Ads #1

Dari Mana Munculnya Riya? (hikam. 153)



ربما دخل الرياء عليك من حيث لا ينظر الخلق إليك
“Barangkali sifat riya yang masuk ke dalam dirimu, semata-mata karena manusia tidak sedang melihatmu.”

Terus terang, dalam memahami maqalah kali ini, saya harus mengulang-ulang membaca syarah asy-Syarqawi. Awalnya saya mengira bahwa mudah untuk menulis penjelasan ini, namun ternyata sulit sekali yang mengakibatkan saya harus diam sebentar, nyruput kopi, lalu berpikir kembali apa yang harus mulai saya tulis untuk maqalah ini. Sampai pada paragraf ini, saya ingin membuka syarah al-‘Abbadi dan kitab Ihya’ ulumiddin juz 3.

Saya mulai ingat dawuh guru saya bahwa sifat riya itu ibarat seekor semut pudak hitam yang berjalan di atas batu hitam pada waktu malam hari. Sungguh ibarat itu menunjukkan bahwa untuk mengenali sifat riya itu samar sekali, bahkan hampir tidak bisa kita ketahui. Riya merupakan sifat yang bisa merusak amal ibadah kita. 

Nabi Muhammad dawuh ketika ditanya oleh Saddad bin Uwais “kenapa engkau menangis ya rasulallah?.” Nabi menjawab “Sungguh saya khawatir terhadap syirik yang dilakukan oleh umatku kelak, memang mereka tidak menyembah berhala, matahari, bulan atau batu, melainkan mereka riya atas amal perbuatan mereka sendiri.” Dari hadis ini, ulama menyimpulkan bahwa riya merupakan perbuatan syirik. Kenapa? 

Semata-mata karena kita menganggap bahwa pada hakikatnya kitalah yang melakukan segala perbuatan baik dan ibadah-ibadah yang kita lakukan. 

Kita seringkali melakukan ibadah seperti shalat dan puasa. Misalnya, kita istiqamah melakukan shalat qabliyah-ba’diyah isya’ ketika di masjid. Pada waktu melakukannya kita merasa biasa-biasa saja dan tidak ada pengaruh apapun di dalam diri kita. namun, suatu ketika pada saat kita tahu bahwa shalat rawatib itu baiknya di laksanakan di rumah saja, lalu kita melaksanakannya di rumah, atau di tempat yang tersembunyi. 

Nah, pada saat itulah kita mulai merasa bahwa diri kita lebih baik dari orang lain, sebab bisa melaksanakan shalat sunnah rawatib di tempat yang tersembunyi, tidak diketahui oleh orang lain, hanya Allah yang tahu. 

Lalu salah seorang bertanya kepada kita “Sudah lama saya tidak melihat anda shalat rawatib isya’ kenapa?.” Lalu kita menjawab “Masih kok, namun saya shalatnya di rumah saja.”

Pada saat-saat seperti itu, sesungguhnya kita sudah terperangkap jebakan syetan, riya sudah merasuk ke dalam diri kita dan mengotori ibadah-ibadah kita yang, awalnya ingin tidak diketahui orang lain, justru malah menjerumuskan kita ke dalam perangkap riya. 

Tentu hal ini lebih baik kita shalat sunnah rawatibnya di dalam masjid saja, meskipun banyak orang yang melihat, namun hati kita tetap merasa biasa saja dan tidak merasa bahwa itu perbuatan yang wah bagi kita. dari pada kita melakukan shalat rawatib di rumah, justru menimbulkan hati kita menjadi merasa ingin diketahui oleh orang lain. 

Memang apa sih definisi riya? Imam al-Ghazali dalam karyanya ihya juz 3 menjelaskan bahwa pada dasarnya riya adalah keinginan di dalam hati manusia agar dilihat baik dengan cara melakukan hal-hal yang dinilai sebagai ibadah. Kata kunci dari definisi tersebut adalah “keinginan di dalam hati.” Jadi meskipun tanpa kita tuturkan, jika hati kita sudah merasa ingin dinilai baik dari ibadah-ibadah yang kita lakukan, maka itu sudah termasuk riya. 


Berkaitan dengan maqalah Mbah ‘Athaillah di atas, kadang kala sifat riya muncul di dalam hati kita, justru karena ibadah kita tidak dilihat oleh manusia. Ibadah secara fisik kita secara rahasia tidak diketahui oleh orang lain memang bagus, namun hal itu rawan menjebak kita untuk mengatakan hal itu kepada orang lain, inilah yang disebut oleh imam al-Ghazali sebagai riya ucapan.

Menurut saya, Mbah ‘Athaillah mengajarkan kepada kita agar merasa biasa saja dengan ibadah-ibadah yang kita lakukan, baik itu dilakukan secara terang-terangan di tempat umum, maupun secara rahasia di bilik-bilik persembunyian kita. Imam Ali menyebutkan cirri-ciri riya; ketika dipuji bertambah rajin, ketika dicela menjadi malas beribadah. Ketika dihadapan orang lain rajin, ketika sepi tiada orang lain berubah menjadi malas.

Semoga allah melindungi kita dari segala macam bentuk riya.

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Dari Mana Munculnya Riya? (hikam. 153) "