Memilih Teman Menurut Ibn ‘Athaillah (Hikam 43)
Sunday, January 24, 2016
4 Comments
Mutiara
hikmah Ibn ‘Athaillah sebelum ini menjelaskan tentang hijrah, yakni jangan
sampai perilaku dan segala bentuk tindakan kita didasari oleh
kepentian-kepentingan duniawi-bendawi semata, melainkan semata-mata hanya untuk
Allah, sang pemilik dunia dan segala materi di dalamnya.
Sebenarnya
secara eksplisit sangat berkelit-kelindan dengan aforisme yang ke 43 ini, yakni
untuk mencapai jalan menuju Allah, harusnya dengan memilih teman yang tepat
sekaligus bisa mengantarkan kita kepada Allah, bukan selain Allah. Kenapa
teman?, ya sebab teman adalah bagian dari lingkungan kita yang paling kerap
kita temui sehari, dan sebagian besar perkembangan manusia didominasi dan
dibentuk oleh lingkungannya.
Dengan
kalimat lain bahwa, jika seseorang berada di lingkungan yang buruk, maka ia akan
menjadi buruk pula, begitu sebaliknya, jika seseorang berada di lingkungan yang
baik, maka ia akan menjadi baik pula. Sudah banyak contohnya kebenaran sintesa
tersebut, kita tak perlu membuktikannya secara empiris.
Dari sekian
banyak sub-lingkungan kita, kesempatan ini Mbah ‘Athaillah memfokuskan pada
teman, bagaimana kita memilih teman. Melihat pengaruh teman adalah sangat
besar, sebagaimana pepatan Barat mengatakan you are the people you spend time
with.
Mbah
‘Athaillah mengatakan bahwa;
لا تصحب من لاينهضك حاله ولايدلك على الله مقاله
Janganlah engkau berteman dengan
seseorang yang perilakunya dan perkataannya tidak bisa membangkitkanmu
sekaligus menunjukkanmu kepada jalan Allah.
Menurut
al-‘Abbadi, kata al-Hal yang dimaksud oleh Mbah ‘Athaillah adalah sebuah
kondisi jiwa seseorang yang selalu bergantung hanya kepada Allah semata, tidak
kepada manusia atau makhluk lain, sebab sesuatu yang selain Allah pada
hakekatnya tidaklah memiliki kuasa atas apapun, baik kebaikan maupun
keburukannya, bahkan ia sendiri tidak berpikir sedikitpun bahwa dirinya sendiri
adalah penting. Inilah kondisi jiwa yang bisa membangkitkan kita kepada Allah
yang maha segalanya.
Penjelasan
di atas memang terkesan meremehkan sesuatu selain Allah, bukan terkesan lagi,
ya memang begitu bahwa selain Allah adalah tidak ada. Pemahaman seperti ini
memang sulit diidentifikasi di dalam pribadi seseorang, tapi setidaknya jika
kita bisa memahami hal tersebut dengan baik, mungkin kita akan bisa
mengidentifikasi seseorang yang mempunyai sifat demikian, karena sesuatu yang
pernah kita rasakan akan kita ketahui gerak-geriknya kepada orang yang
merasakan hal yang sama dengan kita.
Senada dengan
penjelasan di atas, menurut Said Ramdhan al-Buthi yang kebetulan juga menulis
syarh Hikam, mengatakan bahwa lewat aforisma tersebut, Mbah ‘Athaillah
menghimbau kepada kita agar selalu istiqamah secara terus-menerus di dalam
bergaul dengan orang-orang saleh, para ulama’ yang mempunyai dua sifat. Pertama
yakni orang saleh yang kondisi hatinya selalu bersamaan dengan Allah, yang akan
selalu mendorong jiwa kita agar kembali ke jalan yang benar dan menyegerakan
kita untuk selalu bertaubat kepada Allah.
Kedua, orang saleh yang selalu memberikan
nasehat-nasehat kebaikan kepada para hamba Allah. dengan nasehat-nasehat yang
kita dapatkan akan memberikan kita pengetahuan tentang mana jalan yang benar
dan mana jalan yang buruk, menghindarkan kita dari perkara-perkara yang tidak
jelas/samar (subhat), sekaligus menuntun kita untuk tidak berbangga diri dan
sombong dengan status sosial, atribut, dan pakaian yang kita kenakan.
Kembali pada
pembahasan awal, bahwa kenapa Mbah ‘Athaillah memberikan kategori teman dengan
kondisi jiwanya, bukan dilihat dari kemapanan istiqamah ibadahnya, seperti
shalat dan puasa. Tidak lain, menurut saya, hal ini disebabkan shalat dan
puasa, di samping sebagai rukun islam, tetapi tidak bisa dijadikan tolok ukur
kemapanan dan keteguhan sikap. Sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an bahwa
shalat adalah untuk mengingatku (lidzikri), di ayat lain juga untuk mencegah
perbuatan keji dan mungkar (QS. al-Ankabut; 45), jadi sebenarnya shalat adalah
perantara atau mediasi untuk selalu menghadirkan Allah di dalam diri kita,
meskipun ketika sedang shalat, pikiran dan bayangan kita sering kali menuju
selain Allah, alih-alih ingin dipuji manusia dan dinilai sebagai orang yang
sering shalat.
