Ads #1

Dekonstruksi Derrida, Membuka Diri Melampaui Batas Suci


Derrida, di usianya yang ke 74 tahun, ia pergi selama-lamanya bertepatan 9 Oktober 2004. Ia merupakan tokoh filsafat kelahiran aljazair berdarah Yahudi yang mempunyai sumbangan pemikiran filsafat di era postmodernism, hingga saat ini. Dekonstruksi, adalah terminologi yang digunakan untuk memberikan kritik besar-besaran terhadap warisan pemikiran filsafat yang, menurutnya melulu mbulet di ranah teks yang sengaja diproduksi untuk relasi kuasa-kuasa, seperti politik, ideologi, budaya, dan sejarah. Derrida hadir untuk memberikan jalan yang lebih lebar dan leluasa untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam teks, tidak hanya itu, ia berani mengafirmasi segala bentuk yang dianggap sebagai kebenaran dan ketidakbenaran untuk direnungkan kembali, bagaimana hal tersebut bisa terjadi.


Pembacaan ini didasari oleh sebuah buku karya Muhammad Fayyadl, seorang pemuda NU yang melek dengan filsafat, rasa-rasanya ngomongin filsafat di dalam tradisi NU masih banyak yang belum membuka pintu lebar-lebar, justru mengintip dari bilik-bilik yang rapuh dan sempit penuh dengan kecurigaan-kecurigaan yang, menurut saya tergesan-gesa.


Menurut Goenawan Muhammad (GM) seorang pewarta senior di Koran Tempo menilai Fayyadl lebih tekun dan sabar dalam membaca teks karya-karya Derrida, dan saya sepakat dengan GM, bahwa Fayyadl memang secara utuh menyuguhkan kompleksitas masalah yang dialami oleh Derrida, yang sedikit banyak ia sendiri pun sering kali emosional dalam menangguhkan ide-ide Derrida. Saya tidak tahu pasti soal teori-teori Derrida bagaimana, sebab saya sendiri belum pernah menyentuh karya Derrida, apalagi membacanya. Belum sama sekali. Meski saya tergolong telat membaca Derrida lewat kaca mata Fayyadl, saya sangat berterimakasih sebab dengan buku tersebut, saya “benar-benar” mempunyai pemahaman yang berbeda bahwa Derrida tidak sebagaimana yang kudengar dan didiskusikan. Jadi, selanjutnya tulisan ini, secara keseluruhan akan membahas bagaimana Derrida sekaligus bagaimana pergumulan Fayyadl dan Derrida dalam mengatasi problem-problem filsafat.


Untuk membuka tulisan ini, ada beberapa hal, sekurang-kurangnya empat hal bagi saya, yang harus dipahami terlebih dahulu soal Derrida dengan apa yang hendak dibahasnya, untuk memudahkan sekaligus mengetahui pola-pola pemikiran Derrida.  


Pertama, teks. Derrida, membuat pondasi atas pemikiran filsafatnya, sebagai filsafat penafsiran, yang juga dijelaskan oleh Fayyadl sebagai upaya menafsirkan pelbagai dinamika di dalam teks. Teks tidak hanya dilihat dari segi siapa penulisnya, atau siapa yang dijadikan objek tulisannya, teks diartikan lebih dari itu, terdapat sekian relasi yang bersangkaut-paut antara teks dan segala yang melingkupi teks. Oleh sebab itu, kata Derrida, tidak ada kebenaran yang tunggal/pasti/utuh, penafsiran selalu berkembang dan tidak ada habisnya untuk dikembangkan.


Kedua, Logosentrisme. Apa itu?, sebuah kecenderungan (pengandaian) tentang adanya kebenaran yang universal, tetap, mengatasi perubahan, sekaligus memformulasikan kebenaran-kebenaran yang partikular menuju kebenaran absolut. Inilah yang ingin dihancurkan oleh Derrida. Lebih tepatnya lagi, yang menjadi titik tekan Derrida dalam hal ini adalah proses dan cara menuju kebenaran, baginya, para filosof klasik hingga modern terlalu tergesa dalam menentukan kebenaran, yang sebenarnya selalu dipengaruhi oleh teks, sedangkan teks mengalami problematikanya sendiri yang belum diselesaikan secara baik dan teliti.


