Cinta Lama Tak Mesti Bersemi Kembali

Table of Contents

Seminggu yang lalu aku ke toko buku Elbustane, ya toko buku milikku sendiri. Melihat deretan buku yang masih banyak, belum menemukan jodohnya masing-masing. Aku melirik novel berjudul Cinta Lama karya Puthut EA.

"Ah, bikin promo bukunya Mas Puthut, ah. Biar Cinta Lama ini segera menemukan jodohnya" Batinku. 

Batbetbatbet. Aku ambil judul Enaknya Berdebat dengan Orang Goblok dan Novel Cinta Lama. Cekrek aku foto. Beli satu gratis satu. Lalu aku unggah di twitter dan instagram elbustane books.

Sayang sekali, tidak berhenti sampai di situ. Seharusnya kan selesai... Kembalikan buku ke raknya.

Aku mulai membuka halaman pertama, kedua, ketiga, lagi lagi dan lagi... Aku berhenti, menghel napas panjang. Aku tutup buku itu. Dan tidak berniat untuk membacanya lagi.

Sebenarnya, sejak buku itu datang. Aku ingin sekali membukanya. Tapi aku urungkan. Padahal buku itu tidak ada segelnya karena edisi tanda tangan. Ini ibarat ingin merokok, tapi tidak boleh merokok. Rasanya ... ya kaya begitulah.

Mengurungkan membacanya, semata-mata khawatir akan membuka kenangan demi kenangan hingga menyemai benih-benih yang sengaja kututupi beton agar ia tak tumbuh memenuhi hati dan pikiranku. 

Setelah meninggalkan Cinta Lama berhenti di tengah jalan, hari-hariku semakin penasaran bagaimana kisah selanjutnya. Hari demi hari kujalani hampir dipastikan memikirkan Cinta Lama itu, meskipun sesaat demi sesaat saja. 

Dan betul. Pukul 9 pagi seperti biasa setelah membereskan beberapa pekerjaan rumah dan sarapan. Aku berangkat ke toko buku. Sudah ada satu teman di sana sedang mengunggah buku di loka pasar. Aku duduk di samping meletakkan tas ransel dan mengecek laporan penjualan kemaren. 

Masih terduduk di atas tong dan tangan di atas meja, tiba-tiba Cinta Lama berkelebat muncul begitu saja, desiran Cinta Lama itu semakin mengusik pikiranku. Lalu ... Aku kalah. 

Kuambil Novel Cinta Lama itu di rak bagian belakang, sengaja memang kutaruh di sana. Agar... tahu sendiri lah...

Cinta memang aneh. Ia datang tiba-tiba yang tak pernah tepat waktu. Sosok "Aku" yang menjadi pencerita utama di Novel Cinta Lama adalah laki-lali yang berusia 40 tahun. Ia mempunya kekasih yang sangat ia cintai pada waktu muda, saat masih kuliah. Hampir 40 kali ia menembak perempuan yang kelak jadi mantan itu. 

Sebanyak 40 kali itu, ia tempuh hampir satu tahun untuk mengejarnya. 

Setelah jadian dan pacaran, tiba-tiba di tengah jalan mereka berdua saling meninggalkan tanpa pamit. Tanpa kejelasan, tanpa adanya kesepakatan. Tiba-tiba hilang begitu saja. 

Satu tahun, dua tahun, tiga tahun mereka menjalani tanpa komunikasi. Namun diam-diam mereka masih saling memikirkan, mungkin juga mendoakan. Mereka sudah sama-sama mempunyai keluarga dan punya anak. 

Hingga 20 tahun mereka tidak pernah bertemu. 

Selama 20 tahun itu mereka menyimpan tanda tanya besar, kenapa semua kenangan masih ada dan menganggu pikiran? Mungkin yang tepat bukan mereka berdua, tapi hanya sosok "aku" di novel Cinta Lama itu. 

Pada suatu hari yang telah ditentukan. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah tempat. 

Setelah 20 tahun tidak bertemu, tidak saling bertukar kabar, dan tentunya tidak tahu apa yang mereka saling rasakan. Apakah rasa yang semakin tumbuh, atau sebaliknya? Apakah hanya persoalan tidak menentu saja yang... sebenarnya hanya ilusi?

Akhirnya mereka berdua bertemu di sebuah kafe hotel. Mereka saling berbicara, tak cuma ngomong saja. 

Isi dari Novel Cinta Lama adalah obrolan mereka berdua yang lebih kurang berlangsung selama 4-5 jam. Sore mereka bertemu, lalu pukul 9 malam mereka berpisah. 

Mereka mulai membicarakan tentang masa lalu, teman-temannya, kehidupan mereka hingga pada satu titik bahwa mereka berdua saling mengaku bahwa sama-sama sulit saling melupakan, atau bahkan merelakan. 

Review Buku cinta lama
Cuplikan percakapan Novel Cinta Lama

Aku tak sanggup menceritakannya, silakan dibaca sendiri ya... 

Yang, ingin betul aku tuliskan di sini adalah tentang merelakan dan mengikhlaskan. Mengikhlaskan ibarat mengeluarkan tahi yang kita lakukan setiap hari, setelah berak kita tidak akan mengingat-ingat bagaimana bentuk dan baunya kan? 

Itu pemahaman yang selama ini aku pahami tentang ikhlas, dan ternyata keliru menurut pandanganku.

Jika kita mengibaratkan seperti berak, maka secara tidak langsung kita akan terjebak pada kesimpulan bahwa yang kita keluarkan bukanlah hal yang berharga, bahkan hina.

Padahal, tidak semuanya yang kita relakan itu hina dan tidak berharga bukan? 

Ikhlas bagiku adalah proses pemahaman bahwa sesungguhnya tidak ada yang berhak bagi kita untuk memilikinya, apapun itu. Segala hal yang tersemat kepada kita adalah pinjaman, semata-mata. 

Jika kita merasa kehilangan, itu wajar karena kita masih merasa memilikinya. Jika kita tidak merasa memiliki, maka kita tak akan pernah merasa kehilangan. Sedih? itu pasti. Siapa yang tidak sedih, atau minimal menyayangkan, eman-eman dengan sesuatu yang pernah mengisi "hidup" kita. 

Tidak hanya hal-hal bendawi, tetapi juga perasaan. Kekasih, pasangan, sahabat, anak, bapak atau ibu? Siapa yang tidak merasa kehilangan jika mereka tiada atau meninggalkan kita? 

Semakin betambah pemahaman yang kita ketahui tentang kepemilikan sedikit demi sedikit akan menepis rasa kepemilikan itu sendiri. Kita akan belajar bahwa kehilangan bukan hakikat, melainkan cara untuk mereka pulang kembali di tempatnya masing-masing. 

Jika kita merasa kehilangan uang, maka sesungguhnya uang itu sedang kembali kepada pemiliknya, itu bukan milikmu. Jika kita merasa kehilangan orang yang paling berharga bagi kita, maka sesungguhnya mereka sedang pulang ke rumahnya, yaitu akhirat, sumber dari segala yang hidup di dunia ini. 

Satu kalimat terakhir yang membuat aku takjub hingga melambangkan huruf O di mulutku secara tidak sengaja 

"... hari ini aku bisa memastikan, aku memang masih mengenangnya. Tapi sudah tidak mencintainya"

Aku mulai menerka-nerka, mungkinkah ini adalah kisah nyata dari Mas Puthut?

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment