Ads #1

Di Surga kelak, saya ndak mau Sekamar sama Kanjeng Rasul


Dahulu kala, waktu saya masih kecil, sering denger cerita dari guru-guru bahkan orang tua saya sendiri. bahwa khamr atau minuman keras di surga tidak membuat kita mabuk, tak peduli berapa banyaknya yang kita minum. Beranjak dewasa saya jadi bertanya, minuman keras kan yang dicari biar mabok, lah kalau ndak mabok apa bedanya sama es cendhol atau dawet ireng?

Jika benar surga itu isinya cuma persoalan perut dan kelamin, saya minta kepada allah agar jangan satu kamar atau bahkan bersebelahan dengan Kanjeng Nabi Muhammad, para kekasih allah, dan guru-guru saya. Bukan apa-apa, saya cuma ndak enak kalau sering ketahuan kelon sama 70 bidadari dan melulu makan dan mabok-mabokan. 

Sungguh sungkan sekali. Lah wong ngrokok di depan guru saya saja sampai hari ini saya ndak berani kok, apalagi di depan kanjeng rasul dan para kekasih Allah yang luar biasa itu. 

Saya ke-GR-an ya? Ya? Ya biarin. Saya cuma yakin aja jika kelak bakal di surga, lah wong mbah (Adam Alahisalam) saya dulu juga rumahnya di surga kok. Kalau ente-ente ragu masuk surga atau malah justru merasa pantas masuk neraka, ya monggo-monggo saja. Lah wong tinggal masukin aja ke neraka kok susyah. Gustialah pernah dawuh “aku itu sebagaimana prasangka hamba-Ku.” 

Makanya tidak jarang, para mujahid-mujahid pengebom yang ngiler surga itu ya motif utamanya karena jika ia syahid membela agama allah maka akan dijemput sekaligus disediakan 70 bidadari yang siap sedia dikeloni hingga para malaikat kelabakan harus menyiapkan jutaan obat kuat untuk mereka. 

Peluang bisnis nih, ayo siapa yang mau jualan obat kuat di surga sana?. Diijamin laris. 

Takutnya, yang saya takutkan nantinya adalah jangan-jangan kita di surga merasa senang dan gembira hanya karena gara-gara kita sudah dibebaskan sama Allah tidak ibadah, sudah ndak solat, ndak puasa, ndak ada zakat, apalagi haji lalu mengatakan “Gustialah matursuwun. Saya sudah capek dan lelah dengan semua ibadah ketika di dunia, hari ini engkau bebaskan segalanya dari ibadah yang melelahkan dan hanya jengkulat-jengkulit itu.”

Saya cuma ndak abis pikir, karena begini, kita ini disebut sebagai manusia dan abdun (hamba) karena kita beribadah, mengabdikan diri, menyembah Allah sebagai pencipta segala, nah apabila identitas tersebut tidak kita laksanakan kelak di surga, lalu kita disebut apa?. Kira-kira pantas tidak masih disebut sebagai hamba Allah?

Kalau kita di surga melulu kelon dan makan, sepertinya kita pantas disebut hamba perut (abdulbuthun) dan hamba kelamin (abdulfarj).

Ketika ngaji, guru saya pernah cerita ada seorang sufi yang saya lupa namanya, ketika ia diberi pilihan ingin masuk surga atau ingin diberikan kesempatan sujud kepada Allah?.Ia dengan tegas menjawab agar tetap diberikan kesempatan sujud kepada Allah. 

Hal ini, karena sufi tersebut tahu bahwa surga itu hanya sebagian kecil rahmat Allah yang diberikan kepada manusia, dan rahmat yang lebih besar dari itu adalah bisa beribadah dan bersujud. Jika kita bisa menggapai rahmat yang luar biasa dari Allah, tentu rahmat yang kecil-kecil itu otomatis akan kita dapatkan juga, kan?.Kaidah ushul mengatakan “at-tabingu tabingun” 

Jika kelakuan kita yang sedemikian ngeres sejak dalam pikiran mengenai surga, lalu kelak ingin bersanding satu kamar sama kanjeng rasul?.Saya rasa bakalan malu, maluuuuuuuu semalu-malunyaaaaa, namun apadayaaaa… 

Jika benar demikian, Jujur saja kalau saya ingin ditempatkan yang agak jauhan dikit, ya kira-kira selisih 10-20 laintailah, biar kalau kelon atau lagi mabok-mabokan sambil ngrokok ndak ketahuan sama beliau. 

Jadi, nanti kalau lagi kangen sama kanjeng rasul, para wali dan guru-guru saya, tinggal naik sowan aja. Lunas kangennya, pulang dan kelon lagi, mabok lagi, kangen lagi sowan lagi, lunas kangennya pulang dan kelonlagi, gitu aja terus, sampe matek. ahaha… eh, emang di akhirat bisa mati ya. 

Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]

Post a Comment for "Di Surga kelak, saya ndak mau Sekamar sama Kanjeng Rasul"