Ketiga, Dekonstruksi. Inilah proyek besar Derrida dalam pemikiran filsafatnya. Terdapat tiga pokok penting yang dijelaskan oleh Fayyadl mengenai dekonstruksi Derrida, yakni teks, tulisan, dan metafor. Derrida meradikalkan ketiga hal tersebut untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan metode pemikiran filsafat metafisika yang selalu meniscayakan kehadiran, lalu mengesampingkan ketidakhadiran.


Keempat, terakhir adalah Agama. Bagi Derrida, Dekonstruksi mempunyai dimensi teologis yang berbeda dengan pemaknaan teologis pada umumnya, jika teologis mengandaikan dan merujuk pada kehadiran dan kebenaran tertentu yang transenden, dimensi teologis dalam dekonstruksi Derrida merujuk pada ketidak-mungkinan untuk membicarakan, katakanlah “Tuhan”. Merujuk hal tersebut, Fayyadl mengatakan bahwa Derrida telah merasakan hasrat yang “lain”, hasrat dan gairah religius yang melampaui dogma –sebuah kerinduan yang tak terbahasakan oleh kata “Ilah” yang tak-mungkin diketahui.


Dari keempat hal di ataslah, yang menurut saya penting untuk diketahui terlebih dahulu. Terkait dengan judul yang saya gunakan, yakni Dekonstruksi Derrida; Membuka diri, melampaui batas suci bermaksud untuk memberikan pengertian bahwa poros yang digunakan untuk Derrida adalah Dekonstruksi untuk merobohkan bangunan, menghilangkan puing-puingnya, sekaligus membongkar tanahnya, lalu menyusunnya kembali dengan hal-hal yang sama sekali baru, dari yang telah dibangun tersebut. Membuka diri adalah membuka pikiran untuk menerima apapun yang dihasilkan dari yang liyan untuk diafirmasi sekaligus diakomodir demi kepentingan keberagaman individu, mengakomodir bukan maksud untuk mencari kesatuan, tapi menyadarkan bahwa sesuatu yang kita sebut sebagai kebenaran itu tidak sedikit, melainkan banyak, terlampau banyak. Sehingga mencari kesatuan atau keuniversalan adalah hal yang mustahil.


Membuka diri tidaklah menjadikan diri sebagai sumber dan poros, namun meleburkan diri bersama dengan diri yang liyan, bahwa diri kita dan selain diri kita berhak untuk sama-sama mencari, memperjuangkan, menuju, menggali, dan mempertanyakan kembali apa yang disebut oleh kita sebagai kebenaran. Derrida ingin mengajak kita untuk meniadakan kebenaran tunggal dan absolut. Kita juga diajak untuk melampaui batas-batas suci atau yang disucikan oleh kita, yang selama ini dianggap sebagai kebenaran yang mutlak, hakiki, bahkan anti-kritik. Mulai dari pengalaman empiris tentang fakta ilmiah, sampai agama yang berbau dogmatis, doktrinal dan taklid.


Saya di sini akan mencoba untuk mendemonstrasikan pemikiran Derrida sesuai dengan pemahaman mengenai Dekonstruksi melalui kaca mata Fayyadl. Sebagaimana yang telah saya ungkapkan di atas, bahwa teks (tulisan, fenomena, wicara) adalah pintu masuk untuk memulai dekonstruksi, yang berujung pada ketidakmungkinan manusia dalam menggapai kebenaran secara pasti dan utuh, hingga ia menyimpulkan bahwa “setiap kebenaran itu retak”. Mungkin ini sering dianggap sama dengan Nihilisme-nya Nietschze, tapi tidak. Perbedaan itu terletak pada pemberian ruang yang lebih luas bagi kebenaran untuk menemukan dirinya sendiri yang, tak pernah terjangkau oleh manusia secara utuh. Mungkin dalam realitas menurut Kant, termasuk realitas Noumena, sebuah realitas yang tak terjangkau oleh rasio manusia.


