Film Kecanduan Belanja Confessions of Shopaholic – Do I need this?

Table of Contents

Sebuah review film di tahun 2009, menceritakan tentang seorang perempuan bernama Rebecca yang gila super gila belanja. Seubuah film drama dipadukan dengan humor.

Setelah nonton film tersebut, saya langsung mikir-mikir, sebegitu ngerinya kah jika orang sudah gila belanja.

Oke jadi gini, Rebecca atau temannya sering memanggilnya Bex adalah seorang jurnalis di sebuah majalah di Amerika, mimpinya adalah ingin menjadi contributor di majalah fashion kondang bernama Alete (saya agak-agak lupa, alete atau alexe, ya)

Saya tidak akan membahas nama artis, sutradara atau lainnya, karena ingatan saya soal nama sangat lemah sekali. Hahaha.

Bex ini saking gila belanja, ia punya kartu kredit kalau tidak keliru 5 kartu sekaligus. Ketika akhir bulan ia mumet bukan main karena tagihannya terus melonjak. Di saat-saat tagihannya membengkak tersebut, kebetulan tempat ia bekerja pailit dan tutup. Alhasil ia jadi pengangguran.

Temennya sudah berkali-kali menyarankan untuk berhenti belanja, hingga sempat ia ke psikiater dan bergabung dengan komunitas shopaholic anonymous. Berhasil? Tidak sama sekali. Justru ia malah memengaruhi peserta yang lain untuk kembali belanja dan belanja lagi.

Ia menceritakan tentang nikmatnya belanja yang ia rasakan. Baginya “when I shop, the world gets better, and better.”

Di sela-sela masa rehabilitasi tersebut, ia diterima bekerja di sebuah perusahaan majalah juga, di sana ia kenal dengan seorang laki-laki yang kelak akan dicintainya, namanya saya lupa lagi. Hahaha

Sebab musabab ia diterima karena surat yang ia kirimkan yang berisi tentang mengatur keuangan. Sebenarnya itu adalah pengalaman pribadinya sendiri tentang mengelola keuangan, saya tidak begitu paham persis apa isi dari surat tersebut, tidak paham juga karena pakai istilah-istilah ekonomi.

Alhasil dia mulai bekerja lagi dan salah satu kartu kreditnya diletakkan di wadah di rendam air dan masukkan freezer, sungguh tindakan yang ekstrem. Semua itu dilakukan agar ia tidak tergoda untuk belanja lagi.

Masalah yang datang kemudian adalah, pihak dari tagihan hutang tersebut membuntutinya untuk menagih hutang yang jumlahnya sudah mencapai lebih dari 9000 dollars. Ia selalu menghindar dari tagihan tersebut, sampai-sampai di nada dering panggilan teleponnya diganti “Jangan diangkat, ini nomor ….. (menyebutkan nama)” saya lupa namanya. Hahaha.

Ya allah beginikah rasanya lupa-lupa nama.

Karirnya sukses karena ia menulis dengan gaya humor dan sesuai dengan pengalaman pribadinya. Hingga investor mengapresiasi dan memuji Bex.

Namun, pada puncaknya ketika ia diundang di salah satu stasiun televisi untuk wawancara, tiba-tiba penagih hutang tersebut berdiri dan membuka semua aib hutang-hutangnya tersebut, sampai riwayat psikologinya diungkapkan.

Pada akhirnya ia berhenti di perusahaan tersebut karena kebohongan yang ia lakukan. Ia menulis tentang mengelola keuangan tapi ia sendiri tidak bisa mengatur keuangannya sendiri.

Sehari-hari ia pulang, orang tuanya tahu tentang hutang yang harus ia bayar, lalu orang tuanya memutuskan untuk menjual mobil kuno miliknya untuk menjual dan membayarkan semua hutangnya Bex. Bex menolak. Kata ayahnya “Jika Amerika bisa hidup dan maju dengan hutang milyaran dolar, kenapa kamu tidak?”

Bex terharu. Ia memeluk ayahnya.

Rencana menjual mobil tersebut batal, karena Bex ingin menjual seluruh barang-barang yang ia miliki. Dibantu oleh teman-temannya di komunitas shopaholic sekaligus psikiaternya, tidak dinyana hasil dari penjualan tersebut mencapai lebih dari 16.000 dollars.

O, iya. di saat-saat terpuruknya, ia sempat didatangi pihak perusahaan Alete, yaa majalah yang ia idam-idamkan selama hidupnya, namun ia sadar bahwa kalau mengambil tawaran tersebut, ia tidak akan sembuh dari gejala shopaholic. Alhasil ia taggalkan.

Lebih detailnya silahkan nonton sendiri ya. Hahaha

Saya ingin menggaris bawahi beberapa hal saja, yakni tentang belanja.

Kebetulan, beberapa minggu yang lalu saya selesai membaca bukunya Francine Jay tentang seni hidup minimalis. Buku tersebut telah menginspirasi saya tentang kepemilikan barang-barang. Kata Jay, barang yang kita miliki itu ada untuk melayani kita, bukan kita yang harus melayani barang-barang tersebut.

Mantra yang digunakan ketika sedang di swalayan adalah dengan menanyakan kepada diri sendiri “Do I need this? – Do I need this?” Hahaha

Jika tidak butuh, jangan beli. Letakkan saja. Dunia tidak akan berakhir hanya karena kita tidak membeli barang yang tidak kita butuhkan.

Setelah saya selesai membaca Jay, pakaian saya pilih-pilih dan donasikan untuk temen-temen di pesantren. Tentunya yang masih layak pakai. Tanpa kesepakatan dengan siapapun, saya membatasi pakaian saya, satu jenis hanya 5 potong pakaian. Meskipun masih ada yang lebih dari 5. Hahaha.

Rasanya lega. Lemari yang dulunya penuh pakaian, sekarang agak longgar. Dan saya juga punya peraturan, setiap ada barang yang masuk, harus ada yang dikeluarkan.

Persoalan kepemilikan secara berlebihan ini, jika dilihat dari sudut pandang agama sangat berkaitan, sebagaimana terdapat ajaran zuhud (tidak cinta dunia), qana’ah (menerima realitas) dan tentunya sederhana.

Sederhana itu bukan persoalan kualitas barangnya saja, tetapi juga kuantitasnya. Buat apa banyak sarung jika yang dipakai hanya satu setiap harinya?

Buat apa banyak baju jika yang dipakai hanya satu saja. Begitu seterusnya.

Oke, segitu dulu review film kali ini. 
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: janurmusthofa@gmail.com

Post a Comment