Sama halnya
dengan puasa, puasa juga hanya mediasi yang mempunyai tujuan agar kita
bertambah ketakwaan kepada Allah, sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an
al-Baqarah; 183. Dengan kata lain, apabila kita berpuasa tapi tidak bertambah
ketakwaan kita kepada Allah, maka bisa dibilang puasa kita sia-sia, kita tidak
mendapatkan apa-apa kecuali haus dan lapar. Hal ini bukan berarti puasa itu
tidak penting, tidak sama sekali. Puasa tetap dalam porsinya sebagai rukun
islam, yang sangat fundamental dan bersifat teologis, tapi jangan hanya
dijadikan sebagai rutinitas belaka, puasa itu penting, tapi tidak yang paling
penting, yang paling penting adalah penghayatan kita tentang ibadah puasa tersebut.
Dengan
demikian, tidak pernah bisa menjamin orang yang rajin puasa, rajin shalat
sunnah itu mempunyai kemapanan dan keteguhan sikap yang bijaksana bahkan
mencapai derajat ma’rifatullah. Artinya, hal itu tidak bisa dijadikan
satu-satunya pertanda bahwa ia adalah orang arif kepada Allah. alih-alih,
biasanya orang yang hanya rajin ibadah secara ritual itu sering menyalahkan
atau bahkan menganggap orang lain yang tidak melakukan ibadah yang seperti ia
lakukan adalah sebuah keburukan. Misalnya, kita sering shalat dhuha, tapi
menjelek-jelekkan orang yang tidak shalat dhuha, kita rajin shalat tahajud,
tapi mengolok-olok orang yang tidak shalat tahajud, kita sering berpuasa
sunnah, tapi melihat orang yang tidak puasa, lalu kita menganggap bahwa kita
lebih baik dari mereka yang tidak berpuasa. Ini adalah awal dari terjebak di
lubang kebodohan yang nyata, Akibatnya adalah merasa sombong, padahal segala
makhluk di dunia ini tidak ada yang berhak sombong, kesombongan hanya milik
Allah, jika kita sombong, berarti sebenarnya kita ingin menandingin Allah. naudzubillah.
Kembali ke
aforisma Mbah ‘Athaillah di atas, kita sebagai tingkatan salik yang ingin
menuju kepada Allah, sebaiknya menjauhi orang-orang yang tidak bisa
mengantarkan kita kepada ma’rifatullah, baik dilihat dari aspek kondisi jiwa
(hal) dan kalimat-kalimat nasehatnya, hal ini bukan berarti kita tidak boleh
bergaul dengan orang-orang yang kondisi jiwanya labil dan kata-kata yang keluar
dari mulutnya semuanya tidak bermanfaat, tidak sama sekali. Hanya saja,
ditakutkan kita akan terpengaruh oleh mereka, dalam tingkatan yang lain, yang
seharusnya berperan untuk menyadarkan dan bergaul dengan mereka adalah
orang-orang yang sudah wushul dan ma’rifatullah, sebagaimana yang dilakukan
oleh para waliyullah yang berdakwah di tempat-tempat yang tidak semestinya.
Sebaiknya
kita selalu menjaga diri kita, memurnikan lagi perbuatan-perbuatan kita, hanya
semata-mata kerena Allah, tidak ada alasan lain selain karena Allah, oleh
karena itu, Allah, Allah, Allah, Allah. Allah selalu, Allah terus, Allah
segalanya Allah. semoga tulisan ini tidak ada niatan demi popularitas, ajang
unjuk kebolehan, kepintaran, dan lain sebagainya, semoga ini bisa bermanfaat,
saya hanya yakin bahwa segala yang terjadi di dunia, sekecil apapun, tidak akan
pernah sia-sia, karenanya saya selalu ingin melakukan hal-hal yang saya bisa,
meskipun untuk murni dan ikhlas karena Allah itu sulitnya tidak ketulungan,
tapi saya yakin suatu hari pasti akan bisa, pasti akan berhasil, pasti pasti
pasti.
Brarti kita wajib mondok ya Mas..?
ReplyDeleteya gak harus sih... kebaikan itu ya di manapun.
ReplyDeletesetubruk..!! eh salah..
ReplyDeletesetuju..!! dengan artikel/makalah/apapun namanya, saya nderek mbaca nggeh.. hehe
sip kang mus, lanjutkan tulisan nya..
salam dari Balikpapan..
waahhh terimakasih yang dari balik papan. Alhamdulillah kemaren sudah sempat sowan ke Gus Baha ya. tapi sayang ndak mampir ke rumah dan ketemu. hahaha
ReplyDeletesaling mendoakan mas :)