Teks tidak lahir tanpa sebab, yakni tentu diawali dengan wicara/ujaran. Andaikan saja ada yang mengatakan “aku minum kopi di atas kursi” sebagai ujaran, jika ditulis semestinya menjadi “akuminumkopidiataskursi” belum ditandai oleh tanda baca dan kaidah-kaidah bahasa, sehingga diperlukan tanda baca, baik spasi-titik-koma-intonasi ketika membaca, dst. Lalu siapa yang menentukan spasi-titik-koma-dst atas sebuah teks, tidak lain bagi Derrida adalah relasi kuasa yang dibentuk oleh Bahasa, budaya, serta hegemoni-hegemoni individu yang penuh dengan reduksi.

Kalimat tersebut bisa ditulis berbagai variasi, misalnya:

“aku minum, kopi di atas kursi.”

“aku minum kopi di atas kursi.”

“aku, minum kopi, di atas, kursi.”


Tiga varian itu saya rasa cukup, untuk mewakili kemungkinan penulisan yang berbeda. Jika dilihat dari penulisan di atas, agaknya yang paling tepat adalah penulisan yang kedua, yang artinya seorang aku memang minum kopi bertempat di atas kursi. Tapi, dengan begitu apakah menafikan bentuk kalimat tulisan yang pertama dan terakhir?, apa argumentasi untuk menyalahkan keduanya?, sedangkan keduanya juga merupakan kemungkinan-kemungkinan yang kadang kala tidak disadari pengujar bahkan penulis.


Sampai di sini, kita akan mengandaikan kehadiran sosok pengujar yang mengatakan kalimat tersebut, dan kitapun mulai me-reka-reka bagaimana dan dalam kondisi apa kalimat terseut diucapkan, lalu dituliskan?, ke mana tulisan itu dialamatkan?, dst. Dengan begitu muncullah berbagai penafsiran atas satu kalimat di atas, yang bagi Derrida tidak akan pernah sampai pada kebenaran absolut dan final, sebab apa?, semata-mata ketika teks dituliskan, maka selama itulah teks bisa ditafsirkan, berkembang, bergerak, bahkan meloncat brutal kesana-kemari tanpa ada yang bisa menghentikannya, sekejap pun, dan menuju ke kebenaran-kebenaran yang sulit untuk diprediksi. Sekali kita memastikan logika, kaidah, interpretasi yang menyebabkan kepastian kebenaran tafsir tersebut, itulah yang disebut sebagai logosentrisme yang, oleh Derrida dihajar habis-habisan sampai babak-belur, sampai-sampai tak bisa berbuat apa-apa selain mecari dalil-dalil yang justru akan lebih mengahayutkan pada pusaran kebuntuan ontologis.


Lalu apakah Derrida menafikan kebenaran tersebut?, tidak sama sekali. Derrida tidak pernah menafikan kebenaran, justru ia membuka sekaligus mendobrak kebenaran-kebenaran yang dimungkinkan akan terungkap.


Sampai di sini, sejujurnya saya mulai bingung untuk mengakhiri tulisan ini seperti apa. Masih banyak sekali yang harus saya pahami terlebih dahulu, mungkin tulisan ini terkesan kesusu-susu, namun itulah yang saya cari, daripada kesikut-sikut. Semoga di lain kesempatan masih bisa menuliskan tentang Derrida seiring dengan pemahaman saya yang harus berkembang. Mungkin di sini terkesan ada salah dan cacatnya, gak maksimal dalam menjelaskan Derrida. Namun, minimal saya sudah berusaha untuk memahaminya dengan sepenuh hati, segenap perasaan, ketulusan. 


Terakhir, dalam buku ini, Fayyadl seolah menjadi satu-satunya jubir Derrida yang ta’at bahkan taqiyyah. Hampir, saya tidak menemukan kritikan Fayyadl untuk Derrida di dalam buku itu, padahal, sebenarnya, sesungguhnya, saya nunggu, nunggu kritikan Fayyadl, mengingat tulisan-tulisannya di Indoprogress.com sangat tajam dan bernas.


Oh, iya. Bagaimana jika teori Dekonstruksi ini dilakukan untuk membaca al-Qur’an?. tantangan baru sebenarnya inih. Kita coba ya, kapan kapan. Saya agak takut sebenarnya. Huahahaha…
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Blogger yang tinggal di Bantul. Mengajar di Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta. Terima kasih telah berkunjung. Korespondensi melalui surel: [email protected]