaran yang bisa saya renungkan akan berbeda tiap harinya.

Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Post a Comment