Ads #1

Pijet Anak Mbah Gaten Bantul


Yahya, sudah dua hari rewel dan tak tahu kenapa, andai saja ada aplikasi menerjemahkan bahasa bayi, pasti akan memudahkan untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh seorang bayi.

Ketika oek oek tinggal sandingkan saja aplikasinya, kemudian muncul pemberitahuan "Anak anda sedang lapak, segera kasihkan susu." Waaah. Pasti keren ya.

Tengah malam Yahya tak bisa tidur, perutnya kembung. Saya oleskan minyak telon sambil saya urut pelan-pelan, brat-brot-brat-brot angin di perutnya berhasil keluar, Yahya senyum-senyum seolah mengatakan "Makasih, Bapak. Lega sudah."

Selang beberapa menit Yahya tertidur. "Alhamdulillaah." batin saya.

"Besok pijetke Yahya yuk, Mas." Saran istri saya. Saya mengiyakan.

Esoknya saya tidak bisa, karena ada kesibukan mendadak. Lusa baru bisa kami mengantar Yahya ke Mbah Gaten. "Sebenernya Mbah Gaten itu  namanya siapa sih, Dek?." Tanya saya sebelum berangkan.

"Mbah, Mus." Jawab istri saya. "Mus siapa, Musthofa?." Saya menimpali sambil tertawa.

Perjalanan tempat kami ke Mbah Gaten tidak jauh, mungkin kira-kira 2 kilometer. Di dekat SMA 3 Bantul.

Sampai sana tidak ada antrean, namun sepi. Istri saya mengucapkan salam sambil mengetuk pintu. "Nggeh. Sekedap." Jawab suara dari dalam rumah.

Selang beberapa menit, Mbah Gaten keluar perawakannya sudah tua, kira-kira usia 80 tahun lebih. "Mbah tadi baru makan mungkin, Mas." Istri saya berbisik.

Ia duduk di balai mengambil perlak "Ayo sini." ucapnya.

Bergegas saya dan istri saya melepaskan pakaian Yahya kecuali Pampers. Yahya diam. Lalu ditengkurapkan di pangkuan Mbah. Sambil mijit-mijit "Awake anget." (badannya hangat) Katanya memulai "Iki sing meriyang kowe, Mbak." Tegas Mbah Gaten. "Pripun, Mbah?." Istri saya tidak kurang mendengar karena sibuk membereskan pakaian Yahya.

"E, sing meriyang ki Jenengan, Mbak." Ia mengulangi. (yang sakit itu kamu, Mbak.)

"O, iya Mbah. kolowingi kulo radi meriyang."

"Ha yoo. Sing loro ibuke sing keno anake." Tegasnya. (Lha iya, yang sakit ibunya, yang terkena imbasnya juga anaknya.)

Pantas saja, dua hari yang lalu Yahya tidak begitu banyak netek ibunya. Mungkin memengaruhi ASI.

"Kalau sakit langsung berobat, Mbak. Kasian anaknya." Kata Mbah Gaten.

***

Mbah Gaten ini sudah sangat terkenal di Bantul, spesialis melahirkan dan anak. Meskipun ia bukan lulusan sekolah kebidanan, apalagi kedokteran. Ilmu yang didapatkan itu merupakan turun-temurun dari neneknya. Sekarang Mbah Gaten udah tua, sudah tidak sekuat dulu. Kini, keahliannya tersebut diwariskan oleh salah satu anaknya yang merupakan sarjana di salah satu universitas besar di Yogyakarta.

"Anaknya juga sekolah kebidanan, Mbah?." Tanya saya.

"Ora, Mas." Lalu ia mengatakan jurusan yang diambil oleh anaknya di kampus tersebut, namun saya lupa.

Sekira 15 menit ia merampungkan pijet Yahya.

Di belakang saya ada antrean satu lagi. Saya bergegas pulang dengan istri setelah memakaikan pakaian Yahya. Kami memberikan uang sepantasnya, biasanya dan pada umumnya cukup 25.000.
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Pijet Anak Mbah Gaten Bantul"